Monday, June 18, 2012

Apa itu Hermeneutika?


Oleh : M. Arfan Mua’ammar
            Istilah “hermeneutika” (bahasa Inggris: hermeneutics) berasal dari ”hermeneuein” (Yunani) yang diambil dari kata hermeneia yang secara harfiah berarti penafsiran/ interpretasi. Sedangkan, hermeneutes bermakna penafsir. Kata ini semula dihubungkan dengan Hermes, yaitu utusan yang bertugas menyampaikan pesan Dewa Jupiter kepada manusia. Dengan diasosiasikan dengan Hermes[1], hermeneutika memiliki unsur triadik (tiga): pesan atau teks, penafsir (interpreter) yang diasosiakan dengan Hermes yang menyampaikan pesan kepada manusia, dan penyampaian pesan tersebut kepada manusia (audiens). Dengan begitu, hermeneutika kemudian menjadi “seni menginterpretasikan” (the art of interpretation). [2] <span class="fullpost">
Dalam tradisi yunani kuno hermeneuen dipakai dalam tiga makna yaitu mengatakan (to say), menjelaskan (to explain), dan menerjemahkan (to translate). Dari tiga makna ini kemudian dalam kata inggris di ekspresikan dengan kata : to interpret. Dengan demikian kegiatan interpretasi menunjukkan pada tiga hal pokok : pengucapan lisan (an oral recitation), penjelasan yang masuk akal (a reasonable explanation), dan terjemahan dari bahasa lain (a translation from another language)[3].
Hermeneutika semula diterapkan untuk menginterpretasi teks-teks atau ungkapan-ungkapan Yesus dalam Bible (the study of the general principle of Biblical interpretation)[4]. Di kalangan Kristen awal, Origen dikenal sebagai salah seorang yang memperkenalkan cara-cara memahami Bible, yaitu dengan menggunakan metode allegoris (di samping metode-metode yang dikenal sebelumnya, yaitu interpretasi literal, interpretasi moral, dan interpretasi mistis).
Hermeneutika secara umum (baik yang diterapkan dalam kajian teks maupun yang diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial) melihat “teks” sebagai sesuatu yang bisa dibaca, diamati, atau dipikirkan, sehingga “teks” mengandung dua pengertian: teks tertulis (seperti buku, dokume, kitab suci, dsb.) dan teks tak tertulis atau realitas, namun juga bisa dibaca, seperti realitas sosial.
Teks dalam perspektif  hermeneutika adalah produk atau hasil dari pengarangnya (the author). Oleh karena itu, hermeutika sangat mempersoalkan tentang pengarang (authorship) ketika berbicara tentang teks. Sebagai konsekuensinya, "hermeneutika tidak membedakan antara teks umum dengan teks suci (kitab suci, sacred text)", terutama pada hermeneutika modern yang dipelopori oleh Schleiermacher (1768-1834), seorang pendeta. Dalam kajian hermeneutika, teks kitab suci tetap dianggap sebagai teks manusiawi, sebagaimana teks linguistik[5] lainnya.
Dalam hermeneutika selalu diusulkan pemahaman teks yang bertolak dari keterkaitan antara unsur triadik (tiga pihak): teks, pembaca atau penafsir, dan audiens (masyarakat). Jika diilustrasikan, hubungan triadik tersebut adalah begini:


                     Teks (nash)                   









          Pembaca








Audiens

Hubungan antara teks n pembaca n audiens itulah yang sering disebut oleh para pendukung hermeneutika sebagai negosiating process (proses negosiasi, tawar-menawar antara makna yang termakub dalam teks secara normatif dengan situasi masyarakat secara riil), istilah M. Amin Abdullah, atau fusion of horizon menurut istilah Gadamer. Sejauh mana kepentingan umat bisa terpenuhi dengan tafsiran baru menurut skema metodologis ini adalah sejauh mana pula si interpreter “membaca kondisi masyarakat” dan “membaca teks kitab suci”.
Cara Kerja (Operasional) dalam Memahami Teks
            Hermeneutika dalam perkembangan bermacam-macam : sebuah pergesaran paradigma (Shifting Paradigm) dalam memahami makna yang terkandung dalam teks.
Hermeneutika Romantatik[6]
Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher
L          : Breslau, 21 November 1768
W        : Berlin, 12 Februari 1834
Schleiermacher (1768-1834) dengan “hermeneutika psiklogis” (langkah 1: interpretasi gramatikal dengan media kaedah bahasa, dalam re-konstruksi gramatikal, pembaca menafsirkan teks dengan aturan dan struktur gramatikal dan linguistik yang berlaku dalam konteks ketika teks itu diproduksi. Maka penafsiran gramatikal – yang mendekati teks dalam kerangka makna dari kata-kata tertentu, harus dilengkapi dengan penafsiran psikologis – yang merupakan proyeksi ke dalam proses kreatif dan subyektivitas pengarang[7]. langkah 2: interpretasi psikologis dengan merekonstruksi secara imajinatif suasana batin pengarang ketika menulis teks ini, intuitive understanding : artinya Hermeneutika bertugas untuk merekonstruksi psikologi pengarang[8]. [bagaimana dengan al-Qur’an? Ya, karena ia memperlakukan teks suci sebagaimana teks umumnya].
Hermeneutika Historis
Wilhem Dilthey
L          : Wisbaden, 19 November 1833.
W        : Seis Bei Bozen, 1 Oktober 1911.
Wilhelm Dilthey (1833-1911) dengan “hermeneutika sejarah” (memunculkan makna-makna dari peristiwa yang melahirkan teks[9]). Bisa dikatakan, Dilthey adalah penghubung antara para hermeneut abad ke-19 (dengan dedengkot utamanya, Schleiermacher) dan membawa tradisi "baru" hermeneutika abad ke-20[10]. koreksi utamanya terhadap Schleiermacher adalah penolakan Dilthey terhadap asumsi Schleiermacher bahwa setiap kerja pengarang bersumber dari prinsip-prinsip yang implisit dalam pikiran pengarang, Dilthey menganggap asumsi ini anti-Historis sebab ia tidak membertimbangkan pengaruh eksternal dalam perkembangan pikiran pengarang[11]. Dilthey juga berpandangan bahwa yang direproduksi bukanlah keadaan psikis tokoh-tokoh dalam teks dan dari teks melainkan bagaimana proses karya itu diciptakan. Yang dilakukan bukan empati terhadap pencipta teks, melainkan membuat rekonstruksi dan objektivikasi mental yaitu produk budaya [12]. Dithey berpendapat bahwa teks disini bukan teks dalam arti tertulis tapi teks dalam konteks realitas, (Alam dan Sosial). Dan dalam memahami keduanya dibutuhak pendekatan yang berbeda. Pendekatan Euklaren untuk Alam dan Verstehen untuk tatanan sosial.
Hermeneutika Fenomenologis Dasein
Martin Heidegger[13]
L          : Mebkirch, 26 September 1889.
W        : Freiburg, 26 Mei 1976.
Hermeneutika fenomenologis Martin Heidegger (1889-1976). Bagi Heidegger, hermeneutika berarti penafsiran terhadap esensi (being), yang dalam kenyataannya selalu tampil dalam eksistensi. Sehingga suatu kebenaran tidak lagi ditandai oleh kesesuaian antara konsep dan realita objektif, tetapi oleh tersingkapnya esensi tersebut. Dan satu-satunya wahana bagi penampakan being tersebut adalah eksistensi manusia. Maka hermeneutikan tidak lain dari pada penafsiran diri manusia itu sendiri (dasein[14]) melalui bahasa. Memahami dan menafsirkan adalah bentuk paling mendasar dari keberadaan manusia[15]. Lebih jelasnya, "jika Dilthey menekankan konteks kesejarahan, Heidegger menekankan pemahaman tentang kehidupan", situasi pengarang, dan audiensnya.
Hermeneutika Dialogis
Hans-Georg Gadamer[16]
L          : Marburg, 11 Februari 1900
W        : Heidelberg, 13 Maret 2002
Hermeneutika fenomenologis Hans-George Gadamer (1900-1998). Hermeneutika, menurutnya, adalah interpretasi teks sesuai dengan konteks ruang dan waktu interpreter berada. Inilah yang disebutnya sebagai effective historical consciousness (kesadaran-sejarah yang efektif[17]) yang memuat kesadaran tiga kerangka waktu: masa lalu ketika teks dipublikasikan atau ketika ayat-ayat al-Qur’an diturunkan, masa sekarang ketika kita sekarang berhadap dan memahami teks itu, dan masa akan datang yang harus menangkap nuansa baru yang produktif dari makna teks.
Hermeneutika Kritis
Jurgen Habermas
L          : Dusseldorf, 18 Juni 1929.
Hermeneutika kritis. Jenis hermeneutika ini lahir dari aliran kritis dalam filsafat (aliran Frankfurt) yang, antara lain, ditandai dengan Jürgen Habermas (1929) dengan “kritik ideologinya”. Berbeda dengan Gadamer, Habermas melihat bahwa interpretasi seharusnya steril dari kepentingan ideologis, termasuk pra-paham interpreter, yang sering dipengaruhi oleh kepentingan sosial (social interest) dan ditopang oleh kekuatan komunikasi[18]. Hermenutika Habermas kemudian menjadi “hermeneutika kecurigaan” (hermeneutics of suspicion),dalam artian hermeneutika Habermas tidak banyak berbicara tentang bagaimana teks harus diinterpretaskan, kecuali lebih cenderung kepada kritik terhadap ideologi (kepentingan) di balik penafsiran-penafsiran yang sudah ada[19].
Hermeneutika Otonom
Emilio Betti
L          : 1890
W        : 1968
Emilio Betti (1890-1968) dengan “hermeneutika legal (hukum)”. Ia juga termasuk aliran objektif. Menurutnya, makna asli sesungguhnya terletak pada akal pengarang.  Maksudnya, interpretasi teks dengan merujuk kepada si pengarang, pengarang itu berkuasa atas teks yang dibuatnya. Merujuk kepada pengarang berarti menemukan makna teks yang sesungguhnya. Akan tetapi hermeneutika Betti menjadi utopis, ketika si pengarang sudah mati, maka kematian pengarang berarti kematian teks dan tidak dapat ditemukannya makna di dalam teks.
Hermeneutika fenomenologis strukturalis
Paul Ricoeur
Hermeneutika Ricoeur berupaya mengintegrasikan antara metode “pemahaman” (verstehen) dan “penjelasan” (erkleren)[20] yang dipertentangkan oleh Dilthey. Jadi, bukan hanya melalui teks yang berbicara, makna teks juga bisa dipahami oleh pemahaman struktural di luar teks. Ia kemudian membedakan antara interpretasi teks tertulis (discourse, diskursus) dan percakapan (dialogue). Teks perbeda dari percakapan karena ia terlepas dari kondisi asal yang menghsilkannya, niat penulisnya sudah kabur, audiennya lebih umum dan referensinya tidak dapat lagi dideteksi. Konsep yang utama dalam pandangan Ricour adalah bahwa begitu makna obyektif di ekspresikan dari niat subyektif sang pengarang, maka berbagai interpretasi yang dapat diterima menjadi mungkin. Makna tidak diambil hanya menurut pandangan  hidup pengarangnya, tapi juga menurut pengertian pandangan hidup pembacanya[21].Ide Ricoeur ini dikritik, karena teks yang tentu berbeda dari percakapan yang terlepas dari kondisi awal, maka mengidentifikasi kehidupan pengarang tidak mungkin, audiensinya juga tidak dapat dideteksi. Begitu juga bagaimana memahami pandangan hidup (world -view) pengarang jika teks yang ingin diinterpretasikan adalah kitab suci. Padahal, memahami aspek pandangan hidup pengarang dan pembaca menjadi penting dalam hermeneutika Ricoeur. Alhasil, berbeda dengan tafsîr yang tumbuh sebagai disiplin keilmuan Islam yang sejak awal diabdikan untuk memahami teks al-Qur’an sebagai kitab suci, hermeneutika mengalami perkembangan yang luas terapannya, sehingga ketika diterapkan ke dalam pemahaman teks kitab suci, apalagi al-Qur’an yang berbeda dengan kitab-kitab suci lain, seperti dalam hal i’jâz lughawînya yang tidak dimiliki oleh kitab suci lain, berbagai kendala banyak ditemukan.
Bagaimana Jika Diterapkan Dalam al-Qur'an....???
            Setelah kita memahami defini hermeneutika dari beberapa interpreter diatas, sekarang kita mencoba, bagaimana jika hermeneutika di terapkan dalam mengkaji al-Qur'an. Mulai dari Schleirmacher hingga Paul Ricoeur.
1.      Merekonstruksi psikologi tuhan untuk menciptakan al-Quran baru bahkan lebih baik dari al-quran sekarang...(Schleirmacher)
o   Siapa Yang Tahu Psikologi Tuhan....?
2.      Merujuk kepada historisitas tuhan. …(Dilthey)
o   Apakah tuhan punya sejarah...?
3.      Interpretasi al-quran secara subyektif adalah indah…. (Gadamer)
o   Apakah merancukan makna itu indah...?
4.      Kembali kepada si pengarang al-Quran…. (Betti)
o   Kapan manusia bisa bertemu tuhan secara langsung...?
5.      Interpretasi dengan menguak kepentingan di balik al-Quran. ….(Jurgen Habermas)
o   Ada kepentingan apa di balik al-Quran...?
6.      Interpretasi subyektif tanpa dialektika dan secara bebas... (Paul Ricoeur)
o   Orisinalitasnya dimana?
Hermeneutika Dalam Pemikiran Islam
Di antara para hermeneut muslim adalah: Hasan Hanafî, Fazlur Rahman, Farid Esack, Ashgar Ali Engineer, Amina Wadud Muhsin, Nashr Hâmid Abû Zayd, Muhammad Syahrûr, Mohammed Arkoun, dll. Secara umum, dapat dikatakan bahwa mereka mencoba mengsinkronisasikan antara prinsip hermeneutika dan tafsir. Upaya-upaya tersebut tidak seluruhnya berjalan akur, sehingga menimbulkan ketegangan-ketegangan (ini yang menjadi alasan ormas-ormas Islam masih meragukan, bahkan sudah secara jelas menolak hermeneutika, seperti sikap NU dalam Muktamarnya karena hanya dijadikan “kendaraan” (sarana justifikasi) Jaringan Islam Liberal).[22]
Hermeneutik dalam pemikiran Islam pertama-tama diper­kenalkan oleh Hasan Hanafi dalam karyanya yang berjudul Less Methodes d'Exegese, Essai sur La Science des Fordements de la Compre­hension, `Ilm Usul al-Figh (1965), sekalipun tradisi hermeneutik telah dikenal luas dalam berbagai bidang ilmu-ilmu Islam tradi­sional, terutama tradisi Usul al-Figh dan Tafsir Alqur'an. Oleh Hasan Hanafi, penggunaan hermeneutik pada awalnya hanya merupakan eksperimentasi metodologis untuk melepaskan diri dari positivisme dalam teoretisasi hukum Islam dan Usul al-Figh[23]. Sampai di situ, respon terhadap tawaran atas hermeneutiknya hampir-hampir tidak ada.
Satu hal yang menonjol dari hermeneutik Hanafi dan pemi­kirannya secara umum adalah muatan ideologisnya yang sarat dengan maksud-maksud praksis. Tipikal pemikiran revolusioner semacam ini, justru sangat berbeda dengan mainstream umat lslam yang masih terkungkung oleh lembaga-lembaga tradisionalisme dan ortodoksi.
Hasan Hanafi dalam karyanya yang berjudul Islam in the Modern World, Religion, Ideologi, and Development Vol. I dan II memberikan uraian tentang hermeneutik. Pada Vol. I dengan sub judul Method of the Mistic Interpretation PP. 407-429, dan Vol. 11 dengan sub judul Hermeneutics Libration and Revolotion, PP. 103­198[24]. Dalam pandangan Hasan Hanafi, hermeneutik tidak se­kadar ilmu interpretasi atau teori pemahaman, tetapi juga ilmu yang menjelaskan penerimaan wahyu sejak dari tingkat perkataan sampai ke tingkat kenyataan.
Nasr Hamid Abu Zayd mempersoalkan hilangnya prosedur ilmiah dalam pemikiran hermeneutik Hasan Hanafi, sebab dalam menafsirkan tradisi pemikiran Islam, ia dianggap memberi porsi besar bagi penafsiran dan mengabaikan teks-teks keagamaan sebagai suatu entitas yang memiliki otonomi, sistem hubungan-hubungan intern, dan konteks wacananya sendiri.
Lain halnya dengan Fazlur Rahman ketika mengomentari Qs. al-Baqarah/2: 62  dan al-Mâ`idah/5: 69 mengatakan bahwa keselamatan tidak menjadi "monopoli" Islam, melainkan juga Kristen, Yahudi, dan Shâbi`în (lihat Fazlur Rahman, The Major Themes of the Qur'an [Minneapolis: Bibliotheca Islamica, 1989], h. 166. "Muslim" (atau orang yang beriman) dalam pandangan Fazlur Rahman ditarik ke ideal moral yang disimpulkan dari Qs. al-Mâ`idah/5: 48, al-Baqarah/2: 148, dan  177 yang menjelaskan bahwa perbedaan agama-agama dan kitab suci yang diturunkan didasarkan atas esensi tujuan agama, yaitu fastabiqû al-khayrât (berlomba-lombalah dalam kebajikan). Keyakinan teologis yang berbeda-beda adalah forma (bentuk), sedangkan kebaikan (etika) adalah esensi atau tujuan ideal-moral al-Qur'an, sehingga keragaman keyakinan teologis tersebut di sini "direduksi" menjadi ideal-moral yang mengantarkan Rahman ke kesimpulan bahwa semua kelompok yang disebut dalam Qs. al-Baqarah/2: 62  dan al-Mâ`idah/5: 69 adalah selamat
Formalisme adalah target yang menjadi sasaran kritik Rahman, dengan "mereduksi" perbedaan teologis agama-agama ke ideal moral yang menjadi dasar "keselamatan universal" dengan mereduksi kandungan teologis pada Qs. al-Baqarah/2: 62 dan al-Mâ`idah/5: 69 ke pesan etis yang diangapnya sebagai esensi pada ungkapan fastabiqû al-khayrât dalam Qs. al-Baqarah/2: 148 dan 177, disamping itu kekeliruan yang tidak kurang berbahayanya daripada  formalisme yang menjadi sasaran kritik Fazlur Rahman adalah adalah esensialisme (reduksi forma teologis ke esensi etis).



Kesimpulan
            Dari uraian di atas jelaslah bahwa makna hermeneutika sebagai filsafat telah bergeser mengikuti pandangan hidup tokohnya. Schleiermacher dengan latar belakangnya sebagai pendeta Protestan liberal dan idealis absolute mengubah makna hermeneutika dari sekedar kajian teks bible menjadi metode memahami dalam pengertian filsafat. Dilthey sebagai pakar metodologi ilmu-ilmu sosial membelokkan makna hermeneutika menjadi metode kajian historis. Heidegger dengan latar belakang filsafat fenomenologinya membawanya kepada kajian ontologis. Gadamer sebagai filosof yang besar di lingkungan filsafat fenomenologi jerman juga menekankan kajian ontologis heidegger tapi dalam konteks tradisi pemikiran filsafat barat. Namun Habermas dengan lingkungan filsafat social Marxis menggesar makna hermeneutika kepada pemahaman yang diwarnai oleh kepentingan, khususnya kepentingan kekuasaan. Itulah sebabnya ia mengkritik Gadamer karena tidak menekankan kesadaran sosial yang kritis. Sedangkan Ricour dengan miliu filsafat fenomenologi dan eksistensialisnya mensyaratkan adanya aspek pandangan hidup interpreter sebagai faktor utama dalam pemahamn hermeneutisnya.
Akhirnya apa yang ditawarkan oleh hermeneutik dalam menafsirkan teks, linguistik, sejarah, agama dan disiplin ilmu yang lain adalah suatu kreasi, karya dan bikinan manusia. Karena itu, ia mempunyai kelemahan yang tidak bisa ditutupi, lebih-lebih jika ia berdiri sendiri tanpa dialog dengan lainnya.

