Monday, June 18, 2012

Etika dan Pendidikan




Oleh: M. Arfan Mu’ammar
Baru-baru ini perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia mengadakan seleksi penerimaan mahasiswa baru dengan melalui tes. Tes penerimaan ini bersifat akademis dan terkadang berlatar belakang ekonomi. Gejala ini sangatlah umum, artinya orientasi sistem pendidikan kita adalah intelektualistis. Ditingkat dasar dan menengah misalnya, penilaian kelulusan dilihat dari “ujian akhir nasional”, yang hanya mencakup tiga pelajaran: Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia dan Matematika.
Pelajaran tersebut, cenderung bersifat intelektualistis. Padahal belum tentu siswa yang memiliki intelektualitas baik memiliki moralitas dan mental yang baik pula. Lantas apa standar kelulusan moral dan mental itu? Oleh karena itu perlu dipertanyakan bagaimana kepribadian dan tingkah laku siswa dalam sistem pendidikan nasional dan masihkan sistem penilaiannya bersifat intelektualistis? <span class="fullpost">
Selama ini, penilaian kepribadian dan tingkah laku siswa hanya sebatas jam pelajaran disekolah. Padahal siswa berada disekolah tidak lebih dari sepuluh jam. Tidak heran jika diluar sekolah siswa-siswa berprilaku miring dan beraktifitas yang tidak produktif. Memang, prestasi Indonesia dalam kejuaran Fisika akhir-akhir ini sudah cukup menggembirakan. Akan tetapi di sisi lain, kenakalan remaja dan remaja berprestasi cukup menggelisakahkan. Kenyataan semacam ini seakan menghadapkan kita pada dua pilihan yaitu: pendidikan yang intelektualistis atau pendidikan moralistis. Namun, itu bukanlah pilihan yang kaku. Memilih yang pertama berarti mengorbankan yang kedua, memilih yang kedua berarti kehilangan yang pertama. Intelektualitas tidak menjamin accountabilitas atau hilangnya sikap-sikap mental korupsi, kolusi, nepotisme dan sebagainya. Di sisi lain, moralitas yang kaku bisa mengesampingkan intelektualitas.
           
Orientasi Pendidikan
Dunia pendidikan kita saat ini, hanya mengiginkan siswa-siswa yang cerdas, kreatif, kritis dan berprestasi secara akademik, tujuan pendidikan semacam ini dapat dilihat dalam pemikiran Ivan Illich dan Paulo Freire Misalnya (Lihat: Deschooling Society & The Pedagogy of the Oppressed). Padahal, tujuan pendidikan nasional adalah manusia Indonesia yang utuh, yaitu yang beriman dan bertakwa kepada tuhan YME, berbudi pekerti luhur dan seterusnya.
Orientasi pendidikan nasional tersebut terkadang mengalami pergeseran, khususnya ketika mencuatnya isu otonomi pendidikan. Disatu sisi otonomi pendidikan memberikan keleluasaan bagi sekolah untuk mengembangkan metode dan sistem pendidikan, tapi disisi lain improvisasi metode dan sistem itu tidak terkontrol.
Di tingkat dasar dan menengah misalnya, khususnya yang terletak di pedesaan, sekolah mewajibkan siswinya untuk memakai jilbab dan pakaian yang sopan, sedangkan sekolah yang berada diperkotaan umumnya, tidak memiliki penekanan pada aspek ini, tidak heran jika banyak ditemukan siswi yang tidak berjilbab dan berpakain kurang sopan. Disamping itu, tujuan pendidikan nasional belum sepenuhnya terimplementasikan dalam kurikulum yang dikembangkan saat ini, kurikulum tingkat satuan pendidikan rupanya lebih menekankan aspek kognitif siswa, dengan adanya pembelajaran kontekstual.
Jika pembelajaran kontekstual dapat disesuaikan dengan konteks lingkungan, maka akan berdampak positif bagi murid, khususnya pada pelajaran agama. Sayangya, pembelajaran kontekstual saat ini hanya sebatas pada pembelajaran eksakta dan belum sepenuhnya menyentuh pelajaran agama, karena minimnya pembelajaran agama dibanding pelajaran lain.
Pelajaran agama ditingkat dasar dan menengah negri memiliki porsi yang lebih sedikit dibanding pelajaran eksakta. Paling banter, siswa menerima pelajaran agama, sekali dalam seminggu, itupun hanya beberapa jam. Akibatnya banyak siswa lulusan tingkat menengah belum sepenuhnya dapat membaca dan memahami al-Qur’an. Pemberian porsi lebih pada pelajaran eksakta di tingkat dasar dan menengah, dapat ditangkap bahwa orientasi sistem pendidikan kita saat ini adalah intelektualistis.

Integrasi Etika dan Pendidikan
Di dalam Islam, ilmu mendahului iman, artinya intelektualitas harus disertai dengan moralitas. Jadi, percaya karena tahu, bukan percaya karena tidak tahu, sebagaimana yang dinyatakan Sayyed Hosein Nashr: Credo ut Intellegam: “saya percaya karena saya mengetahui”.
Berbeda dengan doktrin kristen yang mengajarkan kepercayaan walaupun doktrin tersebut tidak dapat dibuktikan, dengan istilah latinnya Credo qua Absordum: “saya percaya walaupun doktrin itu tidak dapat dipercaya”. Dengan demikian, ilmu atau aspek intelektualitas, tidak dapat dipisahkan dari iman atau aspek moralitas.
Moralitas atau etika dalam pandangan Islam sering disebut sebagai akhlak, Istilah akhlak (khuluk atau character) di ambil dari al-Qur’an, sedangkan contoh dari akhlak sendiri adalah sebagaimana yang di contohkan oleh Nabi Muhammad. and you (Muhammad) are on an exalted standard of character. Selain dari itu, istilah khuluk dalam khazanah Islam klasik di definisikan sebagai sebuah jiwa yang menentukan tindakan manusia the soul which determines human actions. Sedangkan moral dan akhlak dalam cakupan pendidikan, di definisikan oleh sebagaian cendikiawan muslim sebagai adab. Karena salah satu hal yang melekat dalam konsep pendidikan Islam adalah penanaman adab (the inculcation of adab).
Jadi, akhlak dan moral merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dalam pendidikan. Karenanya barang siapa yang bertambah ilmunya tetapi moralnya tidak bertambah, maka  dia semakin jauh dari Tuhannya Man Izdada Ilman Walam Yazdad Hudad, Lam Yazdad Minallahi Illa Bu’dan. Dengan demikian integrasi antara olah fikir dan olah dzikir menjadi semacam keniscayaan. Waallahu a’alam bi as-Showab




M. Arfan Mu’ammar
Staff Centre for Islamic and Occidental Studies
Darussalam Institute of Islamic Studies, Gontor










</span>

1 komentar:

Anonymous said...

Pendidikan etika dan budi pekerti seharusnya ditekankan kembali kepada siswa mengingat juga derasnya informasi saat ini yang dapat merubah prilaku yang negatif yang tidak sesuai lagi dengan moral bangsa kita, selain itu yang paling penting adalah untuk mencegah narkoba

Post a Comment

 
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA...... TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA......TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA......TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA......TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA......TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA......TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA......