Monday, June 18, 2012

Melacak Pembaruan Dalam Islam



Oleh: M. Arfan Mu’ammar

Akhir-akhir ini terjadi perdebatan yang cukup seru dalam “Pembaruan Islam”, sebuah kritik terhadap proyek modernisasi dan liberalisasi Islam yang terdengar cukup segar. Dan tampaknya masyarakat Islam sangat haus akan kritik semacam ini, karena memang kritik, dalam arti kata sebenarnya sangat diperlukan guna menciptakan sebuah iklim intelektual dialogis. Perdebatan ini bermula dari sebuah orasi ilmiah yang disampaikan oleh Hamid Fahmy Zarkasyi di Gedung Gema Insani, Depok, Jawa Barat, dalam acara tasyakur dan pidato ilmiah atas kelulusan doktornya dalam bidang pemikiran Islam di International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) Malasyia. Yang kemudian disusul dengan dimuatnya artikel beliau – Menyoal Pembaruan Islam -  pada (Republika 28/12/2006). yang didukung oleh “Ismail Fajrie Alatas” (Republika 5/1/2007). Dan mendapat tanggapan dari “Ahmad Sahidah” (Republika 12/1/2007), “Al-Makin” (Republika 19/01/2007) dan yang terakhir “Ulil Abshar Abdalla” (Republika 25/01/2007). Tulisan ini tidak bermaksud menjustifikasi salah satu dari dua kubu, akan tetapi lebih kepada menguak dan melacak akar-akar pembaruan yang tumbuh kembang dalam Islam. <span class="fullpost">
Karena seringkali kita menjutifikasi seseorang dengan tuduhan sekuler dan liberal tanpa memahami terlebih dahulu pemikiran mereka dan terlalu cepat untuk menutup mata. Contohnya, dalam kehidupan keseharian kita, seringkali terlontar dari mulut kita bahwa, cak nur itu sekuler, Amin Abdullah itu liberal, sedangkan tidak satupun dari buku mereka pernah kita baca, artinya kita hanya mentaqlid" dari orang-orang kepercayaan kita, walaupun toh tuduhan itu benar, tapi Islam tidak pernah mengajarkan umat Islam untuk itu. Islam mengajarkan kita untuk manjadi muttabi' atau kalau bisa mujtahid. Dengan terlebih dahulu melacak akar-akar pembaruan dalam Islam, diharapkan kita dapat menjadi muttabi' atau mujtahid ke arah yang benar bukan taqlid walaupun arahnya benar.
Ini semua (pembaruan Islam) bermula Setelah dua sampai tiga setengah abad setelah wafatnya Rasulullah, terjadilah apa yang disebut dengan kristalisasi otodoxi Islam, terutama di kalangan Sunni. Kristalisasi tersebut sebagai akibat dari respon kelompok Sunni atas pergulatan pemikiran keagamaan yang terjadi saat itu antara kelompok Sunni dengan kelompok Syi'ah, Mu'tazilah, Khawarij. Selain itu, dominasi kelompok Sunni dalam panggung politik Islam juga mempengaruhi kecenderungan tersebut. Dan kemenangan kelompok sunni di panggung politik ummat Islam menumbuhkan kecenderungan untuk saling memanfaatkan antara kelompok ulama dengan kelompok elite politik saat itu. Ulama, tidak dapat dipungkiri, merupakan salah satu alat melegitimasi rezim politik sebuah dinasti pada masa khilafah Sunni, begitu juga kekuatan politik para elite dimanfaatkan untuk menekan kelompok keagamaan yang tidak sefaham, sehingga faham tersebut tidak dapat berkembang, atau sulit untuk memperoleh pengikut. Pertikaian antar madzhab keagamaan Islam pada abad ketiga/sembilan hampir seluruhnya melibatkan kekuatan politik pada masanya. Inti permasahannya adalah upaya pemapanan ajaran dan aqidah sunni, dan bidang politik adalah pembelaan kelompok Sunni terhadap khilafah Sunni[1]. Ketergantungan saling menguntungkan antara rezim politik dan kelompok ulama ini berlangsung hingga abad ketiga belas, saat Baghdad ditaklukkan tentara Mongol tahun 1258. Apalagi kristalisasi ortodoksi semakin menguat dengan ditambah menguatnya kehidupan sufistik di kalangan kelompok keagamaan yang banyak menekan aspek esoterisme ajaran Islam[2]. Kemapanan ajaran Sunni membawa dampak munculnya anggapan bahwa pintu ijtihad sudah tertutup dan, selebihnya, ummat Islam tinggal memanfaatkan warisan intelektual abad-abad sebelumnya.
Akar pembaruan dalam Islam sebelum abad modern dapat ditarik dari apa yang dipelopori Ibn Taymia (1263/1328) di Siria dan Mesir dalam memurnikan ajaran Islam. Upaya pembaruan tersebut ditindak lanjuti oleh Muhammad bin Abdul Wahhab pada abad kedua belas/delapan belas di Semenanjung Arabia, Syah Waliyullah (1702-1762) di India pada masa yang sama. Pada abad modern, Muhammad Abduh (1849-1905) beserta muridnya
M. Rashid Ridha (1865-1935) di Mesir, Nemik Kemal, Zia Gokalp di Turki, Sayyid Ahmad Khan, Sayyid Amir Ali, Muhammad lqbal di India, dan di indonesia ada Ahmad Dahlan, Haji Agus Salim, Imam Zarkasyi. Mereka dapat dimasukkan sebagai tokoh pembaruan di dunia Islam abad modern.
Pembaruan yang mereka lakukan merupakan aktifitas untuk merubah kondisi umat Islam yang sedang berlangsung menuju kondisi masa depan yang dicita-citakan. Pembaruan Islam, dalam pandangan mereka adalah penemuan kembali ajaran dasar yang berlaku abadi dan dapat melampaui batasan ruang dan waktu[3]. Mereka meyakini bahwa apa yang mereka upayakan adalah untuk kemaslahatan hidup ummat Islam seperti yang dicita-citakan ajaran Islam, atau tidak bertentangan dengan kaidah agama Islam. Pembaruan mereka memperoleh justifikasi keagamaan, yaitu sabda Rasulullah yang diriwayatkan Hakim, Abu Dawud dan Tirmidzi dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa “Allah Ta'ala akan mengutus seorang kepada ummat Islam untuk memperbarui (yujaddidu) ajaran keagaman mereka”[4].
Meskipun demikian terdapat perbedaan arah pembaruan para pembaharu pra modern dan pembaruan modern. Para pembaharu sebelum periode modern melancarkan pembaruan untuk memurnikan kehidupan keagamaan ummat Islam dari bentuk penyelewengan-­penyelewengan agar sesuai dengan corak kehidupan sederhana seperti yang dipraktekkan zaman Rasulullah dan ahl as-salaf. Akan tetapi tujan pembaharu modern, adalah memberikan tafsiran baru dari ajaran Islam agar di masa modern ummat Islam tetap tidak tertinggal dari bangsa lainnya sekaligus tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
            Akan tetapi sebagian dari pembaharu modern salah dalam memahami arti dalam “Pembaruan” itu sendiri. Pembaruan pemikiran keagamaan dalam Islam atau tajdid seringkali diterjemahkan menjadi modernisasi dan kini bahkan menjadi liberalisasi. Padahal tajdid berbeda dari modernisasi ataupun liberalisasi baik secara epistemologis maupun konseptual. Pembaruan pemikiran Islam yang dimotori oleh Nurcholis Madjid adalah contohnya, yang kini bergulir menjadi proyek liberalisasi Islam di Indonesia. Ini semua terjadi karena pengaruh Barat serta hegemoni Barat dan mereka cenderung mengadopsi paham-paham dari mereka.
            Di pihak lain (Ulil Abshar) menganggap sikap semacam – kritik terhadap epistemologi barat dan proyeknya -  ini hanya “menghabiskan energi dan kurang bermanfaat”. Lebih baik energi sarjana Islam di kerahkan untuk memproduksi karya-karya cemerlang dalam bidang kajian Islam. “Metode bisa dipinjam dari manapun”. Kajian Islam akan hidup dan sehat dengan segar-bugar justru jika sarjana Islam berani terus melakukan eksperimetasi kajian dengan memakai perlabagai ragam metodologi.
   Pada akhirnya kita dapat melihat secara umum pendapat dari dua kubu, dengan terlebih dahulu melihat akar historis perkembangan pembaruan dalam Islam. Sekali lagi tidak ada justifikasi dalam tulisan ini, akan tetapi lebih kepada melacak akar-akar pembaruan dalam Islam dan mendorong  pembaca untuk belajar agar bisa menjadi orang ketiga.
Maksudnya bukan seperti yang di ajarkan dalam ilmu bahasa saja. Tapi begini : sebagai orang pertama, kita berpikir, merancang, memberi komando. Sebagai orang kedua, kita penimbang, pembangkang, penolak sebaliknya bisa juga jadi pembenar, penyambut orang yang pertama. Dan orang yang ketiga – siapa dia? – dia sebagai pelaksana, sebagai orang lain yang kita lihat pada cermin. Nah, kita memposisikan diri kita sebagai orang ketiga yang dilihat oleh orang pertama dan orang kedua pada cermin itu. Dengan terlebih dahulu mengerti duduk persolannya.