SENARAI RUJUKAN

A.    Buku :
Bubner, Rudiger. Essays in Hermeneutics and Critical Theory Translated by Eric Matthews, New york, Columbia University Press. 1988.
d'Entreves, Maurizio Passerin and Seyla Benhabib. Habermas And The Unfinished Project Of Modernity : Critical Essays on The Philosophical Discourse of Modernity Amerika, The MIT Press Cambridge, Massachusetts, 1997.
Essack, Farid. Qur'an Liberation and Pluralism : An Islamic Perspective of Interrelligious Solidarity against Oppression. England, Oxford, 1997.
Gadamer, Hans-Georg. Truth and Method The Seabury Press, New York, 1975. diterjemahkan oleh Ahmad Sahidah Kebenaran dan Metode : Pengantar Filsafat Hermeneutika Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004
Gadamer, Hans-Georg. Philosophical Hermeneutics Translate and Edited by David E Linge. London, University of California Press. 1977.
Grondin, Jean. Introduction to Philosophical Hermeneutics, London, Yale University press, 1991.
Habermas, Jurgen. On The Logic of The Social Science Translated by Shierry Weber Nicholsen and Jerry A Stark, Amerika, The MIT Press Cambridge, Massachusetts, 1988.
Howard, Roy J Hermeneutika : Wacana Analitis, Psikososial Dan Ontologis diterjemahkan dari Three Faces of Hermeneutics : An Introduction To Current Theoris Of Understanding University Of California Press. Ltd.1982 Oleh : Kusmana dan M.S Nasrullah. IKAPI. Bandung 2000.
Jeanrond, Werner G, Theological Hermeneutics : Development and Significance. London, Macmillan Academic 1991.
Muslih, Mohammad. Filsafat Ilmu : Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan Yogyakarta, Belukar, 2004.
Palmer, Richard E. Hermeneutics Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilty, Hiedegger and Gadamer, Evanston: North-western University Press, 1969.
Syamsuddin, Sahiron Dkk. Hermenetika Al-Qur'an Mazhab Jogja. , Islamika, 2003
Schleiermacher, Friedrich. On Religion : Speech to its Cultured Despisers, Translated by John Oman with an introduction by Rudolf Otto, New York, Harper and Row Publishers 1958.
Silverman, Hugh J. Continental Philosophy IV : Gadamer and Hermeneutic : Science Culture Literature : Plato, Heidegger, Barthes, Ricour, Habermas, Derrida. New York and London, Routledge. 1991.


B.     Majalah dan Jurnal
Islamia, Hermeneutika versus Tafsir Al-Qur'an, Edisi Perdana, Thn I,No 1 Muharram 1425/Maret 2004.
Gerbang : Jurnal Studi Agama dan Demokrasi Menafsirkan Hermeneutika No: 14 Vol: V 2003.

Website
Paul Ricoer and the Hermeneutics of Suspicion : A Brief Overview and Critique By : G. D. Robinson Premise/ Volume II, Number 8/september 27, 1995/page 12. http://capo.org/premise/95/sep/p950812.html
Hermeneutic: Key to Understanding Scripture By : Rev. Charles Cooper. http://www.solagroup.org/articles/understandingthebible/utb_0002.html
On The Hermeneutic Implication of Texts Enconding. By : Lou Burnad. November 1998. http://users.ox.ac.uk/lou/wip/herman.htmH1



[1] Alan Lihardson (ed.) Dictionary of Christian Theology, London: SCM Press, 1969, hlm. 154-155. dalam Sahiron Syamsuddin, dkk. Hermeneutika al-Qur'an Jogjakarta, Islamika, 2003 hlm. 53
[2] Di kutip oleh Muzairi Hermeneutika Dalam Pemikiran Islam dari Rihcard E Palmer, Hermeneutics Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilty, Hiedegger and Gadamer.dalam dalam Sahiron Syamsuddin, dkk. Hermeneutika al-Qur'an Jogjakarta, Islamika, 2003 hlm. 53   
[3] Lihat E A. Andrews, A Latin Dictionary : Founded on Andrews edition of Frued's Latin Dictionary, Oxford : Clarendon Press, 1980, hal.849. dalam Mohammad Muslih. Filsafat Ilmu : Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan Yogyakarta, Belukar, 2004.
[4] Rihcard E Palmer, Hermeneutics Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilty, Hiedegger and Gadamer, Evanston: North-western University Press, 1969, hlm.4.
[5] Sebagaimana yang dipahami Richard E Palmer, dia memberikan peta hermeneutika kedalam enam bagian : (1). Hermeneutika sebagai teori tafsir (2) sebagai metode filologi (3) sebagai ilmu pemahaman Linguistik (4) sebagai fenomena das sein (5) sebagai sistem penafsiran.
[6] Karena kecenderungan pemikirannya yang selalu melihat kemasa lampau. Lihat Mohammad Muslih Filsafat Ilmu yogyakarta, Belukar, hal. 169
[7] Maulidi Sketsa Hermeneutika Gerbang (jurnal studi agama dan demokrasi) Menafsirkan Hermeneutika No: 14 Vol: V 2003. hal. 11.  
[8] Hamid Fahmy Zarkasyi Menguak Nilai Di Balik Hermeneutika Islamia, Hermeneutika versus Tafsir Al-Qur'an, Edisi Perdana, Thn I,No 1 Muharram 1425/Maret 2004. hal. 25.
[9] Ini mirip dengan keinginan Fazlur Rahman bahwa ayat al-Qur’an dipahami melalui kondisi-kondisi turunnya ayat (syu`ûn an-nuzûl) dan tidak jauh berbeda dengan keharusan memahami ayat-ayat al-Qur’an melalui asbâb an-nuzûl, bahkan lebih akurat daripada memahami kondisi umum sejarah sekitar lahirnya teks).
[10] Maulidi. Ibid. hlm. 13.
[11] Hamid Fahmy. Lo.cit. hlm. 25
[12] Mohammad Muslih. Op. Cit. hlm. 170
[13] Diantara karya monumentalnya adalah : Being and Time. Was Tranlated by John Macquarrie and Edward Robinson. New York. Harper and Row, 1962.
[14] Dasein di definisikan Heidegger sebagai "sebuah entitas yang tidak benar-benar terdapat di antara berbagai entitas yang lain. Ia lebih diperbedakan secara ontikal oleh fakta bahwa, dalam Meng"ada"kannya tersebut, meng"ada" itu adalah sebuah persoalan baginya… pemahaman tentang mengada itu sendiri adalah sebuah karakteristik yang menentukan bagi meng"ada"nya Dasein. Dasein secara ontikal sangatlah jelas bahwa ia bersifat ontologis. Lihat : Martin Heidegger  Being and Time  hlm. 12.
[15] Mohammad Muslih. Op. Cit. hlm. 173.
[16] Untuk Memahami Lebih Jelas Pemikirannya Lihat: Gadamer, Hans-Georg. Truth and Method The Seabury Press, New York, 1975. diterjemahkan oleh Ahmad Sahidah Kebenaran dan Metode : Pengantar Filsafat Hermeneutika Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004
[17]  Hans-Georg  Gadamer,. Truth and Method  hlm. 410
[18] Untuk lebih Jelasnya Lihat. Malki Ahmad Nasir. Hermeneutika Kritis : Studi Kritis atas Pemikiran Habermas. Dalam Islamia. Loc. Cit. hlm. 30.
[19] Maulidin. Loc. Cit. hlm 28.
[20]Yang dimaksud dengan metode “pemahaman” (Verstehen) adalah memahami fakta atau teks sesuai dengan apa adanya tanpa dicampuri oleh persepsi penafsir. Seorang penafsir hanya berbicara sesuai dengan bagaimana teks berbicara. Sedangan, “penjelasan” (erkleren) diwarnai oleh persepsi penafsir, bukan hanya bagaimana fakta atau teks itu berbicara apa adanya.  Verstehen adalah metode fenomenologis, sedangkan erkleren adalah metode strukturalis. Oleh karena itu, hermeneutika Ricoeur disebut hermeneutika fenomenologis strukturalis.  
[21] Paul Ricour The Model of  Text: Meaningful Action Considered as Text Social Research 38, 1971, 529-62. dalam Hamid Fahmy. Lock.Cit. hlm.27.
[22]Lihat Ahmad Baso, Islam Pasca-kolonial: Perselingkuhan Agama, Kolonialisme, dan Liberalisme (Bandung: Mizan, 2005).
[23] Hasan Hanafi, Dirasah Islamiya, Kairo : Maktabah Anglo Misriyah, 1981, hlm.63 dalam Muzair Hermeneutika dalam pemikiran Islam Mazhab Jogja. Islamika. 2003. hlm.53
[24] There is no hermeneutics per se, absolute and universal. Hermeneutics is hermeneutics for use. It is a part of the socio political struggle. Since both tradition and revolution are legal. Hermeneutics becames the legitimazing device for each one. It justifies the legality of both tradition and revolution. Lihat. Hasan hanafi "islam in the modern world" Vol. II Tradition, Revolution and culture (Cairo: The Anglo Egyptian Bookshop, 1995) hlm. 184 


</span>

0 komentar:

Post a Comment

 
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA...... TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA......TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA......TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA......TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA......TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA......TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA......