Oleh : M. Arfan Mua’ammar
Istilah “hermeneutika” (bahasa
Inggris: hermeneutics) berasal dari ”hermeneuein” (Yunani) yang
diambil dari kata hermeneia yang secara harfiah berarti penafsiran/
interpretasi. Sedangkan, hermeneutes bermakna penafsir. Kata ini semula
dihubungkan dengan Hermes, yaitu utusan yang bertugas menyampaikan pesan Dewa
Jupiter kepada manusia. Dengan diasosiasikan dengan Hermes[1],
hermeneutika memiliki unsur triadik (tiga): pesan atau teks, penafsir
(interpreter) yang diasosiakan dengan Hermes yang menyampaikan pesan kepada
manusia, dan penyampaian pesan tersebut kepada manusia (audiens). Dengan
begitu, hermeneutika kemudian menjadi “seni menginterpretasikan” (the art of
interpretation). [2] <span class="fullpost">
Dalam tradisi yunani kuno
hermeneuen dipakai dalam tiga makna yaitu mengatakan (to say), menjelaskan (to
explain), dan menerjemahkan (to translate). Dari tiga makna ini kemudian dalam
kata inggris di ekspresikan dengan kata : to interpret. Dengan demikian
kegiatan interpretasi menunjukkan pada tiga hal pokok : pengucapan lisan (an
oral recitation), penjelasan yang masuk akal (a reasonable explanation), dan
terjemahan dari bahasa lain (a translation from another language)[3].
Hermeneutika semula diterapkan
untuk menginterpretasi teks-teks atau ungkapan-ungkapan Yesus dalam Bible (the
study of the general principle of Biblical interpretation)[4].
Di kalangan Kristen awal, Origen dikenal sebagai salah seorang yang
memperkenalkan cara-cara memahami Bible, yaitu dengan menggunakan metode
allegoris (di samping metode-metode yang dikenal sebelumnya, yaitu interpretasi
literal, interpretasi moral, dan interpretasi mistis).
Hermeneutika secara umum (baik
yang diterapkan dalam kajian teks maupun yang diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial)
melihat “teks” sebagai sesuatu yang bisa dibaca, diamati, atau dipikirkan,
sehingga “teks” mengandung dua pengertian: teks tertulis (seperti buku,
dokume, kitab suci, dsb.) dan teks tak tertulis atau realitas, namun juga bisa
dibaca, seperti realitas sosial.
Teks dalam perspektif hermeneutika adalah produk atau hasil dari
pengarangnya (the author). Oleh karena itu, hermeutika sangat
mempersoalkan tentang pengarang (authorship) ketika berbicara tentang
teks. Sebagai konsekuensinya, "hermeneutika
tidak membedakan antara teks umum dengan teks suci (kitab suci, sacred text)",
terutama pada hermeneutika modern yang dipelopori oleh Schleiermacher
(1768-1834), seorang pendeta. Dalam kajian hermeneutika, teks kitab suci tetap
dianggap sebagai teks manusiawi, sebagaimana teks linguistik[5]
lainnya.
Dalam hermeneutika selalu
diusulkan pemahaman teks yang bertolak dari keterkaitan antara unsur triadik
(tiga pihak): teks, pembaca atau penafsir, dan audiens (masyarakat). Jika
diilustrasikan, hubungan triadik tersebut adalah begini:
|
Teks (nash)
|
|
Pembaca
|
|
Audiens
|
Hubungan antara
teks n pembaca n audiens itulah yang sering disebut
oleh para pendukung hermeneutika sebagai negosiating process (proses
negosiasi, tawar-menawar antara makna yang termakub dalam teks secara normatif
dengan situasi masyarakat secara riil), istilah M. Amin Abdullah, atau fusion
of horizon menurut istilah Gadamer. Sejauh mana kepentingan umat bisa
terpenuhi dengan tafsiran baru menurut skema metodologis ini adalah sejauh mana
pula si interpreter “membaca kondisi masyarakat” dan “membaca teks kitab suci”.
Cara
Kerja (Operasional) dalam Memahami Teks
Hermeneutika dalam perkembangan
bermacam-macam : sebuah pergesaran paradigma (Shifting Paradigm) dalam memahami
makna yang terkandung dalam teks.
Hermeneutika
Romantatik[6]
Friedrich
Daniel Ernst Schleiermacher
L : Breslau ,
21 November 1768
W : Berlin , 12 Februari 1834
Schleiermacher (1768-1834)
dengan “hermeneutika psiklogis” (langkah 1: interpretasi gramatikal dengan
media kaedah bahasa, dalam re-konstruksi gramatikal, pembaca menafsirkan
teks dengan aturan dan struktur gramatikal dan linguistik yang berlaku dalam
konteks ketika teks itu diproduksi. Maka penafsiran gramatikal – yang
mendekati teks dalam kerangka makna dari kata-kata tertentu, harus dilengkapi
dengan penafsiran psikologis – yang merupakan proyeksi ke dalam proses
kreatif dan subyektivitas pengarang[7].
langkah 2: interpretasi psikologis dengan merekonstruksi secara imajinatif
suasana batin pengarang ketika menulis teks ini, intuitive understanding :
artinya Hermeneutika bertugas untuk merekonstruksi psikologi pengarang[8].
[bagaimana dengan al-Qur’an? Ya, karena ia memperlakukan teks suci sebagaimana
teks umumnya].
Hermeneutika
Historis
Wilhem
Dilthey
L : Wisbaden, 19 November 1833 .
W : Seis Bei Bozen, 1 Oktober 1911.
Wilhelm Dilthey (1833-1911)
dengan “hermeneutika sejarah” (memunculkan makna-makna dari peristiwa yang
melahirkan teks[9]).
Bisa dikatakan, Dilthey adalah penghubung antara para hermeneut abad ke-19
(dengan dedengkot utamanya, Schleiermacher) dan membawa tradisi
"baru" hermeneutika abad ke-20[10].
koreksi utamanya terhadap Schleiermacher adalah penolakan Dilthey terhadap
asumsi Schleiermacher bahwa setiap kerja pengarang bersumber dari
prinsip-prinsip yang implisit dalam pikiran pengarang, Dilthey menganggap
asumsi ini anti-Historis sebab ia tidak membertimbangkan pengaruh eksternal
dalam perkembangan pikiran pengarang[11].
Dilthey juga berpandangan bahwa yang direproduksi bukanlah keadaan psikis
tokoh-tokoh dalam teks dan dari teks melainkan bagaimana proses karya itu
diciptakan. Yang dilakukan bukan empati terhadap pencipta teks, melainkan
membuat rekonstruksi dan objektivikasi mental yaitu produk budaya [12].
Dithey berpendapat bahwa teks disini bukan teks dalam arti tertulis tapi teks
dalam konteks realitas, (Alam dan Sosial). Dan dalam memahami keduanya
dibutuhak pendekatan yang berbeda. Pendekatan Euklaren untuk Alam dan Verstehen
untuk tatanan sosial.
Hermeneutika
Fenomenologis Dasein
L
: Mebkirch, 26 September 1889 .
W
: Freiburg ,
26 Mei 1976.
Hermeneutika fenomenologis
Martin Heidegger (1889-1976). Bagi Heidegger, hermeneutika berarti penafsiran
terhadap esensi (being), yang dalam kenyataannya selalu tampil dalam
eksistensi. Sehingga suatu kebenaran tidak lagi ditandai oleh kesesuaian antara
konsep dan realita objektif, tetapi oleh tersingkapnya esensi tersebut. Dan
satu-satunya wahana bagi penampakan being tersebut adalah eksistensi manusia. Maka
hermeneutikan tidak lain dari pada penafsiran diri manusia itu sendiri (dasein[14])
melalui bahasa. Memahami
dan menafsirkan adalah bentuk paling mendasar dari keberadaan manusia[15].
Lebih jelasnya, "jika Dilthey menekankan konteks
kesejarahan, Heidegger menekankan pemahaman tentang kehidupan",
situasi pengarang, dan audiensnya.
Hermeneutika Dialogis
Hans-Georg Gadamer[16]
L : Marburg, 11 Februari 1900
W : Heidelberg, 13 Maret 2002
Hermeneutika
fenomenologis Hans-George Gadamer (1900-1998). Hermeneutika, menurutnya, adalah
interpretasi teks sesuai dengan konteks ruang dan waktu interpreter berada.
Inilah yang disebutnya sebagai effective historical consciousness (kesadaran-sejarah
yang efektif[17])
yang memuat kesadaran tiga kerangka waktu: masa lalu
ketika teks dipublikasikan atau ketika ayat-ayat al-Qur’an diturunkan, masa
sekarang ketika kita sekarang berhadap dan memahami teks itu, dan masa akan
datang yang harus menangkap nuansa baru yang produktif dari makna teks.
Hermeneutika
Kritis
Jurgen Habermas
L : Dusseldorf, 18 Juni 1929.
Hermeneutika kritis. Jenis hermeneutika ini lahir dari aliran kritis dalam
filsafat (aliran Frankfurt) yang, antara lain, ditandai dengan Jürgen Habermas
(1929) dengan “kritik ideologinya”. Berbeda dengan Gadamer, Habermas melihat
bahwa interpretasi seharusnya steril dari kepentingan ideologis, termasuk
pra-paham interpreter, yang sering dipengaruhi oleh kepentingan sosial (social
interest) dan ditopang oleh kekuatan komunikasi[18].
Hermenutika Habermas kemudian menjadi “hermeneutika kecurigaan” (hermeneutics
of suspicion),dalam artian hermeneutika Habermas tidak banyak berbicara
tentang bagaimana teks harus diinterpretaskan, kecuali lebih cenderung kepada
kritik terhadap ideologi (kepentingan) di balik penafsiran-penafsiran yang
sudah ada[19].
Hermeneutika
Otonom
Emilio
Betti
L : 1890
W : 1968
Emilio Betti (1890-1968) dengan
“hermeneutika legal (hukum)”. Ia juga termasuk aliran objektif. Menurutnya,
makna asli sesungguhnya terletak pada akal pengarang. Maksudnya, interpretasi teks dengan merujuk kepada si pengarang, pengarang
itu berkuasa atas teks yang dibuatnya. Merujuk kepada pengarang berarti
menemukan makna teks yang sesungguhnya. Akan tetapi hermeneutika Betti menjadi
utopis, ketika si pengarang sudah mati, maka kematian pengarang berarti
kematian teks dan tidak dapat ditemukannya makna di dalam teks.
Hermeneutika
fenomenologis strukturalis
Paul Ricoeur
Hermeneutika
Ricoeur berupaya mengintegrasikan antara metode “pemahaman” (verstehen)
dan “penjelasan” (erkleren)[20]
yang dipertentangkan oleh Dilthey. Jadi, bukan hanya melalui teks yang
berbicara, makna teks juga bisa dipahami oleh
pemahaman struktural di luar teks. Ia
kemudian membedakan antara interpretasi teks tertulis (discourse, diskursus)
dan percakapan (dialogue). Teks perbeda dari percakapan karena ia
terlepas dari kondisi asal yang menghsilkannya, niat penulisnya sudah kabur,
audiennya lebih umum dan referensinya tidak dapat lagi dideteksi. Konsep yang
utama dalam pandangan Ricour adalah bahwa begitu makna obyektif di ekspresikan
dari niat subyektif sang pengarang, maka berbagai interpretasi yang dapat
diterima menjadi mungkin. Makna tidak diambil hanya menurut pandangan hidup pengarangnya, tapi juga menurut
pengertian pandangan hidup pembacanya[21].Ide
Ricoeur ini dikritik, karena teks yang tentu berbeda dari percakapan yang
terlepas dari kondisi awal, maka mengidentifikasi kehidupan pengarang tidak
mungkin, audiensinya juga tidak dapat dideteksi. Begitu juga bagaimana memahami
pandangan hidup (world -view) pengarang jika teks yang ingin
diinterpretasikan adalah kitab suci. Padahal, memahami aspek pandangan hidup
pengarang dan pembaca menjadi penting dalam hermeneutika Ricoeur. Alhasil,
berbeda dengan tafsîr yang tumbuh sebagai disiplin keilmuan Islam yang sejak
awal diabdikan untuk memahami teks al-Qur’an sebagai kitab suci, hermeneutika
mengalami perkembangan yang luas terapannya, sehingga ketika diterapkan ke
dalam pemahaman teks kitab suci, apalagi al-Qur’an yang berbeda dengan
kitab-kitab suci lain, seperti dalam hal i’jâz lughawînya yang tidak dimiliki
oleh kitab suci lain, berbagai kendala banyak ditemukan.
Bagaimana
Jika Diterapkan Dalam al-Qur'an....???
Setelah
kita memahami defini hermeneutika dari beberapa interpreter diatas, sekarang
kita mencoba, bagaimana jika hermeneutika di terapkan dalam mengkaji al-Qur'an.
Mulai dari Schleirmacher hingga Paul Ricoeur.
1.
Merekonstruksi psikologi tuhan untuk menciptakan
al-Quran baru bahkan lebih baik dari al-quran sekarang...(Schleirmacher)
o Siapa Yang Tahu Psikologi Tuhan....?
2.
Merujuk kepada historisitas tuhan. …(Dilthey)
o Apakah tuhan punya sejarah...?
3.
Interpretasi al-quran secara subyektif adalah
indah…. (Gadamer)
o Apakah merancukan makna itu indah...?
4.
Kembali kepada si pengarang al-Quran…. (Betti)
o Kapan manusia bisa bertemu tuhan secara langsung...?
5.
Interpretasi dengan menguak kepentingan di balik
al-Quran. ….(Jurgen Habermas)
o Ada kepentingan apa di balik al-Quran...?
6. Interpretasi subyektif tanpa dialektika dan secara bebas... (Paul
Ricoeur)
o Orisinalitasnya dimana?
Hermeneutika
Dalam Pemikiran Islam
Di antara para hermeneut muslim adalah: Hasan Hanafî, Fazlur
Rahman, Farid Esack, Ashgar Ali Engineer, Amina Wadud Muhsin, Nashr Hâmid Abû
Zayd, Muhammad Syahrûr, Mohammed Arkoun, dll. Secara umum, dapat dikatakan
bahwa mereka mencoba mengsinkronisasikan antara prinsip hermeneutika dan
tafsir. Upaya-upaya tersebut tidak seluruhnya berjalan akur, sehingga
menimbulkan ketegangan-ketegangan (ini yang menjadi alasan ormas-ormas Islam
masih meragukan, bahkan sudah secara jelas menolak hermeneutika, seperti sikap NU
dalam Muktamarnya karena hanya dijadikan “kendaraan” (sarana justifikasi)
Jaringan Islam Liberal).[22]
Hermeneutik
dalam pemikiran Islam pertama-tama diperkenalkan
oleh Hasan Hanafi dalam karyanya yang berjudul Less Methodes
d'Exegese, Essai sur La Science des Fordements de la Comprehension, `Ilm Usul al-Figh (1965), sekalipun tradisi hermeneutik telah dikenal luas dalam berbagai
bidang ilmu-ilmu Islam tradisional, terutama tradisi Usul al-Figh dan Tafsir Alqur'an. Oleh Hasan Hanafi, penggunaan hermeneutik pada awalnya hanya merupakan
eksperimentasi metodologis untuk melepaskan diri dari positivisme dalam teoretisasi hukum Islam dan Usul al-Figh[23]. Sampai di situ, respon terhadap tawaran atas
hermeneutiknya hampir-hampir tidak ada.
Satu hal yang menonjol dari hermeneutik Hanafi dan pemikirannya secara umum adalah muatan ideologisnya yang
sarat dengan maksud-maksud praksis.
Tipikal pemikiran revolusioner semacam ini, justru sangat berbeda
dengan mainstream umat lslam yang masih
terkungkung oleh lembaga-lembaga tradisionalisme dan ortodoksi.
Hasan
Hanafi dalam karyanya yang berjudul Islam in the Modern World, Religion, Ideologi, and Development Vol. I dan
II memberikan uraian tentang hermeneutik. Pada Vol. I dengan sub judul Method of
the Mistic Interpretation PP. 407-429, dan Vol. 11 dengan sub judul
Hermeneutics Libration and Revolotion, PP. 103198[24]. Dalam pandangan Hasan
Hanafi, hermeneutik tidak sekadar ilmu
interpretasi atau teori pemahaman, tetapi juga ilmu yang menjelaskan penerimaan wahyu sejak dari tingkat
perkataan sampai ke tingkat
kenyataan.
Nasr Hamid
Abu Zayd mempersoalkan hilangnya prosedur ilmiah dalam pemikiran hermeneutik
Hasan Hanafi, sebab dalam menafsirkan tradisi pemikiran Islam, ia dianggap
memberi porsi besar bagi penafsiran dan mengabaikan teks-teks keagamaan sebagai
suatu entitas yang memiliki otonomi, sistem hubungan-hubungan intern, dan
konteks wacananya sendiri.
Lain halnya dengan Fazlur
Rahman ketika mengomentari Qs. al-Baqarah/2: 62
dan al-Mâ`idah/5: 69 mengatakan bahwa keselamatan tidak menjadi
"monopoli" Islam, melainkan juga Kristen, Yahudi, dan Shâbi`în (lihat
Fazlur Rahman, The Major Themes of the Qur'an [Minneapolis : Bibliotheca Islamica, 1989], h.
166. "Muslim" (atau orang yang beriman) dalam pandangan Fazlur Rahman
ditarik ke ideal moral yang disimpulkan dari Qs. al-Mâ`idah/5: 48,
al-Baqarah/2: 148, dan 177 yang
menjelaskan bahwa perbedaan agama-agama dan kitab suci yang diturunkan
didasarkan atas esensi tujuan agama, yaitu fastabiqû al-khayrât
(berlomba-lombalah dalam kebajikan). Keyakinan teologis yang berbeda-beda
adalah forma (bentuk), sedangkan kebaikan (etika) adalah esensi atau tujuan
ideal-moral al-Qur'an, sehingga keragaman keyakinan teologis tersebut di sini
"direduksi" menjadi ideal-moral yang mengantarkan Rahman ke
kesimpulan bahwa semua kelompok yang disebut dalam Qs. al-Baqarah/2: 62 dan al-Mâ`idah/5: 69 adalah selamat
Formalisme
adalah target yang menjadi sasaran kritik Rahman, dengan "mereduksi"
perbedaan teologis agama-agama ke ideal moral yang menjadi dasar
"keselamatan universal" dengan mereduksi kandungan teologis pada Qs.
al-Baqarah/2: 62 dan al-Mâ`idah/5: 69 ke pesan etis yang diangapnya sebagai
esensi pada ungkapan fastabiqû al-khayrât dalam Qs. al-Baqarah/2: 148
dan 177, disamping itu kekeliruan yang tidak kurang berbahayanya daripada formalisme yang menjadi sasaran kritik Fazlur
Rahman adalah adalah esensialisme (reduksi forma teologis ke esensi
etis).
Kesimpulan
Dari uraian di atas jelaslah
bahwa makna hermeneutika sebagai filsafat telah bergeser mengikuti pandangan
hidup tokohnya. Schleiermacher dengan latar belakangnya sebagai pendeta
Protestan liberal dan idealis absolute mengubah makna hermeneutika dari sekedar
kajian teks bible menjadi metode memahami dalam pengertian filsafat. Dilthey
sebagai pakar metodologi ilmu-ilmu sosial membelokkan makna hermeneutika menjadi
metode kajian historis. Heidegger dengan latar belakang filsafat fenomenologinya
membawanya kepada kajian ontologis. Gadamer sebagai filosof yang besar di lingkungan
filsafat fenomenologi jerman juga menekankan kajian ontologis heidegger tapi
dalam konteks tradisi pemikiran filsafat barat. Namun Habermas dengan lingkungan
filsafat social Marxis menggesar makna hermeneutika kepada pemahaman yang
diwarnai oleh kepentingan, khususnya kepentingan kekuasaan. Itulah sebabnya ia
mengkritik Gadamer karena tidak menekankan kesadaran sosial yang kritis.
Sedangkan Ricour dengan miliu filsafat fenomenologi dan eksistensialisnya
mensyaratkan adanya aspek pandangan hidup interpreter sebagai faktor utama
dalam pemahamn hermeneutisnya.
Akhirnya
apa yang ditawarkan oleh hermeneutik dalam menafsirkan teks, linguistik,
sejarah, agama dan disiplin ilmu yang lain adalah suatu kreasi, karya dan
bikinan manusia. Karena itu, ia mempunyai kelemahan yang tidak bisa ditutupi,
lebih-lebih jika ia berdiri sendiri tanpa dialog dengan lainnya.
SENARAI
RUJUKAN
A.
Buku
:
Bubner, Rudiger. Essays in
Hermeneutics and Critical Theory Translated by Eric Matthews, New york , Columbia
University Press. 1988.
d'Entreves, Maurizio Passerin
and Seyla Benhabib. Habermas And The Unfinished Project Of Modernity : Critical
Essays on The Philosophical Discourse of Modernity Amerika, The MIT Press Cambridge , Massachusetts ,
1997.
Essack, Farid. Qur'an
Liberation and Pluralism : An Islamic Perspective of Interrelligious Solidarity
against Oppression. England ,
Oxford , 1997.
Gadamer, Hans-Georg. Truth
and Method The Seabury Press, New
York , 1975. diterjemahkan oleh Ahmad Sahidah Kebenaran
dan Metode : Pengantar Filsafat Hermeneutika Yogyakarta ,
Pustaka Pelajar, 2004
Gadamer, Hans-Georg. Philosophical
Hermeneutics Translate and Edited by David E Linge. London , University of California
Press. 1977.
Grondin, Jean. Introduction
to Philosophical Hermeneutics, London ,
Yale University press, 1991.
Habermas, Jurgen. On The
Logic of The Social Science Translated by Shierry Weber Nicholsen and Jerry
A Stark, Amerika, The MIT Press Cambridge, Massachusetts, 1988.
Howard, Roy J Hermeneutika :
Wacana Analitis, Psikososial Dan Ontologis diterjemahkan dari Three
Faces of Hermeneutics : An Introduction To Current Theoris Of Understanding University Of California Press . Ltd.1982 Oleh :
Kusmana dan M.S Nasrullah. IKAPI. Bandung 2000.
Jeanrond, Werner G, Theological
Hermeneutics : Development and Significance. London , Macmillan Academic 1991.
Muslih, Mohammad. Filsafat
Ilmu : Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu
Pengetahuan Yogyakarta , Belukar, 2004.
Palmer, Richard E. Hermeneutics
Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilty, Hiedegger and Gadamer, Evanston : North-western University Press, 1969.
Syamsuddin, Sahiron Dkk. Hermenetika
Al-Qur'an Mazhab Jogja. , Islamika, 2003
Schleiermacher, Friedrich. On
Religion : Speech to its Cultured Despisers, Translated by John Oman with
an introduction by Rudolf Otto, New
York , Harper and Row Publishers 1958.
Silverman, Hugh J. Continental
Philosophy IV : Gadamer and Hermeneutic : Science Culture Literature : Plato,
Heidegger, Barthes, Ricour, Habermas, Derrida. New York and London , Routledge. 1991.
B.
Majalah
dan Jurnal
Islamia, Hermeneutika versus
Tafsir Al-Qur'an, Edisi Perdana, Thn I,No 1 Muharram 1425/Maret 2004.
Gerbang : Jurnal Studi Agama
dan Demokrasi Menafsirkan Hermeneutika No: 14 Vol: V 2003.
Website
Paul Ricoer and the
Hermeneutics of Suspicion : A Brief Overview and Critique By : G. D. Robinson Premise/
Volume II, Number 8/september 27, 1995/page 12. http://capo.org/premise/95/sep/p950812.html
Hermeneutic: Key to
Understanding Scripture By : Rev. Charles Cooper. http://www.solagroup.org/articles/understandingthebible/utb_0002.html
On The Hermeneutic Implication
of Texts Enconding. By : Lou Burnad. November 1998. http://users.ox.ac.uk/lou/wip/herman.htmH1
[1] Alan Lihardson (ed.) Dictionary
of Christian Theology, London :
SCM Press, 1969, hlm. 154-155. dalam Sahiron Syamsuddin, dkk. Hermeneutika
al-Qur'an Jogjakarta ,
Islamika, 2003 hlm. 53
[2] Di kutip oleh Muzairi Hermeneutika
Dalam Pemikiran Islam dari Rihcard E Palmer, Hermeneutics Interpretation
Theory in Schleirmacher, Dilty, Hiedegger and Gadamer.dalam dalam Sahiron
Syamsuddin, dkk. Hermeneutika al-Qur'an Jogjakarta , Islamika, 2003 hlm. 53
[3] Lihat E A.
Andrews, A Latin Dictionary : Founded on Andrews edition of Frued's Latin
Dictionary, Oxford
: Clarendon Press, 1980, hal.849. dalam Mohammad Muslih. Filsafat Ilmu :
Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan Yogyakarta , Belukar, 2004.
[4] Rihcard E Palmer, Hermeneutics
Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilty, Hiedegger and Gadamer, Evanston : North-western University Press, 1969, hlm.4.
[5] Sebagaimana yang dipahami
Richard E Palmer, dia memberikan peta hermeneutika kedalam enam bagian : (1).
Hermeneutika sebagai teori tafsir (2) sebagai metode filologi (3) sebagai ilmu
pemahaman Linguistik (4) sebagai fenomena das sein (5) sebagai sistem
penafsiran.
[6] Karena kecenderungan
pemikirannya yang selalu melihat kemasa lampau. Lihat Mohammad Muslih Filsafat
Ilmu yogyakarta, Belukar, hal. 169
[7]
Maulidi Sketsa Hermeneutika Gerbang (jurnal studi agama dan demokrasi) Menafsirkan
Hermeneutika No: 14 Vol: V 2003. hal. 11.
[8] Hamid Fahmy
Zarkasyi Menguak Nilai Di Balik Hermeneutika Islamia, Hermeneutika
versus Tafsir Al-Qur'an, Edisi Perdana, Thn I,No 1 Muharram 1425/Maret
2004. hal. 25.
[9] Ini mirip
dengan keinginan Fazlur Rahman bahwa ayat al-Qur’an dipahami melalui kondisi-kondisi
turunnya ayat (syu`ûn an-nuzûl) dan tidak jauh berbeda dengan keharusan
memahami ayat-ayat al-Qur’an melalui asbâb an-nuzûl, bahkan lebih akurat
daripada memahami kondisi umum sejarah sekitar lahirnya teks).
[10] Maulidi. Ibid. hlm. 13.
[11] Hamid Fahmy. Lo.cit. hlm. 25
[12] Mohammad Muslih. Op. Cit. hlm.
170
[13] Diantara karya monumentalnya adalah
: Being and Time. Was Tranlated by John Macquarrie and Edward Robinson. New York . Harper and
Row, 1962.
[14] Dasein di definisikan
Heidegger sebagai "sebuah entitas yang tidak benar-benar terdapat di
antara berbagai entitas yang lain. Ia lebih diperbedakan secara ontikal oleh
fakta bahwa, dalam Meng"ada"kannya tersebut, meng"ada" itu
adalah sebuah persoalan baginya… pemahaman tentang mengada itu sendiri adalah
sebuah karakteristik yang menentukan bagi meng"ada"nya Dasein.
Dasein secara ontikal sangatlah jelas bahwa ia bersifat ontologis. Lihat :
Martin Heidegger Being and Time hlm. 12.
[15] Mohammad Muslih. Op. Cit. hlm.
173.
[16] Untuk
Memahami Lebih Jelas Pemikirannya Lihat: Gadamer, Hans-Georg. Truth and
Method The Seabury Press, New
York , 1975. diterjemahkan oleh Ahmad Sahidah Kebenaran
dan Metode : Pengantar Filsafat Hermeneutika Yogyakarta ,
Pustaka Pelajar, 2004
[17] Hans-Georg Gadamer,. Truth and Method hlm. 410
[18] Untuk lebih Jelasnya Lihat.
Malki Ahmad Nasir. Hermeneutika Kritis : Studi Kritis atas Pemikiran
Habermas. Dalam Islamia. Loc. Cit. hlm. 30.
[19] Maulidin. Loc. Cit. hlm 28.
[20]Yang dimaksud dengan metode
“pemahaman” (Verstehen) adalah memahami fakta atau teks sesuai dengan
apa adanya tanpa dicampuri oleh persepsi penafsir. Seorang penafsir hanya
berbicara sesuai dengan bagaimana teks berbicara. Sedangan, “penjelasan” (erkleren)
diwarnai oleh persepsi penafsir, bukan hanya bagaimana fakta atau teks itu berbicara
apa adanya. Verstehen adalah
metode fenomenologis, sedangkan erkleren adalah metode strukturalis.
Oleh karena itu, hermeneutika Ricoeur disebut hermeneutika fenomenologis
strukturalis.
[21]
Paul Ricour The Model of Text:
Meaningful Action Considered as Text Social Research 38, 1971, 529-62.
dalam Hamid Fahmy. Lock.Cit. hlm.27.
[22]Lihat Ahmad Baso, Islam
Pasca-kolonial: Perselingkuhan Agama, Kolonialisme, dan Liberalisme (Bandung : Mizan, 2005).
[23] Hasan Hanafi, Dirasah
Islamiya, Kairo : Maktabah Anglo Misriyah, 1981, hlm.63 dalam Muzair Hermeneutika
dalam pemikiran Islam Mazhab Jogja. Islamika. 2003. hlm.53
[24] There is no hermeneutics per
se, absolute and universal. Hermeneutics is hermeneutics for use. It is a part
of the socio political struggle. Since both tradition and revolution are legal.
Hermeneutics becames the legitimazing device for each one. It justifies the
legality of both tradition and revolution. Lihat. Hasan hanafi "islam in
the modern world" Vol. II Tradition, Revolution and culture (Cairo:
The Anglo Egyptian Bookshop, 1995) hlm. 184
</span>
0 komentar:
Post a Comment