Tim Penyusun Teks Book Dirasat Islamiyah, sejarah dan pembaruan Islam IAIN Sunan Ampel. Surabaya. Penerbit : CV Anika Bahagia. Hal.93



[1]  DR Syafiq A. Mughni. Hanbali Movement in Baghdad from Abu Muhammad al-Barbahari (w. 3921941) to Abu Ja'far al-Hashimt (w. 470/1077). Disertasi tidak diterbitkan. Los Angeles : University of California, 1990.
[2] Untuk kasus di Minangkabau, Tafiq Abdullah mencatat bahwa Tuanku dari Ulakan merupakan khalifa Tarekat Syatariyah dan menjadi sumber otoritas keagamaan saat itu. Hingga kemunculan gerakan Padri, mempertanyakan otoritas keagamaan ulama Ylakan adalah harab bagi para guru agama di Minangkabau. Lihat Taufiq abdullah, "Adat dan Islam : Telaah mengenai Konflik di Minangkabau, "Anwar Ibrahim et. al (ed): Reading On Islam in Southest Asia. diterjemahkan A Setiawan Abadi, Islam di Asia Tenggara. Prespektif Sejarah. Jakarta : LP3E5, hal. 194
[3] Deliar Noer, Perkembangan dan sifat Gerakan Modem Islam di Indonesia, dalam Anwar Ibrahim. hal. 249-253.
[4] Jalaluddin As-Suyuthi Jami As-Shaghir jilid ke-2 Beirut, Darul Fikri. Hal.282

</span>

1 komentar:

real_imtihan said...

Ulama, tidak dapat dipungkiri, merupakan salah satu alat melegitimasi rezim politik sebuah dinasti pada masa khilafah Sunni, begitu juga kekuatan politik para elite dimanfaatkan untuk menekan kelompok keagamaan yang tidak sefaham,

Kalimat ini sama dengan keadaan panggung politik di Indonesia saat ini bukan ust?

Post a Comment

 
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA...... TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA......TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA......TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA......TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA......TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA......TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA......