Monday, January 21, 2013

Internalisasi Konsep Ta'dib Al-Attas dalam Membangun Karakter

“The purpose for seeking knowledge in Islam is to inculcate goodness or justice in man as man and individual self. The aim of education in Islam is therefore to produce a goodman… the fundamental element inherent in the Islamic concept of education is the inculcation of adab…” (S.M.N. Al-Attas, 1979:88-89) “Orang baik” atau good man, tentunya adalah manusia yang berkarakter dan beradab. Al-Attas dalam konsep Ta’dibnya menjelaskan bahwa ada 3 element mendasar yang terdapat dalam Pendidikan Islam yaitu Process, Content and Recipient. Proses adalah Metode, content adalah adab, dan recipent adalah peserta didik. Pendidikan sejatinya merupakan penanaman “adab” kepada peserta didik dengan metode “suri tauladan” yang baik. Jika sang “suri tauladan” belum memiliki etika dan moral yang baik, maka jangan harap program pendidikan karakter yang dicanangkan pemerintah akan berhasil, tapi justru akan menjadi sebatas pengetahuan diatas kertas yang hanya dihafal tanpa ada implementasi. Karena itulah, pendidikan karakter memerlukan “suri tauladan” dari sang “pembentuk karakter”, Jika di pondok pesantren dikenal istilah sebaik-baik belajar adalah dengan mengajar maka tidaklah berlebihan jika dikatakan, sebaik-baik pendidikan adalah dengan suri tauladan. Kata Kunci : Karakter, Adab, Ta’dib dan Suri Tauladan A. Pendahuluan Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Pendidikan Nasional sudah mencanangkan penerapan pendidikan karakter untuk semua tingkat pendidikan, dari SD hingga Perguruan Tinggi. Menurut Mendiknas, Muhammad Nuh, pembentukan karakter perlu dilakukan sejak usia dini. Jika karakter sudah terbentuk sejak usia dini, kata Mendiknas, maka tidak akan mudah untuk mengubah karakter seseorang. Ia juga berharap, pendidikan karakter dapat membangun kepribadian bangsa. Mendiknas mengungkapkan hal ini saat berbicara pada pertemuan Pimpinan Pascasarjana LPTK Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) se-Indonesia di Auditorium Universitas Negeri Medan (Unimed), Sabtu (15/4/2010). Munculnya gagasan program pendidikan karakter di Indonesia, bisa dimaklumi. Sebab, selama ini dirasakan, proses pendidikan dirasakan belum berhasil membangun manusia Indonesia yang berkarakter. Bahkan, banyak yang menyebut, pendidikan telah gagal, karena banyak lulusan sekolah atau sarjana yang piawai dalam menjawab soal ujian, berotak cerdas, tetapi mental dan moralnya lemah. Banyak pakar bidang moral dan agama yang sehari-hari mengajar tentang kebaikan, tetapi perilakunya tidak sejalan dengan ilmu yang diajarkannya. Sejak kecil, anak-anak diajarkan menghafal tentang bagusnya sikap jujur, berani, kerja keras, kebersihan, dan jahatnya kecurangan. Tapi, nilai-nilai kebaikan itu diajarkan dan diujikan sebatas pengetahuan di atas kertas dan dihafal sebagai bahan yang wajib dipelajari, karena diduga akan keluar dalam kertas soal ujian. (Adian Husaini, 2010 : 1) B. Metodologi 1. Jenis dan Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian pustaka (library research) dan menggunakan pendekatan deskriptif-analisis. Karenanya penelitian ini menekankan pada ketajaman pandangan serta telaah pemikiran. Dalam penelitian ini penulis tidak hanya berusaha menemukan keterkaitan dengan berbagai fakta (fact finding research), namun juga berusaha untuk menemukan gagasan-gagasan besar (great ideas) di balik fakta-fakta yang diperoleh dari tokoh tersebut (Muzayyin Arifin, 2003 : 5). 2. Metode Analisis Data Untuk menganalisis dan mengolah data, digunakan metode analisis isi (content analysis), yakni analisis terhadap makna dan kandungan yang ada pada teks. Dengan demikian setelah data di deskripsikan apa adanya, maka yang berperan selanjutnya adalah analisis tersebut, sehingga corak sajian datanya adalah deskriptif-analitis. (Anton Beker, 1990 : 75) Kedua, koherensi internal, yaitu usaha untuk memahami secara benar guna memperoleh hakikat dengan menunjukkan semua unsur struktural yang dilihat dalam satu struktur yang konsisten, sehingga merupakan internal struktur atau internal relational. (Sudarto, 1997 : 42). Ketiga, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif-analitik. Metode deskripsi merupakan langkah yang dilakukan dalam rangka representasi obyek tentang realitas yang terdapat di dalam masalah yang diteliti. Yakni, metode yang digunakan secara sistematis untuk mendeskripsikan segala hal yang berkaitan dengan pokok permasalahan. (Soejono & Abdurrahman, 1999 : 13) C. Temuan Ada 2 faktor yang sangat berpengaruh terhadap pembentukan karakter anak, diantaranya : 1. “Lingkungan”. Diantara lingkungan yang paling berpengaruh adalah rumah, sekolah dan masyarakat. 2. “Figur”. Orang tua sebagai figur di rumah, guru sebagai figur di sekolah, dan tokoh masyarakat sebagai figur di masyarakat. Adapun usaha yang perlu dilakukan oleh pendidikan untuk membentuk karakter anak didik adalah : 1. Sebelum memberikan nasehat, terlebih dahulu seorang figur, (orang tua, guru dan tokoh masyarakat) memberikan contoh yang baik (suri tauladan) kepada anak didik, mengenai hal yang ingin ditanamkan. 2. Seorang figur harus mampu menciptakan suasana yang kondusif sesuai dengan karakter yang ingin dibentuk D. Pembahasan Dalam bukunya Islam, Secularism and the Philosophy of the Future, Syed Muhammad Naquib al-Attas (selanjutnya disingkat al-Attas) menjelaskan bahwa dalam pendidikan Islam melekat tiga element mendasar yaitu: Process, Content and Recipient (Proses-Isi-Penerima). Yang dimaksud dengan proses adalah proses penanaman (process of instilling) yang kemudian dirujuk pada metode dan sistem pembelajaran. Jadi jika ada pertanyaan “apakah itu pendidikan?” maka jawabannya adalah “pendidikan adalah sebuah proses penanaman sesuatu kepada manusia” (Education is a process of instilling something into human beings). (S.M.N al-Attas, 1985 : 173) Dari definisi pendidikan tersebut, selanjutnya menimbulkan sebuah pertanyaan: “apa yang akan ditanam?” (What is Instilled?). Dalam pendidikan Islam, yang di tanam disini adalah adab, dengan demikian yang dimaksud dengan content atau isi diatas adalah adab. Setelah pertanyaan “apa yang akan ditanam” sudah terjawab, ada satu pertanyaan lagi yang perlu dijawab yaitu: “kepada siapa adab itu ditanamkan?”, dalam pengertian ini adalah penerima atau recipient dari pendidikan tersebut, apakah balita, anak-anak, remaja, orang dewasa atau orang lanjut usia. Dari sinilah kemudian muncul beberapa disiplin ilmu seperti: psikologi anak, psikologi remaja, pedagogy, andragogy dan lain-lain. Karena metode penyampaian isi atau content disesuaikan dengan penerima isi atau content tersebut. Maka mendidik anak-anak tidak sama dengan mendidik remaja, mendidik remaja tidak sama dengan mendidik orang dewasa dan seterusnya. (S.M.N al-Attas, 1985 : 174) Akan tetapi hal yang terpenting dari ketiga element mendasar yang terdapat dalam pendidikan Islam tersebut adalah bagaimana “metode” penanaman content atau isi tersebut? Artinya bagaimana metode pembentukan karakter anak didik? Berikut ini adalah sebuah kisah yang dapat dijadikan contoh metode penanaman adab dan pembentukan karakter peserta didik : “Pada suatu malam tatkala Khalifah Umar bin Abdul Aziz (seorang Khalifah Bani Umaiyah) sedang tekun bekerja di bilik istananya, tiba-tiba seorang putranya masuk untuk membincangkan sesuatu hal yang berhubung dengan urusan keluarga. Tiba-tiba baginda memadamkan lampu yang terletak di mejanya yang digunakan untuk menerangi bilik kerjanya itu. Putranya merasa hairan melihat sikap ayahnya itu seraya bertanya: "Kenapa ayah padamkan lampu itu?" Maka jawab ayahnya: "Benar kata kau wahai anakku, tetapi kau harus ingat lampu yang sedang ayah gunakan untuk bekerja ini kepunyaan kerajaan. Minyak yang digunakan itu dibeli dengan menggunakan wang kerajaan, sedang perkara yang hendak anakkanda perbincangkan dengan ayahanda adalah perkara keluarga." Lantas baginda meminta