Friday, August 07, 2015

Psikosomatis dan Terapi Sholat

Oleh : M. Arfan Mu’ammar
Seringkali sebuah sakit diakibatkan oleh pola makan yang salah dan gaya hidup yang tidak sehat, entah itu berujung pada meningkatnya kadar kolesterol, asam urat, darah tinggi dan sebagainya. Namun kadangkala sakit yang diderita tidak dapat terdeteksi penyebabnya, karena secara diagnosa dokter semua masih dalam taraf normal, namun tubuh ini masih merasa sakit dibagian tertentu, berbagai dokter spesialis telah dikunjungi akan tetapi tidak kunjung mendapatkan solusi yang tepat. Kemungkinan sakit yang anda alami ini adalah masuk dalam kategori psikosomatis, sebuah sakit yang diakibatkan oleh faktor psikis dan pola pikir yang berlebih sehingga berdampak pada sakitnya tubuh. Psikosomatis berasal dari kata psycho (jiwa) dan soma (tubuh, jasad) yang merujuk kepada keterkaitan antara adanya ketidakberesan dalam keseimbangan jiwa dengan kemunculan gejala sakit yang dirasakan oleh tubuh. Bukankah sudah banyak didengar istilah mens sana in corpore sano, “Jiwa yang sehat terdapat pada tubuh yang sehat”. Ternyata juga berlaku sebaliknya, tubuh yang sehat dimiliki oleh jiwa yang juga sehat. Begitu juga dalam Islam dikenal istilah al-Aqlu Saliim fi Jismi Saliim, “akal yang sehat berada pada jiwa yang sehat”. Karenanya Ini adalah masalah mind and body connection. Psikosomatis merupakan salah satu gangguan kesehatan atau penyakit yang ditandai oleh bermacam-macam keluhan fisik. Berbagai keluhan tersebut seringkali berpindah-pindah. Misalkan dalam waktu beberapa hari terjadi keluhan pada pencernaan, disusul gangguan pernafasan pada hari-hari berikutnya. Atau kadang keluhan tersebut menetap hanya pada sistem pencernaan (gangguan lambung). Kondisi inilah yang seringkali menjadi sebab berpindah-pindahnya penderita dari satu dokter ke dokter yang lain. Malah ada sebagian pasien yang kemudian jatuh pada perangkap medikalisasi, yakni upaya atau tindakan dengan berbagai teknik dan taktik, yang membuat mereka terkondisi dalam keadaan sakit dan memerlukan pemeriksaan maupun pengobatan. Padahal gangguan psikosomatis ini sebenarnya justru disebabkan dan berkaitan erat dengan masalah psikis/psikososial. Alhasil, dapat terjadi gangguan fisik pada seluruh sistem di tubuh manusia mulai dari sistem kardiovaskular, sistem pernafasan, sistem pencernaan, kulit, saluran urogenital (saluran kencing) dan sebagainya. PENYEBAB PSIKOSOMATIS Seringkali terlihat seorang pejabat yang masih terlihat sehat bugar tiba-tiba jatuh sakit terkena stroke, lantaran dirinya tersangka korupsi. Soeharto yang sekian tahun berkuasa terlihat sehat dan gagah, tiba-tibah jatuh sakit dan stroke setelah dilengserkan oleh massa. Seorang pegawai yang juga terlihat sehat wal afiat tiba-tiba jatuh sakit parah lantaran mendapat surat PHK dari perusahaan. Seorang ayah atau ibu yang masih tampak sehat tiba-tiba terkena serangan jantung lantaran salah satu anak dari mereka tertimpa masalah yang berat dan berbagai permasalahan hidup yang lain. Beban pikiran yang begitu berat tersebut tidak mampu dipikul oleh pikiran sehingga menimbulkan apa yang sering disebut dengan “stress”. Namun dalam pengertian awam istilah stress sering disalahartikan sebagai suatu penyakit atau gejala yang berhubungan dengan masalah psikis/kejiwaan. Padahal, makna stress itu sendiri jika ditinjau dari sudut ilmu kedokteran dan psikologi adalah respon normal tubuh yang bersifat adaptif terhadap perubahan di lingkungan atau luar tubuh, sebagai stressor, yang menimbulkan perubahan atau mekanisme pertahanan tubuh. Respon tubuh terhadap stresor atau penyebab stress dapat berupa perubahan fisik atau emosi. Ditinjau dari ilmu kedokteran dan psikologi, gejala psikosomatis, menurut orang awam sering disebut stress, munculnya ketika tubuh sudah tidak dapat lagi mengatasi stressor. Peristiwa ini sering juga disebut sebagai kondisi Distress. Pada tahap inilah biasanya penderita psikosomatis datang ke dokter dengan gejala-gejala sebagaimana disebut diatas. SHOLAT SEBAGAI HIPNOTERAPI Perkembangan dalam terapi ilmu kedokteran dewasa ini sesuai dengan definisi WHO tahu 1994 tentang konsep sehat adalah sehat secara fisik, psikologis, sosial dan “spiritual”, maka terapi pun seyogyanya dilakukan secara holistik. Bukan hanya terapi secara fisik dan psikologis saja, namun melakukan terapi “spiritual” yang memiliki dampak terapi psikologis maupun fisik serta sosial. Bagaimana bisa, satu terapi mendapat menjangkau empat aspek sekaligus? Begini penjelasannya : 1. Sholat sebagai sebuah aktifitas spiritual, telah diyakini memberikan dampak positif terhadap kesehatan, salah satu contoh adalah penelitian Fauzan Shaleh seorang guru besar ahli imunorologi alumnus universtias airlangga, dalam penelitian disertasinya Fauzan menyimpulkan bahwa sholat tahajjud berdampak terhadap peningkatan daya imun seseorang. Disamping itu juga banyak penelitian yang mengatakan bahwa gerakan-gerakan dalam sholat merupakan bentuk terapi tersendiri bagi tubuh. 2. Sholat yang dilakukan secara berjama’ah merupakan bagian dari aktifitas sosial, bertemu dengan masyarakat, berbaur, berkomunikasi, menghilangkan perasaan-perasaan dendam antar sesama, menjaga keutuhan persahabatan dan sebagainya. Ini merupakan salah satu bentuk terapi sosial, sesehat apapun seseorang, akan tetapi jika masyarakatnya penuh dengan konflik sosial maka dia tidak akan merasa aman, ketika ia tidak merasakan aman maka akan timbul rasa gundah dan khawatir yang berlebihan sehingga menjadi beban pikiran, dan ini menjadi awal mula timbulnya psikosomatis. 3. Sholat yang dilakukan secara tuma’ninah dan khusu’ akan memberikan dampak yang berbeda terhadap psikis seseorang, ketenangan batin dan jiwa akan terasa dibanding dengan orang yang tidak pernah melakukan sholat, sebesar apapun masalah seseorang jika dihadapi dengan hati dan pikiran yang tenang maka ia akan dapat menyelasikan masalah, karenanya Allah memerintahkan untuk sholat sehari 5 waktu itu merupakan bentuk terapi psikis kita agar dapat bisa lebih tenang dan rileks menghadapi permasalahan sehari-hari. Namun jika seseorang tidak pernah melakukannya maka cenderung menghadapi masalah dengan emosi tidak menggunakan kepala yang dingin. 4. Aspek spiritual tentunya pasti dapat disentuh dengan ritual sholat, karena sholat sendiri merupakan aktifitas spiritual, spiritualitas memang tidak selamanya dapat dibuktikan secara empiris, namun bentuk “spirit” yang timbul dalam diri seseorang itulah yang nnti nya menjadi “ruh” penyemangat untuk tetap eksis, untuk tetap fight terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi disertai dengan kepasrahan kepada sang pencipta akan terlepas dari berbagai permasalahan yang melilit. Rasa “percaya” bahwa tuhan akan membantu dan ikut andil dalam mencarikan jalan keluar bagi permasalahan kita itu merupaka bentuk “spirit” yang tumbuh dari aktifitas “spiritual” melalui banyak macam aktifitas spiritual, diantaranya melalui sholat. SIMPULAN Sholat sebagai bentuk hipnoterapi mencakup empat aspek konsep sehat dalam perspektif WHO yaitu sehat secara fisik, psikologis, sosial dan spiritual. Karenanya jika ingin menyentuh keempat aspek tersebut diatas maka sholat seyogyanya dilakukan secara berjama’ah dan tuma’ninah. Jika tidak memenuhi unsur itu maka keempat aspek tersebut tidak akan tersentuh, dan kita hanya melakukan rutinitas tanpa dapat mengambil manfaat darinya sehingga terkesan menggugurkan kewajiban. Wallahu a’lam bi ashowab

Friday, August 22, 2014

FeminaPatriarka

Oleh : M. Arfan Mu’ammar : Jika berkunjung ke Madinah, khususnya ke Masjid Nabawi, dapat disaksikan banyak pedagang yang berjualan di pintu keluar halaman Masjid Nabawi. Pemandangan tersebut akan tampak sangat ramai khususnya setiap kali usai sholat jama’ah 5 waktu di Masjid Nabawi. Diluar waktu itu mungkin hanya segelintir pedagang saja yang tersisa. Mayoritas dari pedagang tersebut adalah perempuan-perempuan yang berpakaian hitam dan bercadar, entah perempuan tersebut asli penduduk Madinah atau pendatang, yang jelas mayoritas dari penjual “dadakan” tersebut adalah perempuan. Disebut “dadakan” karena mereka menjual barang dagangannya hanya dengan sehelai kain yang dihempaskan dijalan dan atasnya dipenuhi dengan barang dagangan. Walaupun disana terdapat banyak toko permanen, akan tetapi jama’ah terlihat lebih antusias dengan para pedagang “dadakan” tersebut karena gaya penawarannya yang menarik perhatian serta mudah dijangkau. Budaya Patriarki merupakan sebuah budaya yang menempatkan laki-laki sebagai sosok yang memiliki otoritas penuh dibanding perempuan. Partisipasi dalam status publik dan politik serta agama atau atribusi dari berbagai pekerjaan pria dan wanita ditentukan oleh pembagian kerja secara seksual. (Bressler, Charles E). Substansi dari budaya patriarki adalah ketertindasan perempuan oleh laki-laki baik dari segi perannya dalam masyarakat sosial maupun dari perilaku perempuan yang serba terbatas. Keterbatasan perempuan dalam hal ini adalah keterbatasannya dalam memperoleh pekerjaan maupun keterbatasan dalam budaya berpakaian. Abaya dan niqab merupakan pakaian yang menutup seluruh tubuh beserta cadar, sehingga hanya mata yang terlihat. Bahkan di Afganistan, ada yang memakai burqa yaitu kain hitam tipis untuk menutup matanya agar matanya tak terlihat, akan tetapi mata masih dapat melihat dengan samar-samar dari dalam. Dengan demikian praktis tidak sejengkalpun dari bagian tubuh wanita tersebut terlihat alias tertutup total, dan pemakaian abaya di Arab Saudi termasuk cukup ketat. Dengan demikian, perempuan sangat terbatas sekali dalam hal berpakaian, baju-baju model terbaru yang dijual dipertokoan hanya dapat menjadi tontonan karena tak kuasa menggunakannya kecuali dirumah. Dengan keterbatasan inilah maka budaya Abaya, niqab dan burqa merupakan warisan dari budaya patriarki yang dapat membatasi perempuan setidaknya dalam budaya berpakaian. Adapun feminisme merupakan sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria (Rosemarie Tong). Dengan kata lain bahwa feminisme adalah lawan kata patriarki, jika budaya patriarki dominasi ada pada seorang pria, maka budaya feminisme menuntut adanya equalibrium antara peran laki-laki dan perempuan. Laki-laki tidak boleh mendominasi dan perempuan tidak boleh tertindas, demikian juga dalam hal mendapatkan pekerjaan, pekerjaan pria boleh dikerjakan perempuan dan pekerjaan perempuan boleh dikerjakan pria. Salah satu pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh pria adalah mencari nafkah sedangkan para perempuan atau istri dirumah. Akan tetapi budaya feminisme beranggapan bahwa kemajuan sebuah negara ditentukan oleh keluarga-keluarga yang sejahtera, karena negara merupakan akumulasi dari keluarga. Semakin banyak income yang dihasilkan oleh orangtua maka semakin sejahtera keluarga tersebut. Artinya jika income itu berasal hanya dari seorang ayah maka keluarga tersebut tidak lebih sejahtera dari keluarga yang incomenya berasal dari ayah dan ibu. Dengan demikian seorang istri yang bekerja merupakan sebuah keniscayaan demi kemajuan keluarga dan bangsa. Masih ingat kah! Jenis kelamin apa yang mendominasi pedagang “dadakan” di sekitar Masjid Nabawi? Jawabannya adalah : Perempuan..!!. Bukankah mereka penganut budaya patriarki? Tapi bukankah mereka juga mencari nafkah?. Sinergisitas itu saya sebut “FeminaPatriarka”. Di Indonesia, semangat feminisme atau emansipasi wanita digaungkan oleh Kartini, walaupun pada akhir hayatnya ia harus rela disunting oleh bupati Rembang untuk menjadi istri kedua, akan tetapi semangat emansipasi yang ia salurkan lewat korespondensi masih tetap menyala hingga sekarang. Para wanita tidak lagi hanya berdiam diri dirumah, partisipasi wanita diruang publik semakin terlihat, mulai dari dunia kerja maupun politik. Semangat emansipasi wanita di Indonesia mulai kembali bergairah pada awal tahun 1990-an, ketika kampus-kampus di Indonesia mulai mendirikan Pusat Studi Wanita (PSW), kajian-kajian kewanitaan sudah mulai diminati banyak mahasiswa-mahasiswi, mulai dari seminar, lokakarya serta diskusi dikelas. Kini ideologi feminisme mencapai momentumnya ketika pemerintah mensahkan undang undang no 2 tahun 2008 tentang keterlibatan perempuan minimal 30% pada anggota dewan. Partisipasi perempuan khususnya di Indonesia tidak hanya di bidang pekerjaan, akan tetapi partisipasi politik untuk perempuan di Indonesia kini sudah terbuka lebar. Ungkapan-ungkapan bahwa perempuan itu hanya hidup di “dapur, sumur dan kasur” sudah tidak terdengar lagi. Nasihat-nasihat orang tua dahulu seperti : “anak perempuan buat apa sekolah tinggi-tinggi..toh nanti kembalinya ke dapur” sudah hampir tidak terucap lagi, bahkan jika ingin mencari perempuan-perumpuan yang bergelar Doktor bahkan Guru Besar sudah sangat mudah dicari di perguran tinggi - perguruan tinggi di Indonesia baik negeri maupun swasta. Akan tetapi lepasnya keterbatasan wanita dari budaya patriarki ini kadang menjadi dominasi wanita lebih besar dibanding pria, sehingga tak jarang didengar istilah “suami-suami takut istri”. Jika suami dapat mengimbangi dominasi istri mungkin tidak akan banyak masalah, akan tetapi jika keduanya sama-sama ingin mendominasi, maka keretakan keluargalah yang akan terjadi. Sehingga ketaatan istri perlu kiranya tetap “terpatri” layaknya dalam budaya patriarki, walaupun dari segi income, istri jauh lebih besar dari suami. Partisipasi perempuan diruang publik kini menjadi kebutuhan, disisi lain keutuhan keluarga adalah sebuah keharusan. Dengan demikian, FeminaPatriarka merupakan sebuah keniscayaan.

Saturday, October 19, 2013

Matematika Akhlak sebagai Pendekatan Alternatif dalam Pembentukan Karakter Siswa

MATEMATIKA AKHLAK SEBAGAI PENDEKATAN ALTERNATIF DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER SISWA M. Arfan Mu’ammar Abstrak Intelektualitas tidak menjamin accountabilitas atau hilangnya sikap-sikap mental korupsi, kolusi, nepotisme dan sebagainya. Di sisi lain, moralitas yang kaku bisa mengesampingkan intelektualitas. Pelajaran Matematika sejatinya secara substansi dapat membentuk karakter siswa, Matematika berfungsi sebagai bahasa ilmu dengan lingkup universal, sebab dengan menggunakan Matematika dapat dilakukan abstraksi dari kenyataan-kenyataan yang sangat rumit menjadi suatu model sehingga dapat dicapai ketajaman dalam memberikan deskripsi, mempermudah untuk mengadakan klasifikasi, kalkulasi dan dengan komputasi Matematika akan meningkatkan kemampuan untuk mengadakan evaluasi dan prediksi. Artikel ini mencoba menggunakan Matematika Akhlak sebagai pendekatan dalam pembentukan karakter Siswa. A. Pendahuluan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan bahwa dasar dari pengembangan kurikulum baru (Kurikulum 2013) adalah untuk membangun pendidikan karakter pada anak-anak bangsa. Kurikulum 2013 lebih menekankan pada pengembangkan karakter disamping ketrampilan dan kemampuan kognitif karena Indonesia saat ini sedang mengalami krisis karakter yang diperlihatkan dari banyaknya korupsi, tindak kejahatan terjadi dimana-mana, dan mudahnya anak-anak bangsa menerima kebudayaan dari negara lain tanpa menyaringnya apakah kebudayaan itu baik atau buruk untuk diri mereka. Karenanya upaya pembentukan karakter anak adalah sebuah keniscayaan, sehingga berbagai upaya dilakukan dalam mewujudkan upaya tersebut, diantaranya mulai diwajibkannya pramuka sebagai media pembentuk karakter. Menurut pembina kwarcab Pramuka Kota Malang Oetodjo Sardjito, Pramuka merupakan salah satu wahana pembentukan karakter siswa karena dalam Pramuka siswa dilatih akan kepemimpinan, kerja sama, solidaritas, mandiri, dan keberanian. Disamping itu, setiap guru berkewajiban membuat strategi-strategi dan pendekatan-pendekatan dalam rangka pembentukan karakter siswa, dalam hal ini penulis ingin memberikan sebuah tawaran pendekatan alternatif dalam pembentukan karakter siswa melalui Matematika Akhlak. Istilah Matematika Akhlak pertama kali dipopulerkan oleh Bekti Hermawan, alumnus Institut Pertanian Bogor (IPB) 1991, Hermawan menemukan sebuah cara mengajarkan Akhlak Qur’an melalui pendekatan Matematika, atau lebih tepatnya mengajarkan Akhlak yang abstrak dengan bahasa bilangan yang disebut dengan Matematika Akhlak. M. Nuh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengatakan, banyak orang meragukan peran matematika dalam pembentukan akhlak seorang siswa. Padahal ternyata efeknya cukup besar. M. Nuh juga mejelaskan bahwa “Banyak yang bertanya-tanya pelajaran di sekolah apa bisa membentuk akhlak. Yang paling banyak ditanya, matematika. Itu sebenarnya bisa berpengaruh pada sikap,” kata Nuh dalam diskusi Terbatas bertema “Penguatan Akhlak Bangsa”, diselenggarakan oleh Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Hubungan Antar Agama, Ruang Nias lantai 19 Hotel Borobudur, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Kamis 14 Maret 2013. Dalam terminologi klasik, matematika diartikan sebagai ilmu tentang bilangan, bentuk dan terapannya. Dalam kaitannya dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan, Matematika berfungsi sebagai bahasa ilmu dengan lingkup universal, sebab dengan menggunakan Matematika dapat dilakukan abstraksi dari kenyataan-kenyataan yang sangat rumit menjadi suatu model sehingga dapat dicapai ketajaman dalam memberikan deskripsi, mempermudah untuk mengadakan klasifikasi, kalkulasi dan dengan komputasi Matematika akan meningkatkan kemampuan untuk mengadakan evaluasi dan prediksi. Disisi lain Matematika sangat memegang peranan penting dalam berbagai cabang Ilmu Pengetahuan Alam dan Teknologi. Pandangan yang lain diungkapkan oleh Keith Devlin bahwa “Matematika sebagai ilmu tentang pola, merupakan sebuah cara memandang dunia, baik dunia fisik, biologis dan sosiologis dimana kita tinggal dan juga cara memandang dunia batin dari pemikiran kita. Sedangkan Akhlak dapat diartikan sebagai tingkah laku yang lahir dari manusia dengan sengaja, tidak dibuat-buat dan telah menjadi kebiasaan, selain itu Akhlak dapat diubah!, Akhlak dapat merupakan hasil dari pendidikan. Oleh karena itu, Akhlak dapat diubah melalui pendidikan. Dengan penggabungan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa jika Akhlak dapat diubah melalui pendidikan, Akhlak seharusnya bisa dijelaskan secara matematis, karena Matematika dan Akhlak adalah suatu bahasa dan sudah terpola dialam semesta ini. Selain itu, aspek kajian ilmu Matematika ini dalam dunia Islam memperkenalkan tertib aturan (sesuatu yang terpola), keseimbangan (sesuatu yang terukur sebagaimana persamaan-persamaan matematis), dan keserasian (dapat digunakan untuk menjelaskan ilmu pengetahuan lain secara umum). B. Tinjauan tentang Matematika Akhlak Pendidikan matematika tidak dapat terlepas dari matematika itu sendiri. Oleh karena itu, untuk mengkaji kontribusi pembelajaran matematika dalam pengembangan karakter peserta didik yang berakhlak mulia akan lebih baik jika terlebih dahulu mengungkap karakteristik dari matematika yaitu obyeknya yang abstrak, simbol yang kosong dari arti, kesepakatan dan pemikiran deduktif aksiomatik, dan anti kontradiksi. Tujuan pendidikan matematika harus memperhatikan (1) tujuan yang bersifat formal, yaitu penataan nalar dan pembentukan kepribadian anak, dan (2) tujuan yang bersifat material yaitu penerapan matematika serta ketrampilan matematika. Beberapa nilai moral dalam pembelajaran matematika yang berkaitan dengan karakteristik dari matematika yang dapat diintegrasikan dengan Al Qur’an di antaranya: kesepakatan, ketaatasasan/konsistensi, deduksi, semesta. 1. Definisi Matematika Secara bahasa (lughowi), kata matematika berasal dari bahasa yunani yaitu “mathema” atau “mathematikos” yang berarti hal-hal yang dipelajari. Bagi orang yunani matematika tidak hanya meliputi pengetahuan mengenai angka dan ruang, tetapi juga mengenai musik dan ilmu falak (astronomi). Nasoetion menyatakan bahwa Matematika berasal dari bahasa Yunani “mathein” atau “mathenein” yang artinya mempelajari. Orang belanda menyebutnya dengan wiskunde, yang artinya ilmu pasti. Sedangkan orang Arab, menyebut matematika dengan ilmu al-hisab yang artinya ilmu berhitung Dinegara kita indonesia, matematika disebut dengan ilmu pasti dan ilmu hitung . Sebagian orang indonesia memberikan plesetan dengan menyebut matematika dengan sebutan “Matimatian”. Hal ini dikarenakan sebagian dari mereka merasa bahwa matematika sulit untuk dipelajari dan sangat memeras otak dan hal itu juga yang membuat sebagian besar anak didik indonesia merasa atau menganggap matematika sebagai momok (suatu hal yang menakutkan) bagi mereka. 2. Definisi Akhlak Istilah akhlak (khuluk atau character) di ambil dari al-Qur’an, sedangkan contoh dari akhlak sendiri adalah sebagaimana yang di contohkan oleh Nabi Muhammad. and you (Muhammad) are on an exalted standard of character . Selain dari itu, istilah khuluk dalam khazanah Islam klasik di definisikan sebagai sebuah jiwa yang menentukan tindakan manusia the soul which determines human actions . Adapun Al- Farobi salah seorang cendikiawan Islam klasik mendifinisikan khuluk sebagai sebuah jiwa, dimana seseorang mengerjakan kebaikan dan keadilan adalah menggambarkan sifat kebaikannya. Dan jika ia mengerjakan tindakan jahat dan buruk, itu menggambarkan sifat keburukannya. The states of the soul by which a man does good deeds and fair actions are the virtues, and those by which he does wicked deeds and ugly actions, are the vices . Sedangkan Yahya ibnu ‘Adi (d.974) memberikan definisi yang mendekatinya, yaitu sebagai sebuah jiwa yang mendorong pada tindakan tanpa pikiran sebelumnya a state of the soul by which man performs his actions without thought or deliberation . Definisi Yahya ini, di ikuti oleh beberpa cendikiawan muslim lainnya seperti Ibnu Miskawaih (d.1030). Demikian juga dengan cendikiawan muslim lainnya yang menulis tentang etika dalam islam, seperti al-Ghazali (d. 1111) , Fakhr al-Din al-Razi (d. 1209) , al-Tusi (d. 1274) , al¬Dawwani (d. 1502) , dan yang lainnya. 3. Definisi Matematika Akhlak Matematika Akhlak adalah suatu pelajaran moral etika atau akhlak mulia yang diajarkan melalui angka dan bilangan. Angka dalam bahasa Inggris disebut digit atau numeral, angka hanya berupa 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9. Sedangkan bilangan dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai banyaknya benda, satuan dari jumlah atau banyaknya sesuatu, lingkungan, perhitungan untuk mengetahui untung dagang. Bilangan juga dapat didefinisikan sebagai suatu ide atau gagasan yang bersifat abstrak dan menyatakan banyaknya anggota dari suatu kelompok atau himpunan. C. Urgensi Character Building dalam Pembangunan Moralitas Bangsa Aristoteles menyebutkan pengertian karakter yang baik adalah kehidupan berprilaku baik dan penuh kebajikan, berprilaku baik terhadap pihak lain, Tuhan Yang Maha Esa, manusia, alam semesta dan terhadap diri sendiri. Jonathan Webber dalam Journal of Philosophy menjelaskan bahwa karakter adalah akumulasi dari berbagai ciri yang muncul dalam cara berfikir, merasa dan bertindak. Sikap pemberani atau pengecut seseorang dalam menghadapi bahaya, sikap ketakutan dalam menghadapi orang banyak, merupakan contoh-contoh sederhana tentang karakter seseorang. Demikian rumusan yang dikemukakan oleh Victor Battistch dari Universitas Missouri St. Louis, dalam salah satu tulisannya berjudul Character Education, Prevention and Positive Youth Development, menegaskan bahwa karakter adalah konstelasi yang sangat luas antara sikap, tindakan, motivasi dan keterampilan. Karakter mencakup sikap, tindakan, cara berfikir dan respon terhadap ketidakadilan, interpersonal dan emosional, serta komitmen untuk melakukan sesuatu bagi masyarakat, bangsa dan negaranya. Sebagaimana Webber, Battistich juga melihat, karakter selalu dihadapkan pada dilema antara baik buruk, dilakukan atau tidak dilakukan oleh seseorang. Melakukan yang baik berarti berkarakter baik dan ideal, sebaliknya melakukan yang buruk berarti berkarakter buruk. Sejalan dengan keduanya, Katherine M.H, Blackford dan Arthur Newcomb, dalam tulisannya tentang Analyzing Character menekankan tentang karakter seseorang yang senantiasa berlawanan secara diametral antara baik dan buruk. Akan tetapi, Katherine menegaskan bahwa orang-orang yang berkarakter yang bisa diharapkan akan bisa maju dan akan mampu memabawa kemajuan adalah mereka yang memiliki ciri-ciri pokok, yakni, kejujuran, bisa dipercaya, setia, bijaksana, penuh kehati-hatian, antusias, berani, tabah, penuh integritas dan bisa diandalkan. Karakter terdiri dari tiga unjuk perilaku yang saling berkaitan yaitu : (1). Tahu arti kebaikan, (2). Mau berbuat baik, dan (3) nyata berprilaku baik. Ketiga substansi dan proses psikologis tersebut bermuara pada kehidupan moral dan kematangan moral individu. Dengan kata lain, karakter dapat dimaknai sebagai kualitas pribadi yang baik. Thomas Lickona menyatakan bahwa karakter yang baik meliputi knowing the good, desiring the good, and doing the good habits of mind, habits of heart, and habits of action. (mengetahui yang baik, menginginkan yang baik, dan melakukan yang baik – kebiasaan pikiran, kebiasaan hati, dan kebiasaan tindakan). Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif. Menurut dokumen Desain Induk Pendidikan Karakter terbitan Kementrian Pendidikan Nasional, pendidikan karakter didefinisikan sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk mengambil keputusan yang baik, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Kemendikbud telah mengintrodusir 18 macam inti karakter dalam desain induk yang akan dikembangkan pada semua kegaiatan pendidikan dan pembelajaran serta penciptaan suasana yang kondusif di sekolah, yaitu: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komuniktif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung-jawab. Secara rinci penulis jelaskan dalam kolom berikut : No Nilai / Inti Karakter Deskripsi 1 Religius Sikap dan Perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. 2 Jujur Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan dan pekerjaan. 3 Toleran Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. 4 Disiplin Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. 5 Kerja Keras Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. 6 Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang dimiliki. 7 Mandiri Sikap dan Perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas 8 Demokratis Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. 9 Rasa Ingin tahu Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat dan didengar. 10 Semangat Kebangsaan Cara Berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan dari kelompoknya. 11 Cinta Tanah Air Cara berfikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi dan politik bangsa. 12 Menghargai Prestasi Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. 13 Bersahabat/komunikatif Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul dan bekerja sama dengan orang lain. 14 Cinta Damai Sikap, perkataan dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya 15 Gemar Membaca Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya 16 Peduli Lingkungan Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk meperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi. 17 Peduli Sosial Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan 18 Tanggung Jawab Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa. D. Matematika Akhlak sebagai Pendekatan Alternatif dalam Pembentukan Karakter Siswa Matematika merupakan subjek yang sangat penting dalam sistem pendidikan diseluruh dunia. Bahkan ada yang berpendapat bahwa “Negara yang mengabaikan pendidikan matematika sebagai perioritas utama akan tertinggal dari kemajuan segala bidang terutama sains dan tegnologi, dibanding dengan negara lainnya yang memberikan tempat bagi matematika sebagai subjek yang sangat penting.” Hal ini dikarenakan matematika sejak peradaban manusia bermula, memainkan peranan yang sangat vital dalam kehidupan sehari-hari. Para ahli pendidikan dinegara kita telah merumuskan bahwa matematika berfungsi : a. Sebagai saran untuk mengembangkan kemampuan bernalar melalui kegiatan pendidikan, eksplorasi, dan eksperimen. b. Sebagi alat pemecahan masalah melalui pola pikir dan model matematika, c. Sebagi alat komunikasi melalui simbol, tabel, grafik, dan diagram dalam menjelaskan gagasan. Tujuan matematika dirumuskan untuk melatih dan menumbuhkan cara berfikir secara sistematis, logis, analitis, kritis, kreatif dan konsisten, serta untuk mengembangkan sikap gigih dan percaya diri sesuai dalam menyelesaikan masalah serta kemampuan bekerja sama . Dari rumusan fungsi dan tujuan pembelajaran matematika yang dikemukakan para ahli pendidikan tersebut diatas, menunjukkan bahwa matematika seakan hanya untuk pengembangan kognitif atau daya pikir dan kurang memperhatikan pengembangan afektif, sikap atau prilaku terpuji (akhlak). Padahal jika kita memperhatikan dengan seksama, sesungguhnya dalam pembelajaran matematika erat hubungannya dengan sikap atau akhlak, diantaranya: a. Membentuk Karakter Teliti, Cermat dan Hemat Teliti atau cermat adalah sikap hati-hati dalam melakukan atau mengerjakan suatu hal. Matematika disebut sebagai ilmu hitung karena pada hakikatnya matematika berkaitan dengan masalah hitung-menghitung. Dalam pengerjaan oprasi hitung maka seseorang dituntut untuk bersikap teliti, cermat dan tepat. Teliti dan cermat sangat dibutuhkan dalam mengerjaan masalah matematika, karena jika ada satu langkah saja yang salah maka hasilnya akan salah. Oleh karena itu, langkah demi langkah dalam pengerjaan matematika harus diteliti dan dicermati. Setelah sudah diperoleh hasilnya pun perlu dicek kembali apakah sudah menjawab permasalahan atau tidak. Pada intinya matematika mengajari seseorang untuk jeli dan berhati-hati dalam melangkah. Sebagai contoh, perhatikan pengerjaan soal berikut: Jadi jawaban “a” yang benar. Mari kita perhatikan ketiga langkah dalam menjawab soal tersebut, hanya berbeda dalam peletakan tempat saja hasilnya akan berbeda meskipun angkanya tetap sama. Inilah yang dimaksud dengan teliti dan cermat, jika kita tidak teliti dalam peletakan angkanya maka hasilnya akan salah. Matematika juga melatih sikap hemat. Hemat (al-iqtishad) adalah penggunaan segala sesuatu yang tersedia baik berupa harta benda, waktu dan tenaga menurut ukuran keperluan, tidak kurang dan tidak berlebihan. Dalam hal ini dapat kita lihat pada penggunaan simbol sebagai alat berkomunikasi dalam matematika. Untuk menyatakan “unsur X merupakan anggota himpunan A” digunakan simbol “X€A” dan untuk menyatakan “f adalah fungsi dari himpunan A ke himpunan B” digunakan simbol “f : A → B”. hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Hodojo (1979:97) bahwa simbol bermanfaat untuk penghematan intelektual, karena simbol dapat mengkomunikasikan ide secara efektif dan efisien. Dari pernyataan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa penggunaan simbol dalam matematika secara tidak langsung memberikan pelajaran kepada kita tentang pentingnya menyederhanakan pengungkapan bahkan menyederhanakan permasalahan. Selain itu, matematika pada umumnya berkaitan dengan usaha mencari penyelesaian atau solusi suatu permasalahan Matematika. Tetapi sebenarnya bukan solusi itu yang menjadi fokus melainkan bagaimana metode mencari solusi itulah yang diutamakan. Metode tercepat dan tertepat adalah metode yang diutamakan, tercepat disini bermakna terhemat dalam langkah-langkahnya, yakni efektif dan efisien. b. Membentuk Karakter Jujur, Tegas dan Tanggung Jawab Dalam pembelajaran matematika, tanpa kita rasakan sebenarnya kita telah berlatih tentang kejujuran diri sendiri. Misalnya saja pada oprasi bilangan bulat positif dan negatif, tanpa kita sadari ternyata dalam oprasi bilangan tersebut mengandung pesan kejujuran. Perhatikan salahsatu rumus oprasi bilangan bulat positif-negatif berikut: + x - = - - x + = - + x + = + - x - = + Dari rumus tersebut dapat kita jadikan pegangan untuk senantisa berbuat dan berkata jujur, karena rumus tersebut mengandung makna: 1. ( + x - = -) artinya sesuatu yang benar jika kita nyatakan salah maka itu adalah salah 2. (- x + = -) artinya sesuatu yang salah jika kita nyatakan itu benar maka itu adalah salah 3. ( + x + = +) artinya sesuatu yang benar jika kita nyatakan itu benar maka itu adalah kebenaran. 4. ( - x - = + ) artinya sesuatu yang salah kita nyatakan salah maka itu adalah kebenaran. Inilah yang dimaksud dengan pesan kejujuran dalam oprasi bilangan bulat positif-negatif. Rumus tersebut dapat kita jadikan pegangan atau dasar dalam menjalani hidup sehari-hari agar kita tidak sampai terperosok dalam kejahatan yang nantinya akan memasukkan kita kedalam neraka jahannam. Karena dengan kita jujur sebagaimana yang penulis jelaskan diatas dapat menjadi pengantar kita masuk ke surga, yang mana didalamnya kita akan senantiasa dalam keadaan yang penuh dengan kenikmatan dan kebahagiaan. Abdusy-syakur dalam bukunya ketika kyai mengajar matematika, memberikan contoh lain tentang sifat jujur yang terkadang dalam pembelajaran matematika yaitu : misalnya seorang guru meminta seorang siswa menghitung hasil perkalian bilangan bulat 3 x 4 kalau tidak bisa menghitung, maka siswa tersebut harus jujur untuk mengatakan tidak bisa, jika tidak bisa tetapimengatakan bisa, maka saat disuruh mengerjakan akan ketahuan bahwa dia tidak bisa. Ketahuan kalau dia tidak jujur dan akan malu pada siswa yang lain. Jadi pesannya adalah lebih baik jujur walaupun itu pahit. Selain mengajarkan sifat jujur, menurut penulis, kasus diatas juga mengajarkan sifat tegas pada siswa. Pada kasus diatas, siswa dituntut untuk tidak bertele-tele dalam memberikan jawaban sehingga tidak membingungkan yang bertanya, karena seringkali jawaban yang bertele-tele membingungkan untuk dimengerti dari pada jawaban yang tegas. Contohnya saja, jika ada seorang yang bertanya : berapa saudaramu ? Jawaban tegas : 5! 3 saudara kandung dan dua saudara tiri. Jawaban yang bertele-tele : ”sebenarnya aku Cuma memiliki tiga saudara tapi karena dulu ayahku pernah menikah lagi, dan dari istri keduanya itu memiliki satu anak, dan sebelum menikah sama ayahku istri keduanya itu telah memiliki satu anak dengan suaminya yang terdahulu, jadi.......bla,bla,bla.. Contoh lain selain diatas adalah pada hasil perkalian bilangan bulat 3 x 4 pasti 12. pada persoalan tersebut kita tegas mengatakan bahwa 3 x 4 = 12 adalah benar, kalau bukan 12, kita tegas mengatakan itu salah. Karena dalam ilmu matematika hanya ada dua pilihan yaitu salah dan benar, tidak mungkin benar sekaligus salah, separuh benar separuh salah. Jadi matematika mengajarkan sikap tegas, tegas mengatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah, tidak abu-abu. Selain sifat tersebut diatas, matematika juga mengajarkan sikap hidup benar dan bertanggung jawab. Tanggungjawab secara sempit adalah suatu usaha seseorang yang diamanahkan, harus dilakukan. Dalam Islam istilah tanggungjawab merupakan amanah. Secara luas tanggungjawab diartikan sebagai usaha manusia untuk melakukan amanah secara cermat, teliti, memikirkan akibat baik dan buruknya, untung dan rugi serta segala hal yang berhubungan dengan perbuatan tersebut secara transparan menyebabkan orang percaya dan yakin, sehingga perbuatan tersebut mendapat imbalan baik maupun pujian dari orang lain. Dalam hal ini adalah matematika yang berkenaan dengan masalah pembuktian. Langkah-langkah dalam pembuktian matematika harus berdasarkan pada hal-hal yang sudah diakui kebenarannya. Langkah demi langkah harus berdasarkan alasan yang jelas, kaut dan benar, seperti contoh: jika seorang siswa dapat menjawab; -2 + (-5) -2 + 7 – (-3) – (+4) + 9 – 10 + (-2) + 3. Hasilnya adalah -3, maka ia harus bisa menjelaskan alasan maupun langkah-langkah yang digunakan. Jika ia bisa menjelaskan , maka ia telah bertanggung jawab atas jawabannya, tetapi bila sebaliknya itu berarti tidak benar dan tidak bertanggung jawab. Berikut merupakan langkah-langkah penyelesaiannya: 1. Menyederhanakan bilangan positif negatif tersebut -2 -5 -2 +7 +3 -4 +9 -10 -2 +3 2. Kumpulkan sesuai tandanya dan jumlahkan -2 -5 -2 -4 -10 -2 +7 +3 +9 +3 3. Diperoleh +22 – 25 = -3 Dengan cara sepertia itulah sebenarnya matematika mengajarkan sikap hidup benar dan bertanggung jawab. Implikasi atau aplikasi dalam kehidupan, kita diajarkan bahwa setiap perkataan, kehendak dan perbuatan harus berdasar pada sumber yang benar, semua perbuatan ada dasarnya, dalam hal ini adalah al-quran dan al-hadits. Mengapa kita mengerjakan sholat? Dasarnya karena diperintahkan dalam al-quran, mengapa kita tidak boleh sombong? Dasarnya karena hal itu dilarang dalam al-Quran. c. Membentuk Karakter pantang menyerah dan percaya diri Sikap pantang menyerah terkadang memang sangat kita butuhkan ketika kita dalam keadaan yang sulit. Mencari solusi untuk menyelesaikan soal matematika, akan melatih kita untuk bersikap pantang menyerah dan percaya diri. Langkah demi langkah yang kita coba dan terus mencoba sampai akhirnya kita menemukan jawabannya itulah sikap pantang menyerah dan percaya diri. Saat gagal atau tidak bisa menjawab kita dituntut untuk mencari cara lain agar solusi dan jawaban itu dapat kita temukan, kegagalan dengan satu cara tidak boleh mengurangi semangat kita untuk terus berusaha, saat keberhasilan tercapai maka rasa puas dan bangga akan tumbuh (tapi ingat jangan berlebihan ya......). Dari sini, sungguh matematika telah mengajarkan kepada kita tantang pentingnya sikap pantang menyerah dan percaya diri, inilah mutiara yang sangat berguna dalam kehidupan. Dalam al-Quran sikap pantang menyerah, pantang berputus asa dan percaya diri sangat dianjurkan dan merupakan perintah dalam alquran, Firman Allah dalam QS. Al-ankabut ayat 23 menjelaskan: Artinya: “Dan orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah dan pertemuan dengan dia, mereka putus asa dari rahmatku, dan mereka itu mendapat adzab yang pedih.” Dalam QS yusuf ayat 87 : Artinya: “Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum kafir”. Dalam QS Al-Hijr ayat 56 : Artinya: “Ibrahim berkata: tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhan-nya, kecuali orang-orang yang sesat.” E. Kesimpulan Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa dari ke 18 macam inti karakter dalam desain induk yang akan dikembangkan pada semua kegiatan pendidikan dan pembelajaran, matematika akhlak berperan dalam pembentukan karakter pada poin 2 (Jujur), 4 (Displin), 5 (Kerja Keras) dan 18 (Tanggung Jawab). Pada poin 2 menjelaskan bahwa Jujur merupakan Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan dan pekerjaan. Pada poin 4 menjelaskan bahwa disiplin atau ketegasan merupakan Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. Pada poin 5 dijelaskan bahwa kerja keras atau pantang menyerah merupakan Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Pada 18 dijelaskan bahwa Tanggung Jawab merupakan Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa. Integrasi penanaman karakter pada setiap mata pelajaran merupakan sebuah keniscayaan, tanpa harus berdiri sebagai satu mata pelajaran sendiri, pendidikan karakter seharusnya sudah Automaticaly Integrated dalam setiap mata pelajaran, setiap guru seharusnya dapat mengkaitkan antara substansi pelajaran yang diajarkan dengan karakter yang akan dibentuk, dalam hal ini penulis mengungkap beberapa susbstansi pada mata pelajaran matematika yang dapat digunakan untuk membentuk karater siswa. Demikian juga dengan mata pelajaran yang lain, guru diharapkan dapat sekreatif mungkin mengkaitkan dan mengintegrasikan substansi pelajaran yang diajarkan dengan karakter siswa yang akan dibentuk. Wallahu A’lam bi Ashowab. DAFTAR PUSTAKA Abdussyakir, Ketika Kyai Mengajar Matematika, Malang : UIN-Malang Press, 2004. Al-Farabi, Fusul, also al-Farabi, al-Tanbih, dalam Mohd Nasir Omar. Christian and Muslim Ethic. Al-Ghazali, Ihya ulumuddin III. Battistich, Victor, Character Education, Prevention and Positive Youth Development, University of Missouri, St. Louis, USA, 2002. Blackfoard, Katherine M.H., and Arthur Newcomb, Analyzing Character, Gutenberg, eBook, 2004. Bumolo, Husain dan Djoko Mursinto, Matematika untuk Ekonomi dan Aplikasinya, Malang : Bayumedia Publishing, 2005. Handoyo, Bekti Hermawan, Matematika Akhlak, Jakarta : Kawan Pustaka, 2007. http://news.detik.com/read/2013/03/14/111226/2193658/10/mendikbud-pelajaran-matematika-bisa-membentuk-sikap-dan-akhlak-anak Lickona, Thomas, Education for Character, 2001. Mas’ud, Moch, Quantum Bilangan-bilangan al-Qur’an, Yogyakarta : DIVA Press, 2008. Masykur, Moch dan Halim Fatoni, Mathematical Intelligence; cara cerdas Melatik Otak dan Menanggulangi Kesulitan Belajar, Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2007. Manzur, Ibn, Lisan al-Arab, 6 vols. Cairo: Dar al-Ma’arif, II. Pusat Kurikulum, Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Badan Litbang, Kementrian Pendidikan Nasional, 2010. Saliba, Jamil, al-Mu’jam al-Falsafi , 2 vols. Beirut: Dar al¬Kitab al-Lubnani. I. 1971. Theresia, Tirta Saputro, Pengantar Dasar Matematika Logika dan Teori Himpunan, Jakarta : Erlangga, 1992. Webber, Jonathan, Sarte’s Theory of Character, Europe Journal of Philosophy, Blackwell Publishing House, UK, 2006. Yahya, Tahdhib; dalam Mohd Nasir Omar

Monday, January 21, 2013

Internalisasi Konsep Ta'dib Al-Attas dalam Membangun Karakter

“The purpose for seeking knowledge in Islam is to inculcate goodness or justice in man as man and individual self. The aim of education in Islam is therefore to produce a goodman… the fundamental element inherent in the Islamic concept of education is the inculcation of adab…” (S.M.N. Al-Attas, 1979:88-89) “Orang baik” atau good man, tentunya adalah manusia yang berkarakter dan beradab. Al-Attas dalam konsep Ta’dibnya menjelaskan bahwa ada 3 element mendasar yang terdapat dalam Pendidikan Islam yaitu Process, Content and Recipient. Proses adalah Metode, content adalah adab, dan recipent adalah peserta didik. Pendidikan sejatinya merupakan penanaman “adab” kepada peserta didik dengan metode “suri tauladan” yang baik. Jika sang “suri tauladan” belum memiliki etika dan moral yang baik, maka jangan harap program pendidikan karakter yang dicanangkan pemerintah akan berhasil, tapi justru akan menjadi sebatas pengetahuan diatas kertas yang hanya dihafal tanpa ada implementasi. Karena itulah, pendidikan karakter memerlukan “suri tauladan” dari sang “pembentuk karakter”, Jika di pondok pesantren dikenal istilah sebaik-baik belajar adalah dengan mengajar maka tidaklah berlebihan jika dikatakan, sebaik-baik pendidikan adalah dengan suri tauladan. Kata Kunci : Karakter, Adab, Ta’dib dan Suri Tauladan A. Pendahuluan Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Pendidikan Nasional sudah mencanangkan penerapan pendidikan karakter untuk semua tingkat pendidikan, dari SD hingga Perguruan Tinggi. Menurut Mendiknas, Muhammad Nuh, pembentukan karakter perlu dilakukan sejak usia dini. Jika karakter sudah terbentuk sejak usia dini, kata Mendiknas, maka tidak akan mudah untuk mengubah karakter seseorang. Ia juga berharap, pendidikan karakter dapat membangun kepribadian bangsa. Mendiknas mengungkapkan hal ini saat berbicara pada pertemuan Pimpinan Pascasarjana LPTK Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) se-Indonesia di Auditorium Universitas Negeri Medan (Unimed), Sabtu (15/4/2010). Munculnya gagasan program pendidikan karakter di Indonesia, bisa dimaklumi. Sebab, selama ini dirasakan, proses pendidikan dirasakan belum berhasil membangun manusia Indonesia yang berkarakter. Bahkan, banyak yang menyebut, pendidikan telah gagal, karena banyak lulusan sekolah atau sarjana yang piawai dalam menjawab soal ujian, berotak cerdas, tetapi mental dan moralnya lemah. Banyak pakar bidang moral dan agama yang sehari-hari mengajar tentang kebaikan, tetapi perilakunya tidak sejalan dengan ilmu yang diajarkannya. Sejak kecil, anak-anak diajarkan menghafal tentang bagusnya sikap jujur, berani, kerja keras, kebersihan, dan jahatnya kecurangan. Tapi, nilai-nilai kebaikan itu diajarkan dan diujikan sebatas pengetahuan di atas kertas dan dihafal sebagai bahan yang wajib dipelajari, karena diduga akan keluar dalam kertas soal ujian. (Adian Husaini, 2010 : 1) B. Metodologi 1. Jenis dan Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian pustaka (library research) dan menggunakan pendekatan deskriptif-analisis. Karenanya penelitian ini menekankan pada ketajaman pandangan serta telaah pemikiran. Dalam penelitian ini penulis tidak hanya berusaha menemukan keterkaitan dengan berbagai fakta (fact finding research), namun juga berusaha untuk menemukan gagasan-gagasan besar (great ideas) di balik fakta-fakta yang diperoleh dari tokoh tersebut (Muzayyin Arifin, 2003 : 5). 2. Metode Analisis Data Untuk menganalisis dan mengolah data, digunakan metode analisis isi (content analysis), yakni analisis terhadap makna dan kandungan yang ada pada teks. Dengan demikian setelah data di deskripsikan apa adanya, maka yang berperan selanjutnya adalah analisis tersebut, sehingga corak sajian datanya adalah deskriptif-analitis. (Anton Beker, 1990 : 75) Kedua, koherensi internal, yaitu usaha untuk memahami secara benar guna memperoleh hakikat dengan menunjukkan semua unsur struktural yang dilihat dalam satu struktur yang konsisten, sehingga merupakan internal struktur atau internal relational. (Sudarto, 1997 : 42). Ketiga, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif-analitik. Metode deskripsi merupakan langkah yang dilakukan dalam rangka representasi obyek tentang realitas yang terdapat di dalam masalah yang diteliti. Yakni, metode yang digunakan secara sistematis untuk mendeskripsikan segala hal yang berkaitan dengan pokok permasalahan. (Soejono & Abdurrahman, 1999 : 13) C. Temuan Ada 2 faktor yang sangat berpengaruh terhadap pembentukan karakter anak, diantaranya : 1. “Lingkungan”. Diantara lingkungan yang paling berpengaruh adalah rumah, sekolah dan masyarakat. 2. “Figur”. Orang tua sebagai figur di rumah, guru sebagai figur di sekolah, dan tokoh masyarakat sebagai figur di masyarakat. Adapun usaha yang perlu dilakukan oleh pendidikan untuk membentuk karakter anak didik adalah : 1. Sebelum memberikan nasehat, terlebih dahulu seorang figur, (orang tua, guru dan tokoh masyarakat) memberikan contoh yang baik (suri tauladan) kepada anak didik, mengenai hal yang ingin ditanamkan. 2. Seorang figur harus mampu menciptakan suasana yang kondusif sesuai dengan karakter yang ingin dibentuk D. Pembahasan Dalam bukunya Islam, Secularism and the Philosophy of the Future, Syed Muhammad Naquib al-Attas (selanjutnya disingkat al-Attas) menjelaskan bahwa dalam pendidikan Islam melekat tiga element mendasar yaitu: Process, Content and Recipient (Proses-Isi-Penerima). Yang dimaksud dengan proses adalah proses penanaman (process of instilling) yang kemudian dirujuk pada metode dan sistem pembelajaran. Jadi jika ada pertanyaan “apakah itu pendidikan?” maka jawabannya adalah “pendidikan adalah sebuah proses penanaman sesuatu kepada manusia” (Education is a process of instilling something into human beings). (S.M.N al-Attas, 1985 : 173) Dari definisi pendidikan tersebut, selanjutnya menimbulkan sebuah pertanyaan: “apa yang akan ditanam?” (What is Instilled?). Dalam pendidikan Islam, yang di tanam disini adalah adab, dengan demikian yang dimaksud dengan content atau isi diatas adalah adab. Setelah pertanyaan “apa yang akan ditanam” sudah terjawab, ada satu pertanyaan lagi yang perlu dijawab yaitu: “kepada siapa adab itu ditanamkan?”, dalam pengertian ini adalah penerima atau recipient dari pendidikan tersebut, apakah balita, anak-anak, remaja, orang dewasa atau orang lanjut usia. Dari sinilah kemudian muncul beberapa disiplin ilmu seperti: psikologi anak, psikologi remaja, pedagogy, andragogy dan lain-lain. Karena metode penyampaian isi atau content disesuaikan dengan penerima isi atau content tersebut. Maka mendidik anak-anak tidak sama dengan mendidik remaja, mendidik remaja tidak sama dengan mendidik orang dewasa dan seterusnya. (S.M.N al-Attas, 1985 : 174) Akan tetapi hal yang terpenting dari ketiga element mendasar yang terdapat dalam pendidikan Islam tersebut adalah bagaimana “metode” penanaman content atau isi tersebut? Artinya bagaimana metode pembentukan karakter anak didik? Berikut ini adalah sebuah kisah yang dapat dijadikan contoh metode penanaman adab dan pembentukan karakter peserta didik : “Pada suatu malam tatkala Khalifah Umar bin Abdul Aziz (seorang Khalifah Bani Umaiyah) sedang tekun bekerja di bilik istananya, tiba-tiba seorang putranya masuk untuk membincangkan sesuatu hal yang berhubung dengan urusan keluarga. Tiba-tiba baginda memadamkan lampu yang terletak di mejanya yang digunakan untuk menerangi bilik kerjanya itu. Putranya merasa hairan melihat sikap ayahnya itu seraya bertanya: "Kenapa ayah padamkan lampu itu?" Maka jawab ayahnya: "Benar kata kau wahai anakku, tetapi kau harus ingat lampu yang sedang ayah gunakan untuk bekerja ini kepunyaan kerajaan. Minyak yang digunakan itu dibeli dengan menggunakan wang kerajaan, sedang perkara yang hendak anakkanda perbincangkan dengan ayahanda adalah perkara keluarga." Lantas baginda meminta pembantunya membawa lampu dari bilik dalam. Kemudian baginda pun berkata kepada putranya: "Sekarang lampu yang baru kita nyalakan ini adalah kepunyaan keluarga kita, minyak pun kita beli dengan wang kita sendiri. Sila kemukakan apa masalah yang anakanda perbincangkan dengan ayahanda." Demikianlah besarnya sifat amanah dari seorang pemimpin berkalibar selaku seorang raja yang berjiwa besar”. Dalam cerita tersebut, Khalifah Umar bin Abdul Aziz ingin membentuk karakter anaknya dengan karakter yang jujur dan amanah, yaitu agar tidak menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi. Yang dapat diambil pelajaran dari kisah tersebut adalah metode penyampaian yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz, yaitu tidak hanya melalui kata-kata ataupun perintah, akan tetapi dimulai dari “suri tauladan” atau contoh dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz sendiri, yang pada akhirnya diharapkan dapat ditiru oleh anaknya. Dengan demikian, pembentukan karakter sangatlah dipengaruhi oleh figur dan tokoh sang pembentuk karakter, terbentuknya karakter di keluarga dipengaruhi oleh orang tua sebagai figur, terbentuknya karakter di sekolah dipengaruhi oleh guru sebagai figur dan terbentuknya karakter di masyarakat oleh tokoh masyarakat sebagai figur. Yang menjadi permasalahan sekarang adalah Indonesia saat ini sedang krisis “figur”. Figur dan lingkungan menjadi faktor utama terbentuknya karakter peserta didik, al-Attas menjelaskan bahwa lingkunganlah yang membentuk prilaku dan karakter peserta didik, al-Attas mengilustrasikan istilah adab layaknya sebuah undangan untuk menghadiri jamuan spiritual inviting to a banquet. Sebagaimana yang dijelaskan al-Attas : Kitab suci al-Qur’an adalah undangan Tuhan kepada manusia untuk menghadiri jamuan kerohanian, dan cara memperoleh ilmu pengetahuan yang sebenarnya tentang al-Qur’an itu adalah dengan menikmati makanan-makanan yang lezat yang tersedia dalam jamuan kerohanian tersebut. Artinya, karena kenikmatan makanan yang lezat dalam jamuan istimewa itu ditambah dengan kehadiran kawan yang agung dan pemurah, dan karena makanan tersebut dinikmati menurut cara-cara, sikap, dan etiket yang suci, maka hendaknya ilmu pengetahuan yang dimuliakan dan sekaligus dinikmati itu didekati dengan perilaku yang sesuai dengan sifatnya yang mulia. (S.M.N al-Attas, 1993 : 149) Ilustrasi tersebut menggambarkan bahwa, seseorang ketika menghadiri jamuan makan di sebuah undangan, dengan dihadiri orang-orang yang terhormat, maka secara otomatis mulai dari gerak-gerik dan cara makan akan berbeda dengan ketika dirumah. Berhubung dalam jamuan tersebut banyak orang yang agung dan terhormat maka para undangan akan menikmati jamuan tersebut dengan cara-cara, sikap, dan etiket yang baik, berbeda halnya dengan ketika makan dirumah sendiri, seseorang akan makan dengan lahapnya, kaki diangkat diatas kursi, tanpa menghiraukan sikap dan etiket yang baik. Dengan demikian orang tua harus dapat menciptkan suasana religius di dalam rumah, misalnya membiasakan diri mengaji setelah maghrib, shalat berjama’ah ketika mendengar adzan, dan berbicara sopan kepada anak. Maka sang anak akan merasa malu jika setelah magrib tidak mengaji padahal orang tuanya mengaji. Anak akan merasa malu jika ketika adzan televisi masih menyala, padahal orang tuanya sudah siap mau ke masjid. Anak akan merasa malu berbicara kasar pada orang tua, karena orang tua selalu berbicara sopan dan lembut kepada anak. Demikian halnya di lingkungan kampus, jika seorang dosen ingin membentuk karakter mahasiswa agar suka menulis, maka paling tidak dosen tersebut harus sudah pernah menulis buku, menulis di jurnal dan koran, jika tidak, maka jangan pernah berharap mahasiswa mau menulis, karena sang “figur” yang seharusnya dijadikan panutan belum pernah menulis, seperti ungkapan dalam al-Qu’ran : Kaburo Maktan ‘Inddallahi Antakuulu Mala Ta’maluun, Artinya: Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (Q.S. Ash Shaff : 3). Maka jika seorang menteri ingin mencanangkan program pendidikan karakter, perlu dipertanyakan, apakah bapak menteri sudah memiliki etika, moral dan karakter yang baik? Wallahu a’lam bi ashowab. E. Kesimpulan Dari semua analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa: Al-Attas menganggap “adab” adalah hal yang melekat dalam konsep pendidikan Islam, menciptakan “good man” merupakan tujuan utama pendidikan Islam, “adab” oleh al-Attas di ilustrasikan seperti inviting to a banquet, yang menggambarkan bahwa sikap dan etika seseorang dipengaruhi oleh lingkungan dimana seseorang tersebut hidup. Maka jika ingin merubah sikap dan etika anak didik, harus dimulai dengan merubah lingkungan sekitar menjadi baik, dan perubahan tersebut di awali oleh figur-figur yang berperan di masing-masing lingkungan. Orang tua sebagai figur di rumah, guru sebagai figur di sekolah, dan tokoh masyarakat sebagai figur di masyarakat. DAFTAR PUSTAKA al-Attas, Syed Muhammad Naquib, (ed). Aims And Objectives of Islamic Education (Jeddah: King Abdul Aziz University. 1979. _________, Islam, Secularism and the Philosophy of the Future. London-New York: Mansell Publishing Limited. 1985. _________, Islam and Secularism, Kuala Lumpur, Art Printing Works Sdn. Bhd. 1993. _________, Prolegomena to The Methaphysics of Islam. Kuala Lumpur. International Institute of Islamic Thought and Islamic Civilization (ISTAC). 1995. _________, The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education. An address to the Second World Confrence on Muslim Educatiion, Islamabad Pakistan. 1980. Arifin, Muzayyin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2003. Beker, Anton, Metodologi Penelitian Filsafat, Jogjakarta: Kanisius, 1990. Conference Book, First World Conference on Muslim Education, Jeddah-Mecca King Abdul Aziz University, 1393. Husaini, Adian, Pendidikan Karakter: Penting tapi Tidak Cukup, Jakarta: INSIST, 2010. Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997. Soejono dan Abdurrahman, Bentuk Penelitian, suatu Pemikiran dan Penerapan Jakarta: Rineka Cipta, 1999.

Buku Terbaru: Studi Islam Perspektif Insider/Outsider


Pada abad yang lalu studi tentang agama-agama manusia menjadi dasar pengembangan akademik, seperti di Amerika, Eropa dan Inggris. Di Amerika Utara misalnya, sekolah-sekolah menyediakan jurusan studi agama, sehingga pada paroh kedua dari abad ke-19, studi scientific agama memperoleh kebebasan dari fakultas-fakultas pada universitas-universitas di Eropa dan Inggris, pada saat itulah masa dimana studi agama, sejarah, antropologi, ketimuran, dan injil menjadi disiplin ilmu yang mandiri Diantara agama-agama yang menarik dikaji oleh masyarakat internasional saat ini adalah agama Islam. Buku ini merupakan representasi dari ketertarikan dunia internasional terhadap Studi Islam, sehingga penulis menyajikan dalam buku ini dua perspektif (insider/outsider) dalam Studi Islam, dengan harapan dapat mewakili opini masyarakat dunia baik dari insider maupun outsider. Buku ini berusaha memberikan alternatif metodologis bagi penelitian agama, terutama terkait dengan pemecahan masalah-masalah keagamaan di Masyarakat Muslim. Adapun permasalahan dalam studi Islam oleh Kim Knott dapat dipetakan menjadi beberapa permasalahan ; Pertama, betapa sulitnya membuat garis demarkasi yang jelas antara wilayah agama dan yang tidak. Kedua, adanya persoalan yang sangat rumit ketika ada yang memahami agama, antara ia sebagai tradisi (tradition) dan sebagai keimanan (faith). Ketiga, terjadinya stagnasi metodologis dan pendekatan di kalangan akademisi maupun praktisi ketika mempelajari studi agama. Di satu pihak, mereka dituntut agar dapat memahami agama dalam orientasi akademik, dan di pihak lain, mereka harus menjaga nilai transendensi agama. Keempat, karena beberapa universitas (baik di Barat maupun di Timur) masih menyimpan sejumlah masalah seputar studi Islam dengan menggunakan pendekatan ilmiah. Buku ini menyugugkan pendekatan-pendekatan dan berbagai wacana yang dapat memperkaya khazanah keilmuan Islam, baik dari insider maupun outsider. Diantara tawaran-tawaran tersebut diberikan oleh : Charles Sanders S. Peirce, Richard. C Martin, Charles J. Adam, Kim Knott, Omid Safi, Abid Al-Jabiri, Ibrahim Abu Rabi’, Khaled Aboe El-Fadl, Abdullah Saeed, Fathi Osman, Fethullah Gulen, Jasser Auda, Mashood A. Baderin, Nasr Hamid Abu Zayd, Muhammad Arkoun. Mereka memahami agama-agama dalam orbit kultur yang sangat beragam. Sehingga, persoalan krusial dalam studi agama secara objektif adalah kuatnya keyakinan truth claim, yang tidak terpisahkan dari kajian dan objek penelitian. Perlunya netralitas dan keluar dari truth claim dalam penelitian agama sangat disarankan oleh Kristensen, van der Leeuw dan Ninian Smart, mereka menawarkan metode agnostisisme. Metode tersebut diidentifikasi oleh Smart - dan dilanjutkan oleh Barker, metode ini mendominasi studi agama pada era 1970-an dan 1980-an. Menurutnya, cara tersebut untuk mendekatkan adanya gap dikotomi antara insider-outsider, menjadi dua sisi yang integral dalam perspektif sehingga menjadi netral. Netralitas yang diinginkan, dalam arti tidak mudah terkooptasi untuk mendukung kepentingan tertentu yang bersifat empiris pragmatis. Senada dengan Smart, Cornelius Tiele memberikan polarisasi, meski masih rancu dan cenderung debatable dalam Elements of the Science of Religion (1897). Ia membedakan antara private religious subjectivity of individual (keberagamaan individu yang subjektif) dengan outward impartiality as a scholar of religion (peneliti kajian agama yang netral), sebagai instrumen mendasar untuk studi agama menuju pada hasil yang objektif. Meski dua tipologi itu memberi penegasan karakter, namun justifikasi dari keduanya yang masih memicu kontroversi, seakan ia telah menjustifikasi bahwa insider cenderung melihat persoalan keberagamaan secara subjektif, sedangkan peneliti outsider memandangnya secara objektif impartial. Konsepsi Barat tentang objektivitas dalam studi agama digambarkan oleh Wilfred C. Smith sebagai berikut; No statement about a religion is valid unless it can be acknowledged by that religion’s believers, Merujuk pada studi pribadinya, Smith juga menegaskan, Anything that I say about Islam as a living faith is valid, only as far as Muslims can say “amin” to it. Ungkapan yang simpatik dari outsider, meski tetap perlu untuk dikritisi. Sejatinya, kajian Islam dari para outsider memberi kontribusi gagasan-gagasan besar ilmiah yang memicu gerakan intelektual dalam peradaban Islam. Lahirnya daya kritis Islam terkadang lahir berkat kajian-kajian para outsider. Dengan cara berfikir kritis, intelektual Muslim mengetahui problem yang sedang dihadapi, sembari mengusulkan berbagai pemecahan yang harus segera dilakukan. Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan ribuan terimakasih kepada Prof. Dr. Syafiq A. Mughni, MA., yang meluangkan waktunya untuk memberi kata pengantar pada buku ini. Tidak lupa penulis ucapkan terimakasih khususnya kepada Prof. Dr. Amin Abdullah, MA., yang telah memberikan pencerahan akademik, memperkaya perspektif serta memberikan masukan-masukan berarti pada kami, karena sejatinya tulisan dalam buku ini adalah buah dari diskusi penulis dengan Prof. Amin dalam mata kuliah metodologi studi Islam di kelas. Namun perlu disadari bahwa, setiap tulisan dalam buku ini masih menyimpan banyak kelemahan, karena itu saran dan kritik yang konstruktif dari pembaca sangat dinantikan, untuk kemudian dapat disajikan bahan-bahan bagi penyempurnaan. Selamat Membaca!

Monday, June 18, 2012

Nasib Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi



Pendidikan Agama Islam di berbagai perguruan tinggi umum telah mengalami nasib di persimpangan jalan, baik mulai dari respon mahasiswa, dosen hingga pada bentuk apresiasi dan perilaku mereka terhadap PAI tersebut. Seringkali kita menduga bahwa sikap mereka pada PAI itu kurang dialogis, komunikatif dan apresiatif. pertanyaannya kenapa dan bagaimana nasib dan arah PAI di PT hari ini dan esok? Silahkan baca buku ini. Smoga bermanfaat.
</span>

Ada apa dengan filsafat pendidikan?


Tujuan filsafat pendidikan memberikan inspirasi bagaimana mengorganisasikan proses pembelajaran yang ideal. Teori pendidikan bertujuan menghasilkan pemikiran tentang kebijakan dan prinsip-rinsip pendidikan yang didasari oleh filsafat pendidikan. Praktik pendidikan atau proses pendidikan menerapkan serangkaian kegiatan berupa implementasi kurikulum dan interaksi antara guru dengan peserta didik guna mencapai tujuan pendidikan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori-teori pendidikan. Peranan filsafat pendidikan memberikan inspirasi, yakni menyatakan tujuan pendidikan negara bagi masyarakat, memberikan arah yang jelas dan tepat dengan mengajukan pertanyaan tentang kebijakan pendidikan dan praktik di lapangan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori pendidik. Seorang guru perlu menguasai konsep-konsep yang akan dikaji serta pedagogi atau ilmu dan seni mengajar materi subyek terkait, agar tidak terjadi salah konsep atau miskonsepsi pada diri peserta didik.

Apakah Islam akan maju dengan menjadi Sekuler?




Dari judulnya, kita mengetahui bahwa buku ini membahas kasus Turki. Yaitu, negara Turki yang mengadakan pembaharuan setelah jatuhnya masa Khalifah Turki Usmani, namun sayang karena berakhir menjadi sekuler. Sebenarnya, setiap masalah tentang Turki pernah dibahas, namun demikian tidak berarti bahwa setiap orang telah memahaminya. Hal ini terbukti dengan semakin menjalarnya sekularisme di negara-negara muslim, bahkan menganggap bahwa Islam mengajarkan sekularisme kepada ummatnya. Padahal mereka secara sadar melihat eksperimen yang dilakukan Turki tidak berbuah keberhasilan.
Sekularisasi di turki diawali dengan pembaharuan di Tubuh Turki oleh Sadrazam atau Wazir Agung. Wazir Agung merupakan figur kunci dalam pembaharuan di Turki. Pembaharuan di Turki berjalan terus-menerus pasca runtuhnya Turki Usmani.

Akan tetapi, pembaharuan yang dilakukan di tubuh Turki berakhir dengan sekularisasi, sehingga pembaharuan yang awalnya bertujuan untuk membangun kejayaan Turki seperti pada kekhalifahan Turki Usmani berakibat pada pemisahan antara negara dan agama seperti apa yang dialami oleh negara-negara Barat. Pembaharuan tersebut terlihat sangat jelas pada masa Sultan mahmud.
Sultan Mahmud menganjurkan kepada para pejabat untuk mengganti pakaian kebesaran tradisional dengan stelan Barat. Selain itu Mahmud mengalihkan kekuasaan yudikatif yang selama ini dipegang Wazir Agung kepada Syekh al-Islam. Sedang dalam pendidikan, Mahmud memperkenalkan ide-ide modern Barat dan filsafat kedalam sekolah-sekolah Turki. Dari sinilah pembaharuan yang dilakukan Mahmud semakin memperjelas arah pembaharuan Turki selanjutnya.

Sejatinya, memang terdapat perbedaan dalam arah pembaharuan Islam antara para pembaharu pra modern dan pembaharu modern. Para pembaharu sebelum priode modern melancarkan pembaharuan untuk memurnikan kehidupan keagamaan Ummat Islam dari bentuk penyelewengan-penyelewengan, bid’ah dan khurofat agar sesuai dengan corak kehidupan zaman rasulullah dan salafus sholih.

Buku, “Majukah Islam dengan Menjadi Sekuler?” ini memaparkan kepada kita tentang arti sekuler, kemudian keadaan Turki sebelum dan sesudah menjadi Sekuler. Di akhir penjelasan, penulis memberikan kesimpulan apakah sekulerisasi memang patut menjadi solusi permasalahan terutama ummat Islam? Temukan jawabanya dalam buku ini.
Arfan Mu’amar: lahir 3 November 1984 di resik. Alumni KMI (Kulliyatul Mu’alimin al-Islamiyah) Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo tahun 2003. Kini menjadi salah satu pengkaji di Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS) dalam bidang sejarah peradaban dan pendidikan Islam, sekaligus menjadi staff di tempat yang sama.
CIOS (Centre for Islamic and Occidental Studies) adalah lembaga pengkaji konsep-konsep penting, problematika dan isu-isu kontemporer dalam tradisi intelektual peradaban Islam dan Barat. Kagiatan utama lembaga ini adalah workshop, seminar, ceramah ilmiyah, penelitian, diskusi, kajian dan penerbitan hasil-hasil kajian.

Judul              : Majukah Islam dengan Menjadi Sekuler? (Kasus turki)
Penulis             : M. Arfan Muammar
Tebal/ Tahun   : 81 halaman/ 2007
Penerbit          : CIOS (Center for Islamic & Occidental Studies)

Sumber: http://imtaq.com/majukah-islam-dengan-menjadi-sekuler/
</span>

Apa itu Hermeneutika?


Oleh : M. Arfan Mua’ammar
            Istilah “hermeneutika” (bahasa Inggris: hermeneutics) berasal dari ”hermeneuein” (Yunani) yang diambil dari kata hermeneia yang secara harfiah berarti penafsiran/ interpretasi. Sedangkan, hermeneutes bermakna penafsir. Kata ini semula dihubungkan dengan Hermes, yaitu utusan yang bertugas menyampaikan pesan Dewa Jupiter kepada manusia. Dengan diasosiasikan dengan Hermes[1], hermeneutika memiliki unsur triadik (tiga): pesan atau teks, penafsir (interpreter) yang diasosiakan dengan Hermes yang menyampaikan pesan kepada manusia, dan penyampaian pesan tersebut kepada manusia (audiens). Dengan begitu, hermeneutika kemudian menjadi “seni menginterpretasikan” (the art of interpretation). [2] <span class="fullpost">
Dalam tradisi yunani kuno hermeneuen dipakai dalam tiga makna yaitu mengatakan (to say), menjelaskan (to explain), dan menerjemahkan (to translate). Dari tiga makna ini kemudian dalam kata inggris di ekspresikan dengan kata : to interpret. Dengan demikian kegiatan interpretasi menunjukkan pada tiga hal pokok : pengucapan lisan (an oral recitation), penjelasan yang masuk akal (a reasonable explanation), dan terjemahan dari bahasa lain (a translation from another language)[3].
Hermeneutika semula diterapkan untuk menginterpretasi teks-teks atau ungkapan-ungkapan Yesus dalam Bible (the study of the general principle of Biblical interpretation)[4]. Di kalangan Kristen awal, Origen dikenal sebagai salah seorang yang memperkenalkan cara-cara memahami Bible, yaitu dengan menggunakan metode allegoris (di samping metode-metode yang dikenal sebelumnya, yaitu interpretasi literal, interpretasi moral, dan interpretasi mistis).
Hermeneutika secara umum (baik yang diterapkan dalam kajian teks maupun yang diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial) melihat “teks” sebagai sesuatu yang bisa dibaca, diamati, atau dipikirkan, sehingga “teks” mengandung dua pengertian: teks tertulis (seperti buku, dokume, kitab suci, dsb.) dan teks tak tertulis atau realitas, namun juga bisa dibaca, seperti realitas sosial.
Teks dalam perspektif  hermeneutika adalah produk atau hasil dari pengarangnya (the author). Oleh karena itu, hermeutika sangat mempersoalkan tentang pengarang (authorship) ketika berbicara tentang teks. Sebagai konsekuensinya, "hermeneutika tidak membedakan antara teks umum dengan teks suci (kitab suci, sacred text)", terutama pada hermeneutika modern yang dipelopori oleh Schleiermacher (1768-1834), seorang pendeta. Dalam kajian hermeneutika, teks kitab suci tetap dianggap sebagai teks manusiawi, sebagaimana teks linguistik[5] lainnya.
Dalam hermeneutika selalu diusulkan pemahaman teks yang bertolak dari keterkaitan antara unsur triadik (tiga pihak): teks, pembaca atau penafsir, dan audiens (masyarakat). Jika diilustrasikan, hubungan triadik tersebut adalah begini:


                     Teks (nash)                   









          Pembaca








Audiens

Hubungan antara teks n pembaca n audiens itulah yang sering disebut oleh para pendukung hermeneutika sebagai negosiating process (proses negosiasi, tawar-menawar antara makna yang termakub dalam teks secara normatif dengan situasi masyarakat secara riil), istilah M. Amin Abdullah, atau fusion of horizon menurut istilah Gadamer. Sejauh mana kepentingan umat bisa terpenuhi dengan tafsiran baru menurut skema metodologis ini adalah sejauh mana pula si interpreter “membaca kondisi masyarakat” dan “membaca teks kitab suci”.
Cara Kerja (Operasional) dalam Memahami Teks
            Hermeneutika dalam perkembangan bermacam-macam : sebuah pergesaran paradigma (Shifting Paradigm) dalam memahami makna yang terkandung dalam teks.
Hermeneutika Romantatik[6]
Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher
L          : Breslau, 21 November 1768
W        : Berlin, 12 Februari 1834
Schleiermacher (1768-1834) dengan “hermeneutika psiklogis” (langkah 1: interpretasi gramatikal dengan media kaedah bahasa, dalam re-konstruksi gramatikal, pembaca menafsirkan teks dengan aturan dan struktur gramatikal dan linguistik yang berlaku dalam konteks ketika teks itu diproduksi. Maka penafsiran gramatikal – yang mendekati teks dalam kerangka makna dari kata-kata tertentu, harus dilengkapi dengan penafsiran psikologis – yang merupakan proyeksi ke dalam proses kreatif dan subyektivitas pengarang[7]. langkah 2: interpretasi psikologis dengan merekonstruksi secara imajinatif suasana batin pengarang ketika menulis teks ini, intuitive understanding : artinya Hermeneutika bertugas untuk merekonstruksi psikologi pengarang[8]. [bagaimana dengan al-Qur’an? Ya, karena ia memperlakukan teks suci sebagaimana teks umumnya].
Hermeneutika Historis
Wilhem Dilthey
L          : Wisbaden, 19 November 1833.
W        : Seis Bei Bozen, 1 Oktober 1911.
Wilhelm Dilthey (1833-1911) dengan “hermeneutika sejarah” (memunculkan makna-makna dari peristiwa yang melahirkan teks[9]). Bisa dikatakan, Dilthey adalah penghubung antara para hermeneut abad ke-19 (dengan dedengkot utamanya, Schleiermacher) dan membawa tradisi "baru" hermeneutika abad ke-20[10]. koreksi utamanya terhadap Schleiermacher adalah penolakan Dilthey terhadap asumsi Schleiermacher bahwa setiap kerja pengarang bersumber dari prinsip-prinsip yang implisit dalam pikiran pengarang, Dilthey menganggap asumsi ini anti-Historis sebab ia tidak membertimbangkan pengaruh eksternal dalam perkembangan pikiran pengarang[11]. Dilthey juga berpandangan bahwa yang direproduksi bukanlah keadaan psikis tokoh-tokoh dalam teks dan dari teks melainkan bagaimana proses karya itu diciptakan. Yang dilakukan bukan empati terhadap pencipta teks, melainkan membuat rekonstruksi dan objektivikasi mental yaitu produk budaya [12]. Dithey berpendapat bahwa teks disini bukan teks dalam arti tertulis tapi teks dalam konteks realitas, (Alam dan Sosial). Dan dalam memahami keduanya dibutuhak pendekatan yang berbeda. Pendekatan Euklaren untuk Alam dan Verstehen untuk tatanan sosial.
Hermeneutika Fenomenologis Dasein
Martin Heidegger[13]
L          : Mebkirch, 26 September 1889.
W        : Freiburg, 26 Mei 1976.
Hermeneutika fenomenologis Martin Heidegger (1889-1976). Bagi Heidegger, hermeneutika berarti penafsiran terhadap esensi (being), yang dalam kenyataannya selalu tampil dalam eksistensi. Sehingga suatu kebenaran tidak lagi ditandai oleh kesesuaian antara konsep dan realita objektif, tetapi oleh tersingkapnya esensi tersebut. Dan satu-satunya wahana bagi penampakan being tersebut adalah eksistensi manusia. Maka hermeneutikan tidak lain dari pada penafsiran diri manusia itu sendiri (dasein[14]) melalui bahasa. Memahami dan menafsirkan adalah bentuk paling mendasar dari keberadaan manusia[15]. Lebih jelasnya, "jika Dilthey menekankan konteks kesejarahan, Heidegger menekankan pemahaman tentang kehidupan", situasi pengarang, dan audiensnya.
Hermeneutika Dialogis
Hans-Georg Gadamer[16]
L          : Marburg, 11 Februari 1900
W        : Heidelberg, 13 Maret 2002
Hermeneutika fenomenologis Hans-George Gadamer (1900-1998). Hermeneutika, menurutnya, adalah interpretasi teks sesuai dengan konteks ruang dan waktu interpreter berada. Inilah yang disebutnya sebagai effective historical consciousness (kesadaran-sejarah yang efektif[17]) yang memuat kesadaran tiga kerangka waktu: masa lalu ketika teks dipublikasikan atau ketika ayat-ayat al-Qur’an diturunkan, masa sekarang ketika kita sekarang berhadap dan memahami teks itu, dan masa akan datang yang harus menangkap nuansa baru yang produktif dari makna teks.
Hermeneutika Kritis
Jurgen Habermas
L          : Dusseldorf, 18 Juni 1929.
Hermeneutika kritis. Jenis hermeneutika ini lahir dari aliran kritis dalam filsafat (aliran Frankfurt) yang, antara lain, ditandai dengan Jürgen Habermas (1929) dengan “kritik ideologinya”. Berbeda dengan Gadamer, Habermas melihat bahwa interpretasi seharusnya steril dari kepentingan ideologis, termasuk pra-paham interpreter, yang sering dipengaruhi oleh kepentingan sosial (social interest) dan ditopang oleh kekuatan komunikasi[18]. Hermenutika Habermas kemudian menjadi “hermeneutika kecurigaan” (hermeneutics of suspicion),dalam artian hermeneutika Habermas tidak banyak berbicara tentang bagaimana teks harus diinterpretaskan, kecuali lebih cenderung kepada kritik terhadap ideologi (kepentingan) di balik penafsiran-penafsiran yang sudah ada[19].
Hermeneutika Otonom
Emilio Betti
L          : 1890
W        : 1968
Emilio Betti (1890-1968) dengan “hermeneutika legal (hukum)”. Ia juga termasuk aliran objektif. Menurutnya, makna asli sesungguhnya terletak pada akal pengarang.  Maksudnya, interpretasi teks dengan merujuk kepada si pengarang, pengarang itu berkuasa atas teks yang dibuatnya. Merujuk kepada pengarang berarti menemukan makna teks yang sesungguhnya. Akan tetapi hermeneutika Betti menjadi utopis, ketika si pengarang sudah mati, maka kematian pengarang berarti kematian teks dan tidak dapat ditemukannya makna di dalam teks.
Hermeneutika fenomenologis strukturalis
Paul Ricoeur
Hermeneutika Ricoeur berupaya mengintegrasikan antara metode “pemahaman” (verstehen) dan “penjelasan” (erkleren)[20] yang dipertentangkan oleh Dilthey. Jadi, bukan hanya melalui teks yang berbicara, makna teks juga bisa dipahami oleh pemahaman struktural di luar teks. Ia kemudian membedakan antara interpretasi teks tertulis (discourse, diskursus) dan percakapan (dialogue). Teks perbeda dari percakapan karena ia terlepas dari kondisi asal yang menghsilkannya, niat penulisnya sudah kabur, audiennya lebih umum dan referensinya tidak dapat lagi dideteksi. Konsep yang utama dalam pandangan Ricour adalah bahwa begitu makna obyektif di ekspresikan dari niat subyektif sang pengarang, maka berbagai interpretasi yang dapat diterima menjadi mungkin. Makna tidak diambil hanya menurut pandangan  hidup pengarangnya, tapi juga menurut pengertian pandangan hidup pembacanya[21].Ide Ricoeur ini dikritik, karena teks yang tentu berbeda dari percakapan yang terlepas dari kondisi awal, maka mengidentifikasi kehidupan pengarang tidak mungkin, audiensinya juga tidak dapat dideteksi. Begitu juga bagaimana memahami pandangan hidup (world -view) pengarang jika teks yang ingin diinterpretasikan adalah kitab suci. Padahal, memahami aspek pandangan hidup pengarang dan pembaca menjadi penting dalam hermeneutika Ricoeur. Alhasil, berbeda dengan tafsîr yang tumbuh sebagai disiplin keilmuan Islam yang sejak awal diabdikan untuk memahami teks al-Qur’an sebagai kitab suci, hermeneutika mengalami perkembangan yang luas terapannya, sehingga ketika diterapkan ke dalam pemahaman teks kitab suci, apalagi al-Qur’an yang berbeda dengan kitab-kitab suci lain, seperti dalam hal i’jâz lughawînya yang tidak dimiliki oleh kitab suci lain, berbagai kendala banyak ditemukan.
Bagaimana Jika Diterapkan Dalam al-Qur'an....???
            Setelah kita memahami defini hermeneutika dari beberapa interpreter diatas, sekarang kita mencoba, bagaimana jika hermeneutika di terapkan dalam mengkaji al-Qur'an. Mulai dari Schleirmacher hingga Paul Ricoeur.
1.      Merekonstruksi psikologi tuhan untuk menciptakan al-Quran baru bahkan lebih baik dari al-quran sekarang...(Schleirmacher)
o   Siapa Yang Tahu Psikologi Tuhan....?
2.      Merujuk kepada historisitas tuhan. …(Dilthey)
o   Apakah tuhan punya sejarah...?
3.      Interpretasi al-quran secara subyektif adalah indah…. (Gadamer)
o   Apakah merancukan makna itu indah...?
4.      Kembali kepada si pengarang al-Quran…. (Betti)
o   Kapan manusia bisa bertemu tuhan secara langsung...?
5.      Interpretasi dengan menguak kepentingan di balik al-Quran. ….(Jurgen Habermas)
o   Ada kepentingan apa di balik al-Quran...?
6.      Interpretasi subyektif tanpa dialektika dan secara bebas... (Paul Ricoeur)
o   Orisinalitasnya dimana?
Hermeneutika Dalam Pemikiran Islam
Di antara para hermeneut muslim adalah: Hasan Hanafî, Fazlur Rahman, Farid Esack, Ashgar Ali Engineer, Amina Wadud Muhsin, Nashr Hâmid Abû Zayd, Muhammad Syahrûr, Mohammed Arkoun, dll. Secara umum, dapat dikatakan bahwa mereka mencoba mengsinkronisasikan antara prinsip hermeneutika dan tafsir. Upaya-upaya tersebut tidak seluruhnya berjalan akur, sehingga menimbulkan ketegangan-ketegangan (ini yang menjadi alasan ormas-ormas Islam masih meragukan, bahkan sudah secara jelas menolak hermeneutika, seperti sikap NU dalam Muktamarnya karena hanya dijadikan “kendaraan” (sarana justifikasi) Jaringan Islam Liberal).[22]
Hermeneutik dalam pemikiran Islam pertama-tama diper­kenalkan oleh Hasan Hanafi dalam karyanya yang berjudul Less Methodes d'Exegese, Essai sur La Science des Fordements de la Compre­hension, `Ilm Usul al-Figh (1965), sekalipun tradisi hermeneutik telah dikenal luas dalam berbagai bidang ilmu-ilmu Islam tradi­sional, terutama tradisi Usul al-Figh dan Tafsir Alqur'an. Oleh Hasan Hanafi, penggunaan hermeneutik pada awalnya hanya merupakan eksperimentasi metodologis untuk melepaskan diri dari positivisme dalam teoretisasi hukum Islam dan Usul al-Figh[23]. Sampai di situ, respon terhadap tawaran atas hermeneutiknya hampir-hampir tidak ada.
Satu hal yang menonjol dari hermeneutik Hanafi dan pemi­kirannya secara umum adalah muatan ideologisnya yang sarat dengan maksud-maksud praksis. Tipikal pemikiran revolusioner semacam ini, justru sangat berbeda dengan mainstream umat lslam yang masih terkungkung oleh lembaga-lembaga tradisionalisme dan ortodoksi.
Hasan Hanafi dalam karyanya yang berjudul Islam in the Modern World, Religion, Ideologi, and Development Vol. I dan II memberikan uraian tentang hermeneutik. Pada Vol. I dengan sub judul Method of the Mistic Interpretation PP. 407-429, dan Vol. 11 dengan sub judul Hermeneutics Libration and Revolotion, PP. 103­198[24]. Dalam pandangan Hasan Hanafi, hermeneutik tidak se­kadar ilmu interpretasi atau teori pemahaman, tetapi juga ilmu yang menjelaskan penerimaan wahyu sejak dari tingkat perkataan sampai ke tingkat kenyataan.
Nasr Hamid Abu Zayd mempersoalkan hilangnya prosedur ilmiah dalam pemikiran hermeneutik Hasan Hanafi, sebab dalam menafsirkan tradisi pemikiran Islam, ia dianggap memberi porsi besar bagi penafsiran dan mengabaikan teks-teks keagamaan sebagai suatu entitas yang memiliki otonomi, sistem hubungan-hubungan intern, dan konteks wacananya sendiri.
Lain halnya dengan Fazlur Rahman ketika mengomentari Qs. al-Baqarah/2: 62  dan al-Mâ`idah/5: 69 mengatakan bahwa keselamatan tidak menjadi "monopoli" Islam, melainkan juga Kristen, Yahudi, dan Shâbi`în (lihat Fazlur Rahman, The Major Themes of the Qur'an [Minneapolis: Bibliotheca Islamica, 1989], h. 166. "Muslim" (atau orang yang beriman) dalam pandangan Fazlur Rahman ditarik ke ideal moral yang disimpulkan dari Qs. al-Mâ`idah/5: 48, al-Baqarah/2: 148, dan  177 yang menjelaskan bahwa perbedaan agama-agama dan kitab suci yang diturunkan didasarkan atas esensi tujuan agama, yaitu fastabiqû al-khayrât (berlomba-lombalah dalam kebajikan). Keyakinan teologis yang berbeda-beda adalah forma (bentuk), sedangkan kebaikan (etika) adalah esensi atau tujuan ideal-moral al-Qur'an, sehingga keragaman keyakinan teologis tersebut di sini "direduksi" menjadi ideal-moral yang mengantarkan Rahman ke kesimpulan bahwa semua kelompok yang disebut dalam Qs. al-Baqarah/2: 62  dan al-Mâ`idah/5: 69 adalah selamat
Formalisme adalah target yang menjadi sasaran kritik Rahman, dengan "mereduksi" perbedaan teologis agama-agama ke ideal moral yang menjadi dasar "keselamatan universal" dengan mereduksi kandungan teologis pada Qs. al-Baqarah/2: 62 dan al-Mâ`idah/5: 69 ke pesan etis yang diangapnya sebagai esensi pada ungkapan fastabiqû al-khayrât dalam Qs. al-Baqarah/2: 148 dan 177, disamping itu kekeliruan yang tidak kurang berbahayanya daripada  formalisme yang menjadi sasaran kritik Fazlur Rahman adalah adalah esensialisme (reduksi forma teologis ke esensi etis).



Kesimpulan
            Dari uraian di atas jelaslah bahwa makna hermeneutika sebagai filsafat telah bergeser mengikuti pandangan hidup tokohnya. Schleiermacher dengan latar belakangnya sebagai pendeta Protestan liberal dan idealis absolute mengubah makna hermeneutika dari sekedar kajian teks bible menjadi metode memahami dalam pengertian filsafat. Dilthey sebagai pakar metodologi ilmu-ilmu sosial membelokkan makna hermeneutika menjadi metode kajian historis. Heidegger dengan latar belakang filsafat fenomenologinya membawanya kepada kajian ontologis. Gadamer sebagai filosof yang besar di lingkungan filsafat fenomenologi jerman juga menekankan kajian ontologis heidegger tapi dalam konteks tradisi pemikiran filsafat barat. Namun Habermas dengan lingkungan filsafat social Marxis menggesar makna hermeneutika kepada pemahaman yang diwarnai oleh kepentingan, khususnya kepentingan kekuasaan. Itulah sebabnya ia mengkritik Gadamer karena tidak menekankan kesadaran sosial yang kritis. Sedangkan Ricour dengan miliu filsafat fenomenologi dan eksistensialisnya mensyaratkan adanya aspek pandangan hidup interpreter sebagai faktor utama dalam pemahamn hermeneutisnya.
Akhirnya apa yang ditawarkan oleh hermeneutik dalam menafsirkan teks, linguistik, sejarah, agama dan disiplin ilmu yang lain adalah suatu kreasi, karya dan bikinan manusia. Karena itu, ia mempunyai kelemahan yang tidak bisa ditutupi, lebih-lebih jika ia berdiri sendiri tanpa dialog dengan lainnya.

SENARAI RUJUKAN

A.    Buku :
Bubner, Rudiger. Essays in Hermeneutics and Critical Theory Translated by Eric Matthews, New york, Columbia University Press. 1988.
d'Entreves, Maurizio Passerin and Seyla Benhabib. Habermas And The Unfinished Project Of Modernity : Critical Essays on The Philosophical Discourse of Modernity Amerika, The MIT Press Cambridge, Massachusetts, 1997.
Essack, Farid. Qur'an Liberation and Pluralism : An Islamic Perspective of Interrelligious Solidarity against Oppression. England, Oxford, 1997.
Gadamer, Hans-Georg. Truth and Method The Seabury Press, New York, 1975. diterjemahkan oleh Ahmad Sahidah Kebenaran dan Metode : Pengantar Filsafat Hermeneutika Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004
Gadamer, Hans-Georg. Philosophical Hermeneutics Translate and Edited by David E Linge. London, University of California Press. 1977.
Grondin, Jean. Introduction to Philosophical Hermeneutics, London, Yale University press, 1991.
Habermas, Jurgen. On The Logic of The Social Science Translated by Shierry Weber Nicholsen and Jerry A Stark, Amerika, The MIT Press Cambridge, Massachusetts, 1988.
Howard, Roy J Hermeneutika : Wacana Analitis, Psikososial Dan Ontologis diterjemahkan dari Three Faces of Hermeneutics : An Introduction To Current Theoris Of Understanding University Of California Press. Ltd.1982 Oleh : Kusmana dan M.S Nasrullah. IKAPI. Bandung 2000.
Jeanrond, Werner G, Theological Hermeneutics : Development and Significance. London, Macmillan Academic 1991.
Muslih, Mohammad. Filsafat Ilmu : Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan Yogyakarta, Belukar, 2004.
Palmer, Richard E. Hermeneutics Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilty, Hiedegger and Gadamer, Evanston: North-western University Press, 1969.
Syamsuddin, Sahiron Dkk. Hermenetika Al-Qur'an Mazhab Jogja. , Islamika, 2003
Schleiermacher, Friedrich. On Religion : Speech to its Cultured Despisers, Translated by John Oman with an introduction by Rudolf Otto, New York, Harper and Row Publishers 1958.
Silverman, Hugh J. Continental Philosophy IV : Gadamer and Hermeneutic : Science Culture Literature : Plato, Heidegger, Barthes, Ricour, Habermas, Derrida. New York and London, Routledge. 1991.


B.     Majalah dan Jurnal
Islamia, Hermeneutika versus Tafsir Al-Qur'an, Edisi Perdana, Thn I,No 1 Muharram 1425/Maret 2004.
Gerbang : Jurnal Studi Agama dan Demokrasi Menafsirkan Hermeneutika No: 14 Vol: V 2003.

Website
Paul Ricoer and the Hermeneutics of Suspicion : A Brief Overview and Critique By : G. D. Robinson Premise/ Volume II, Number 8/september 27, 1995/page 12. http://capo.org/premise/95/sep/p950812.html
Hermeneutic: Key to Understanding Scripture By : Rev. Charles Cooper. http://www.solagroup.org/articles/understandingthebible/utb_0002.html
On The Hermeneutic Implication of Texts Enconding. By : Lou Burnad. November 1998. http://users.ox.ac.uk/lou/wip/herman.htmH1



[1] Alan Lihardson (ed.) Dictionary of Christian Theology, London: SCM Press, 1969, hlm. 154-155. dalam Sahiron Syamsuddin, dkk. Hermeneutika al-Qur'an Jogjakarta, Islamika, 2003 hlm. 53
[2] Di kutip oleh Muzairi Hermeneutika Dalam Pemikiran Islam dari Rihcard E Palmer, Hermeneutics Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilty, Hiedegger and Gadamer.dalam dalam Sahiron Syamsuddin, dkk. Hermeneutika al-Qur'an Jogjakarta, Islamika, 2003 hlm. 53   
[3] Lihat E A. Andrews, A Latin Dictionary : Founded on Andrews edition of Frued's Latin Dictionary, Oxford : Clarendon Press, 1980, hal.849. dalam Mohammad Muslih. Filsafat Ilmu : Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan Yogyakarta, Belukar, 2004.
[4] Rihcard E Palmer, Hermeneutics Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilty, Hiedegger and Gadamer, Evanston: North-western University Press, 1969, hlm.4.
[5] Sebagaimana yang dipahami Richard E Palmer, dia memberikan peta hermeneutika kedalam enam bagian : (1). Hermeneutika sebagai teori tafsir (2) sebagai metode filologi (3) sebagai ilmu pemahaman Linguistik (4) sebagai fenomena das sein (5) sebagai sistem penafsiran.
[6] Karena kecenderungan pemikirannya yang selalu melihat kemasa lampau. Lihat Mohammad Muslih Filsafat Ilmu yogyakarta, Belukar, hal. 169
[7] Maulidi Sketsa Hermeneutika Gerbang (jurnal studi agama dan demokrasi) Menafsirkan Hermeneutika No: 14 Vol: V 2003. hal. 11.  
[8] Hamid Fahmy Zarkasyi Menguak Nilai Di Balik Hermeneutika Islamia, Hermeneutika versus Tafsir Al-Qur'an, Edisi Perdana, Thn I,No 1 Muharram 1425/Maret 2004. hal. 25.
[9] Ini mirip dengan keinginan Fazlur Rahman bahwa ayat al-Qur’an dipahami melalui kondisi-kondisi turunnya ayat (syu`ûn an-nuzûl) dan tidak jauh berbeda dengan keharusan memahami ayat-ayat al-Qur’an melalui asbâb an-nuzûl, bahkan lebih akurat daripada memahami kondisi umum sejarah sekitar lahirnya teks).
[10] Maulidi. Ibid. hlm. 13.
[11] Hamid Fahmy. Lo.cit. hlm. 25
[12] Mohammad Muslih. Op. Cit. hlm. 170
[13] Diantara karya monumentalnya adalah : Being and Time. Was Tranlated by John Macquarrie and Edward Robinson. New York. Harper and Row, 1962.
[14] Dasein di definisikan Heidegger sebagai "sebuah entitas yang tidak benar-benar terdapat di antara berbagai entitas yang lain. Ia lebih diperbedakan secara ontikal oleh fakta bahwa, dalam Meng"ada"kannya tersebut, meng"ada" itu adalah sebuah persoalan baginya… pemahaman tentang mengada itu sendiri adalah sebuah karakteristik yang menentukan bagi meng"ada"nya Dasein. Dasein secara ontikal sangatlah jelas bahwa ia bersifat ontologis. Lihat : Martin Heidegger  Being and Time  hlm. 12.
[15] Mohammad Muslih. Op. Cit. hlm. 173.
[16] Untuk Memahami Lebih Jelas Pemikirannya Lihat: Gadamer, Hans-Georg. Truth and Method The Seabury Press, New York, 1975. diterjemahkan oleh Ahmad Sahidah Kebenaran dan Metode : Pengantar Filsafat Hermeneutika Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004
[17]  Hans-Georg  Gadamer,. Truth and Method  hlm. 410
[18] Untuk lebih Jelasnya Lihat. Malki Ahmad Nasir. Hermeneutika Kritis : Studi Kritis atas Pemikiran Habermas. Dalam Islamia. Loc. Cit. hlm. 30.
[19] Maulidin. Loc. Cit. hlm 28.
[20]Yang dimaksud dengan metode “pemahaman” (Verstehen) adalah memahami fakta atau teks sesuai dengan apa adanya tanpa dicampuri oleh persepsi penafsir. Seorang penafsir hanya berbicara sesuai dengan bagaimana teks berbicara. Sedangan, “penjelasan” (erkleren) diwarnai oleh persepsi penafsir, bukan hanya bagaimana fakta atau teks itu berbicara apa adanya.  Verstehen adalah metode fenomenologis, sedangkan erkleren adalah metode strukturalis. Oleh karena itu, hermeneutika Ricoeur disebut hermeneutika fenomenologis strukturalis.  
[21] Paul Ricour The Model of  Text: Meaningful Action Considered as Text Social Research 38, 1971, 529-62. dalam Hamid Fahmy. Lock.Cit. hlm.27.
[22]Lihat Ahmad Baso, Islam Pasca-kolonial: Perselingkuhan Agama, Kolonialisme, dan Liberalisme (Bandung: Mizan, 2005).
[23] Hasan Hanafi, Dirasah Islamiya, Kairo : Maktabah Anglo Misriyah, 1981, hlm.63 dalam Muzair Hermeneutika dalam pemikiran Islam Mazhab Jogja. Islamika. 2003. hlm.53
[24] There is no hermeneutics per se, absolute and universal. Hermeneutics is hermeneutics for use. It is a part of the socio political struggle. Since both tradition and revolution are legal. Hermeneutics becames the legitimazing device for each one. It justifies the legality of both tradition and revolution. Lihat. Hasan hanafi "islam in the modern world" Vol. II Tradition, Revolution and culture (Cairo: The Anglo Egyptian Bookshop, 1995) hlm. 184 


</span>

 
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA...... TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA......TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA......TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA......TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA......TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA......TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA......