Oleh: M.
Arfan Mu’ammar
Baru-baru
ini perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia mengadakan seleksi
penerimaan mahasiswa baru dengan melalui tes. Tes penerimaan ini bersifat
akademis dan terkadang berlatar belakang ekonomi. Gejala ini sangatlah umum,
artinya orientasi sistem pendidikan kita adalah intelektualistis. Ditingkat dasar
dan menengah misalnya, penilaian kelulusan dilihat dari “ujian akhir nasional”,
yang hanya mencakup tiga pelajaran: Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia dan
Matematika.
Pelajaran
tersebut, cenderung bersifat intelektualistis. Padahal belum tentu siswa yang
memiliki intelektualitas baik memiliki moralitas dan mental yang baik pula.
Lantas apa standar kelulusan moral dan mental itu? Oleh karena
itu perlu dipertanyakan bagaimana kepribadian dan tingkah laku siswa dalam
sistem pendidikan nasional dan masihkan sistem penilaiannya bersifat
intelektualistis? <span class="fullpost">
Selama ini,
penilaian kepribadian dan tingkah laku siswa hanya sebatas jam pelajaran
disekolah. Padahal siswa berada disekolah tidak lebih dari sepuluh jam. Tidak
heran jika diluar sekolah siswa-siswa berprilaku miring dan beraktifitas yang
tidak produktif. Memang,
prestasi Indonesia dalam kejuaran Fisika akhir-akhir ini sudah cukup
menggembirakan. Akan tetapi di sisi lain, kenakalan remaja dan remaja
berprestasi cukup menggelisakahkan. Kenyataan
semacam ini seakan menghadapkan kita pada dua pilihan yaitu: pendidikan yang
intelektualistis atau pendidikan moralistis. Namun, itu bukanlah pilihan yang
kaku. Memilih yang pertama berarti mengorbankan yang kedua, memilih yang kedua
berarti kehilangan yang pertama. Intelektualitas
tidak menjamin accountabilitas atau hilangnya sikap-sikap mental korupsi, kolusi,
nepotisme dan sebagainya. Di sisi lain, moralitas yang kaku bisa
mengesampingkan intelektualitas.
Orientasi
Pendidikan
Dunia pendidikan
kita saat ini, hanya mengiginkan siswa-siswa yang cerdas, kreatif, kritis dan
berprestasi secara akademik, tujuan pendidikan semacam ini dapat dilihat dalam
pemikiran Ivan Illich dan Paulo Freire Misalnya (Lihat: Deschooling Society
& The Pedagogy of the Oppressed). Padahal, tujuan pendidikan nasional
adalah manusia Indonesia yang utuh, yaitu yang beriman dan bertakwa kepada
tuhan YME, berbudi pekerti luhur dan seterusnya.
Orientasi
pendidikan nasional tersebut terkadang mengalami pergeseran, khususnya ketika
mencuatnya isu otonomi pendidikan. Disatu sisi otonomi pendidikan memberikan
keleluasaan bagi sekolah untuk mengembangkan metode dan sistem pendidikan, tapi
disisi lain improvisasi metode dan sistem itu tidak terkontrol.
Di tingkat
dasar dan menengah misalnya, khususnya yang terletak di pedesaan, sekolah
mewajibkan siswinya untuk memakai jilbab dan pakaian yang sopan, sedangkan
sekolah yang berada diperkotaan umumnya, tidak memiliki penekanan pada aspek
ini, tidak heran jika banyak ditemukan siswi yang tidak berjilbab dan berpakain
kurang sopan. Disamping itu, tujuan pendidikan
nasional belum sepenuhnya terimplementasikan dalam kurikulum yang dikembangkan
saat ini, kurikulum tingkat satuan pendidikan rupanya lebih menekankan aspek
kognitif siswa, dengan adanya pembelajaran kontekstual.
Jika pembelajaran kontekstual
dapat disesuaikan dengan konteks lingkungan, maka akan berdampak positif bagi
murid, khususnya pada pelajaran agama. Sayangya, pembelajaran kontekstual saat
ini hanya sebatas pada pembelajaran eksakta dan belum sepenuhnya menyentuh
pelajaran agama, karena minimnya pembelajaran agama dibanding pelajaran lain.
Pelajaran agama ditingkat dasar
dan menengah negri memiliki porsi yang lebih sedikit dibanding pelajaran
eksakta. Paling banter, siswa menerima pelajaran agama, sekali dalam seminggu,
itupun hanya beberapa jam. Akibatnya banyak siswa lulusan tingkat menengah
belum sepenuhnya dapat membaca dan memahami al-Qur’an. Pemberian porsi lebih pada
pelajaran eksakta di tingkat dasar dan menengah, dapat ditangkap bahwa orientasi
sistem pendidikan kita saat ini adalah intelektualistis.
Integrasi Etika dan Pendidikan
Di dalam
Islam, ilmu mendahului iman, artinya intelektualitas harus disertai dengan
moralitas. Jadi, percaya karena tahu, bukan percaya karena tidak tahu,
sebagaimana yang dinyatakan Sayyed Hosein Nashr: Credo ut Intellegam: “saya
percaya karena saya mengetahui”.
Berbeda
dengan doktrin kristen yang mengajarkan kepercayaan walaupun doktrin tersebut
tidak dapat dibuktikan, dengan istilah latinnya Credo qua Absordum: “saya
percaya walaupun doktrin itu tidak dapat dipercaya”. Dengan
demikian, ilmu atau aspek intelektualitas, tidak dapat dipisahkan dari iman
atau aspek moralitas.
Moralitas
atau etika dalam pandangan Islam sering disebut sebagai akhlak, Istilah akhlak (khuluk
atau character) di ambil dari al-Qur’an, sedangkan contoh dari akhlak
sendiri adalah sebagaimana yang di contohkan oleh Nabi Muhammad. and you (Muhammad) are on an exalted standard of character. Selain
dari itu, istilah khuluk dalam khazanah Islam klasik di definisikan
sebagai sebuah jiwa yang menentukan tindakan manusia the soul which determines human actions. Sedangkan moral dan akhlak dalam cakupan pendidikan, di
definisikan oleh sebagaian cendikiawan muslim sebagai adab. Karena salah satu hal yang
melekat dalam konsep pendidikan Islam adalah penanaman adab (the inculcation
of adab).
Jadi, akhlak
dan moral merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dalam pendidikan. Karenanya
barang siapa yang bertambah ilmunya tetapi moralnya tidak bertambah, maka dia semakin jauh dari Tuhannya Man Izdada
Ilman Walam Yazdad Hudad, Lam Yazdad Minallahi Illa Bu’dan. Dengan demikian
integrasi antara olah fikir dan olah dzikir menjadi semacam keniscayaan.
Waallahu a’alam bi as-Showab
M. Arfan Mu’ammar
Staff Centre for Islamic and Occidental Studies
Darussalam Institute of Islamic Studies, Gontor
</span>
1 komentar:
Pendidikan etika dan budi pekerti seharusnya ditekankan kembali kepada siswa mengingat juga derasnya informasi saat ini yang dapat merubah prilaku yang negatif yang tidak sesuai lagi dengan moral bangsa kita, selain itu yang paling penting adalah untuk mencegah narkoba
Post a Comment