pembantunya membawa lampu dari bilik dalam. Kemudian baginda pun berkata kepada putranya: "Sekarang lampu yang baru kita nyalakan ini adalah kepunyaan keluarga kita, minyak pun kita beli dengan wang kita sendiri. Sila kemukakan apa masalah yang anakanda perbincangkan dengan ayahanda." Demikianlah besarnya sifat amanah dari seorang pemimpin berkalibar selaku seorang raja yang berjiwa besar”. Dalam cerita tersebut, Khalifah Umar bin Abdul Aziz ingin membentuk karakter anaknya dengan karakter yang jujur dan amanah, yaitu agar tidak menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi. Yang dapat diambil pelajaran dari kisah tersebut adalah metode penyampaian yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz, yaitu tidak hanya melalui kata-kata ataupun perintah, akan tetapi dimulai dari “suri tauladan” atau contoh dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz sendiri, yang pada akhirnya diharapkan dapat ditiru oleh anaknya. Dengan demikian, pembentukan karakter sangatlah dipengaruhi oleh figur dan tokoh sang pembentuk karakter, terbentuknya karakter di keluarga dipengaruhi oleh orang tua sebagai figur, terbentuknya karakter di sekolah dipengaruhi oleh guru sebagai figur dan terbentuknya karakter di masyarakat oleh tokoh masyarakat sebagai figur. Yang menjadi permasalahan sekarang adalah Indonesia saat ini sedang krisis “figur”. Figur dan lingkungan menjadi faktor utama terbentuknya karakter peserta didik, al-Attas menjelaskan bahwa lingkunganlah yang membentuk prilaku dan karakter peserta didik, al-Attas mengilustrasikan istilah adab layaknya sebuah undangan untuk menghadiri jamuan spiritual inviting to a banquet. Sebagaimana yang dijelaskan al-Attas : Kitab suci al-Qur’an adalah undangan Tuhan kepada manusia untuk menghadiri jamuan kerohanian, dan cara memperoleh ilmu pengetahuan yang sebenarnya tentang al-Qur’an itu adalah dengan menikmati makanan-makanan yang lezat yang tersedia dalam jamuan kerohanian tersebut. Artinya, karena kenikmatan makanan yang lezat dalam jamuan istimewa itu ditambah dengan kehadiran kawan yang agung dan pemurah, dan karena makanan tersebut dinikmati menurut cara-cara, sikap, dan etiket yang suci, maka hendaknya ilmu pengetahuan yang dimuliakan dan sekaligus dinikmati itu didekati dengan perilaku yang sesuai dengan sifatnya yang mulia. (S.M.N al-Attas, 1993 : 149) Ilustrasi tersebut menggambarkan bahwa, seseorang ketika menghadiri jamuan makan di sebuah undangan, dengan dihadiri orang-orang yang terhormat, maka secara otomatis mulai dari gerak-gerik dan cara makan akan berbeda dengan ketika dirumah. Berhubung dalam jamuan tersebut banyak orang yang agung dan terhormat maka para undangan akan menikmati jamuan tersebut dengan cara-cara, sikap, dan etiket yang baik, berbeda halnya dengan ketika makan dirumah sendiri, seseorang akan makan dengan lahapnya, kaki diangkat diatas kursi, tanpa menghiraukan sikap dan etiket yang baik. Dengan demikian orang tua harus dapat menciptkan suasana religius di dalam rumah, misalnya membiasakan diri mengaji setelah maghrib, shalat berjama’ah ketika mendengar adzan, dan berbicara sopan kepada anak. Maka sang anak akan merasa malu jika setelah magrib tidak mengaji padahal orang tuanya mengaji. Anak akan merasa malu jika ketika adzan televisi masih menyala, padahal orang tuanya sudah siap mau ke masjid. Anak akan merasa malu berbicara kasar pada orang tua, karena orang tua selalu berbicara sopan dan lembut kepada anak. Demikian halnya di lingkungan kampus, jika seorang dosen ingin membentuk karakter mahasiswa agar suka menulis, maka paling tidak dosen tersebut harus sudah pernah menulis buku, menulis di jurnal dan koran, jika tidak, maka jangan pernah berharap mahasiswa mau menulis, karena sang “figur” yang seharusnya dijadikan panutan belum pernah menulis, seperti ungkapan dalam al-Qu’ran : Kaburo Maktan ‘Inddallahi Antakuulu Mala Ta’maluun, Artinya: Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (Q.S. Ash Shaff : 3). Maka jika seorang menteri ingin mencanangkan program pendidikan karakter, perlu dipertanyakan, apakah bapak menteri sudah memiliki etika, moral dan karakter yang baik? Wallahu a’lam bi ashowab. E. Kesimpulan Dari semua analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa: Al-Attas menganggap “adab” adalah hal yang melekat dalam konsep pendidikan Islam, menciptakan “good man” merupakan tujuan utama pendidikan Islam, “adab” oleh al-Attas di ilustrasikan seperti inviting to a banquet, yang menggambarkan bahwa sikap dan etika seseorang dipengaruhi oleh lingkungan dimana seseorang tersebut hidup. Maka jika ingin merubah sikap dan etika anak didik, harus dimulai dengan merubah lingkungan sekitar menjadi baik, dan perubahan tersebut di awali oleh figur-figur yang berperan di masing-masing lingkungan. Orang tua sebagai figur di rumah, guru sebagai figur di sekolah, dan tokoh masyarakat sebagai figur di masyarakat. DAFTAR PUSTAKA al-Attas, Syed Muhammad Naquib, (ed). Aims And Objectives of Islamic Education (Jeddah: King Abdul Aziz University. 1979. _________, Islam, Secularism and the Philosophy of the Future. London-New York: Mansell Publishing Limited. 1985. _________, Islam and Secularism, Kuala Lumpur, Art Printing Works Sdn. Bhd. 1993. _________, Prolegomena to The Methaphysics of Islam. Kuala Lumpur. International Institute of Islamic Thought and Islamic Civilization (ISTAC). 1995. _________, The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education. An address to the Second World Confrence on Muslim Educatiion, Islamabad Pakistan. 1980. Arifin, Muzayyin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2003. Beker, Anton, Metodologi Penelitian Filsafat, Jogjakarta: Kanisius, 1990. Conference Book, First World Conference on Muslim Education, Jeddah-Mecca King Abdul Aziz University, 1393. Husaini, Adian, Pendidikan Karakter: Penting tapi Tidak Cukup, Jakarta: INSIST, 2010. Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997. Soejono dan Abdurrahman, Bentuk Penelitian, suatu Pemikiran dan Penerapan Jakarta: Rineka Cipta, 1999.

Buku Terbaru: Studi Islam Perspektif Insider/Outsider


Pada abad yang lalu studi tentang agama-agama manusia menjadi dasar pengembangan akademik, seperti di Amerika, Eropa dan Inggris. Di Amerika Utara misalnya, sekolah-sekolah menyediakan jurusan studi agama, sehingga pada paroh kedua dari abad ke-19, studi scientific agama memperoleh kebebasan dari fakultas-fakultas pada universitas-universitas di Eropa dan Inggris, pada saat itulah masa dimana studi agama, sejarah, antropologi, ketimuran, dan injil menjadi disiplin ilmu yang mandiri Diantara agama-agama yang menarik dikaji oleh masyarakat internasional saat ini adalah agama Islam. Buku ini merupakan representasi dari ketertarikan dunia internasional terhadap Studi Islam, sehingga penulis menyajikan dalam buku ini dua perspektif (insider/outsider) dalam Studi Islam, dengan harapan dapat mewakili opini masyarakat dunia baik dari insider maupun outsider. Buku ini berusaha memberikan alternatif metodologis bagi penelitian agama, terutama terkait dengan pemecahan masalah-masalah keagamaan di Masyarakat Muslim. Adapun permasalahan dalam studi Islam oleh Kim Knott dapat dipetakan menjadi beberapa permasalahan ; Pertama, betapa sulitnya membuat garis demarkasi yang jelas antara wilayah agama dan yang tidak. Kedua, adanya persoalan yang sangat rumit ketika ada yang memahami agama, antara ia sebagai tradisi (tradition) dan sebagai keimanan (faith). Ketiga, terjadinya stagnasi metodologis dan pendekatan di kalangan akademisi maupun praktisi ketika mempelajari studi agama. Di satu pihak, mereka dituntut agar dapat memahami agama dalam orientasi akademik, dan di pihak lain, mereka harus menjaga nilai transendensi agama. Keempat, karena beberapa universitas (baik di Barat maupun di Timur) masih menyimpan sejumlah masalah seputar studi Islam dengan menggunakan pendekatan ilmiah. Buku ini menyugugkan pendekatan-pendekatan dan berbagai wacana yang dapat memperkaya khazanah keilmuan Islam, baik dari insider maupun outsider. Diantara tawaran-tawaran tersebut diberikan oleh : Charles Sanders S. Peirce, Richard. C Martin, Charles J. Adam, Kim Knott, Omid Safi, Abid Al-Jabiri, Ibrahim Abu Rabi’, Khaled Aboe El-Fadl, Abdullah Saeed, Fathi Osman, Fethullah Gulen, Jasser Auda, Mashood A. Baderin, Nasr Hamid Abu Zayd, Muhammad Arkoun. Mereka memahami agama-agama dalam orbit kultur yang sangat beragam. Sehingga, persoalan krusial dalam studi agama secara objektif adalah kuatnya keyakinan truth claim, yang tidak terpisahkan dari kajian dan objek penelitian. Perlunya netralitas dan keluar dari truth claim dalam penelitian agama sangat disarankan oleh Kristensen, van der Leeuw dan Ninian Smart, mereka menawarkan metode agnostisisme. Metode tersebut diidentifikasi oleh Smart - dan dilanjutkan oleh Barker, metode ini mendominasi studi agama pada era 1970-an dan 1980-an. Menurutnya, cara tersebut untuk mendekatkan adanya gap dikotomi antara insider-outsider, menjadi dua sisi yang integral dalam perspektif sehingga menjadi netral. Netralitas yang diinginkan, dalam arti tidak mudah terkooptasi untuk mendukung kepentingan tertentu yang bersifat empiris pragmatis. Senada dengan Smart, Cornelius Tiele memberikan polarisasi, meski masih rancu dan cenderung debatable dalam Elements of the Science of Religion (1897). Ia membedakan antara private religious subjectivity of individual (keberagamaan individu yang subjektif) dengan outward impartiality as a scholar of religion (peneliti kajian agama yang netral), sebagai instrumen mendasar untuk studi agama menuju pada hasil yang objektif. Meski dua tipologi itu memberi penegasan karakter, namun justifikasi dari keduanya yang masih memicu kontroversi, seakan ia telah menjustifikasi bahwa insider cenderung melihat persoalan keberagamaan secara subjektif, sedangkan peneliti outsider memandangnya secara objektif impartial. Konsepsi Barat tentang objektivitas dalam studi agama digambarkan oleh Wilfred C. Smith sebagai berikut; No statement about a religion is valid unless it can be acknowledged by that religion’s believers, Merujuk pada studi pribadinya, Smith juga menegaskan, Anything that I say about Islam as a living faith is valid, only as far as Muslims can say “amin” to it. Ungkapan yang simpatik dari outsider, meski tetap perlu untuk dikritisi. Sejatinya, kajian Islam dari para outsider memberi kontribusi gagasan-gagasan besar ilmiah yang memicu gerakan intelektual dalam peradaban Islam. Lahirnya daya kritis Islam terkadang lahir berkat kajian-kajian para outsider. Dengan cara berfikir kritis, intelektual Muslim mengetahui problem yang sedang dihadapi, sembari mengusulkan berbagai pemecahan yang harus segera dilakukan. Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan ribuan terimakasih kepada Prof. Dr. Syafiq A. Mughni, MA., yang meluangkan waktunya untuk memberi kata pengantar pada buku ini. Tidak lupa penulis ucapkan terimakasih khususnya kepada Prof. Dr. Amin Abdullah, MA., yang telah memberikan pencerahan akademik, memperkaya perspektif serta memberikan masukan-masukan berarti pada kami, karena sejatinya tulisan dalam buku ini adalah buah dari diskusi penulis dengan Prof. Amin dalam mata kuliah metodologi studi Islam di kelas. Namun perlu disadari bahwa, setiap tulisan dalam buku ini masih menyimpan banyak kelemahan, karena itu saran dan kritik yang konstruktif dari pembaca sangat dinantikan, untuk kemudian dapat disajikan bahan-bahan bagi penyempurnaan. Selamat Membaca!

 
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA...... TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA......TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA......TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA......TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA......TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA......TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA......