Monday, June 18, 2012

Gagasan Ivan Illich Dalam Pendidikan




Oleh : M. Arfan Mu’ammar[1]
Pendidikan yang selama ini dianggap sebagai pahlawan dalam menegakkan kebenaran, pahlawan dalam membangun bangsa. Ternyata hanyalah sebuah topeng untuk mengelabui para konsumennya. Dengan segala semboyan atas nama pembangunan dan perkembangan anak didik, mereka para praktisi pendidikan mulai melebarkan sayapnya, terbukti dengan semakin menjamurnya persekolahan dimana-mana, dan sekolah, kini dianggap sebagai jalan hidup bagi manusia modern. Mereka yang tidak sekolah berarti mereka terbelakang. Padahal memperoleh ilmu pengetahuan tidak mesti melalui sekolah. Sehingga tidak heran jika model pendidikan seperti ini menuai kritikan dari berbagai kalangan, diantaranya adalah Ivan Illich. Gagasannya untuk menggulingkan sekolah dan menyadarkan masyarakat akan kebohongan ini, perlu kiranya diberi dukungan dari berbagai pihak. Walaupun beberapa gagasannya tersebut perlu juga kita telaah secara kritis dari sudut pandang Islam. Karena ternyata Ivan Illich seakan mengesampingkan etika dalam tujuan pendidikan, yang berakibat pada kebebasan tak terbelenggu dan liar. Sehingga muncul ungkapan “karena kebebasanlah siswa berpikir”. Disamping itu, penilaian Ivan Illich terhadap masyarakat hanya sampai pada sisi materialnya saja. Padahal di dalam Islam, materi bukanlah ukuran kebaikan seorang. <span class="fullpost">

Kata Kunci : Etika, kebebasan, demokrasi, persekolahan.

Pendahuluan
Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena dengan pendidikan manusia akan mengalami sebuah perubahan yaitu perubahan dari tidak tahu menjadi tahu. Dan lebih dari itu, dengan pendidikan manusia akan sangat tinggi derajatnya[2]. Dengan demikian, Pendidikan merupakan upaya mulia dalam rangka menghilangkan kebodohan dan memanusiakan manusia. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imanuel Kant bahwa manusia hanya dapat menjadi manusia karena pendidikan. “Man Can Become Man Through Education Only” [3].
Akan tetapi tujuan pendidikan tersebut, saat ini telah jauh dari harapan. Seperti yang terjadi di negara-negara berkembang, bahkan negara-negara maju sekalipun, semisal di Amerka Latin. Pendidikan hanya di jadikan sebagai komoditi yang di jajakan[4]. Sedangkan guru adalah subyek aktif, dan anak didik adalah obyek pasif yang penurut. Pendidikan akhirnya bersifat negatif di mana guru memberikan informasi yang harus ditelan, serta wajib diingat dan dihafalkan.
Kemampuan pendidikan seperti ini, akan mengurangi atau menghapus daya kreasi dan kemampuan kritis pada siswa. Matinya sebuah kreasi dan kreativitas anak didik tersebut, akan membuatnya lamban untuk berkembang. Sehingga membuat siswa hanya sebagai penakut, pasif, serta jauh dari pemikiran kritis.
Maka tidak heran, jika pendidikan semacam itu menuai banyak kritikan, sebut saja diantaranya adalah Ivan Illich. Walaupun masih banyak para pakar pendidikan lainnya yang jalan pikirannya berkaitan dengan kritik Ivan Illich seperti Paulo Freire[5], Carl Rogers[6], Abraham Maslow[7], B.F Skinner[8], Jerome Bruner[9], dan Malcom S. Knowles[10].
Akan tetapi, makalah ini hanya akan mencoba mengkaji secara kritis, sedikit pemikiran dan gagasan Ivan Illich dalam dunia pendidikan. Khususnya pendidikan yang berlangsung di Amerika Latin saat itu, dimana Ivan Illich hidup. 

Biografi Singkat Ivan Illich
Ivan Illich lahir di Wina sebuah kota yang menjadi ibu kota negara Austria pada tahun 1926, tidak diketahui tanggal lahirnya. Sejak kecil ia mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya, dan sejak kecil pula ia mendapatkan pelajaran dan didikan dari orang tuanya, ia termasuk anak yang cerdas.
Setelah lulus dari sekolah tingkat pertama, kemudian Ivan Illich melanjutkan pendidikannya di Universitas Gregoriana, Roma, Italia. Di universitas itu Ivan Illich belajar tentang teologi. Setelah mendapatkan gelar sarjananya di Universitas Gregoriana, Roma, Italia, kemudian ia memutuskan untuk sekolah lagi di Universitas Salzburg. Di Universitas tersebut ia mendapatkan gelar doktor di bidang ilmu sejarah, dan tidak lama kemudian ia diangkat atau ditahbiskan sebagai imam gereja katolik Roma.
Pada tahun 1951 ia telah mendarat di kota New York, Amerika Serikat. Karena waktu itu kota New York telah dipenuhi oleh imigran-imigran dari negara Irlandia dan Puerto Rico maka sehari-hariannya hidupnya ia habiskan dengan memberikan bimbingan baik bimbingan pendidikan maupun bimbingan keagamaan dan ia juga berkarya di tengah-tengah imigran tersebut.
Kemudian ia pergi ke Mexico, dan pada tahun 1956-1969 ia menjadi salah satu pendiri Centre For Intercultural Documentation (CIDOC) di Cuernavara, Mexico, dan sejak tahun 1964-1976 ia mendapatkan suatu penghormatan untuk memimpin seminar-seminar penelitian tentang Institusional Alternative In a Technological Society dengan memfokuskan studi-studi tentang Amerika Latin.
Komitmennya pada humanisme radikal menjadikan ia salah seorang hero bagi kaum katolik kiri. Akibatnya sepak terjangnya banyak tidak dimengerti oleh hirarki gereja dan lembaga-lembaga konvensional serta ide-ide yang berlaku tentang apa itu keutamaan sosial.
Sejak tahun 1981, Ivan Illich menjadi profesor tamu di Gottingen dan berlin di Jerman. Dan akhir tahun 1982 ia mengajar di Berkeley, California, Amerika Serikat. [11]
Ivan Illich yang dilahirkan di Wina pada tahun 1926 adalah tokoh pendidikan yang sangat kontroversial dengan ide-ide pembebasannya tentang persekolahan, sehingga dikelompokkan sebagai pemikir “humanis radikal”. Ia termasuk orang yang mempunyai kepribadian yang langka, kegembiraan yang besar, wawasan luas, dan daya cipta yang subur, seluruh pemikirannya didasarkan pada perhatiannya terhadap penyempurnaan manusia secara fisik, secara rohaniah, dan secara intelektual [12]. Dan Ivan Illich meninggal pada tanggal 2 Desember 2002.
Semasa hidupnya, ia sempat mengeluarkan karyanya dalam bentuk buku-buku ilmiah, diantara buku-buku yang sudah terbit di Indonesia adalah :
  1. Celebration of Awareness (diterbitkan oleh Ikon Teralitera pada tahun 2002 dengan judul Perayaan Kesadaran).
  2. Medical Nemesis (diterbitkan oleh Yayasan Obor Nasional pada tahun 1995 dengan judul Batas-batas Pengobatan).
  3. Deschooling Society (diterbitkan oleh Obor Nasional pada tahun 2000 dengan judul Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah).
  4. Vernacular Gender (diterbitkan oleh Pustaka Pelajar pada tahun 1998 dengan judul Matinya Gender).[13]

Sebelum beranjak ke pembahasan tentang gagasan-gagasan Ivan Illich dalam pendidikan, ada baiknya jika kita sedikit melihat kondisi obyektif pendidikan di Amerika Latin saat itu.

Kondisi Obyektif Pendidikan di Amerika Latin
Menurut Illich, pendidikan yang berlangsung di Amerika Latin saat itu tidak mampu menjawab bahkan menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh siswa. Sekolah hanya mendorong kepada pengasingan siswa dari hidup. Sekolah hanya memaksa semua anak untuk memanjat tangga pendidikan yang tidak berujung dan tidak meningkatkan mutu, melainkan hanya menguntungkan individu-individu yang sudah mengawali pemanjatan itu sejak dini. Pengajaran yang diwajibkan di sekolah membunuh kehendak banyak orang untuk belajar mandiri, pengetahuan dilakukan ibarat komoditi, dikemas-kemas dan dijajakan.[14]
Sehingga Sistem pendidikan yang ada waktu itu dapat diandaikan sebagai sebuah bank (banking concept of education) dimana pelajar diberi ilmu pengetahuan agar ia kelak dapat mendapatkan hasil dengan lipat ganda. Jadi, guru adalah subyek aktif, sedangkan anak didik adalah obyek pasif yang penurut. Pendidikan akhirnya bersifat negatif di mana guru memberikan informasi yang harus ditelan yang wajib diingat dan dihafalkan.[15]
Padahal, Amerika latin saat itu telah memutuskan untuk mengembangkan sekolah. Akan tetapi anehnya, ditiap-tiap sekolah itu juga di bangun benih-benih korupsi kelembagaan, dan ini semua atas nama pertumbuhan. Sebagaimana yang di ungkapkannya :

Latin America has decided to school itself into development. This decision results in the production of homemade inferiority. With every school that is built, another seed of institutional corruption is planted, and this is in the name of growth[16].

Penanaman benih-benih korupsi kelembagaan ini, secara tidak langsung telah terbangun di dalamnya sebuah jembatan sempit untuk menyeberangi jurang sosial yang semakin lebar, kesempatan untuk mendapatkan pendidikan hanya di peroleh bagi kalangan-kalangan elit, yang kaya semakin kaya dan pintar, sedang yang miskin semakin miskin dan bodoh. Hingga akhirnya, sekolahpun seakan acuh tak acuh terhadap orang yang gagal untuk menanggung kesalahan atas keterpinggirannya.[17]
Sistem pendidikan yang tergambar di atas, secara alami telah menciptakan sebuah kebiasaan-kebiasaan yang tidak diharapkan oleh pendidikan saat ini. Diantara Kebiasaan-kebiasaan yang berlangsung di sekolah waktu itu adalah:
1.      Guru mengajar, siswa diajar.
2.      Guru tahu segalanya, siswa tidak tahu segalanya.
3.      Guru berpikir, siswa dipikirkan.
4.      Guru bicara, siswa mendengarkan.
5.      Guru mengatur, siswa diatur.
6.      Guru memilih dan memaksakan pilihannya, siswa menuruti.
7.      Guru bertindak, siswa membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan guru.
8.      Guru memilih apa yang diajarkan, siswa menyesuaikan diri.
9.      Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dan wewenang profesionalismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan siswa-siswa.
10.  Guru adalah subyek proses belajar, siswa adalah obyeknya.[18]
Dari pemaparan di atas, sedikit kita akan bisa membuka mata, bagaimana potret pendidikan yang berlangsung di Amerika latin waktu Ivan Illich hidup. Dimana sekolah telah bergeser dari nilai-nilai keluhurannya, sekolah dijadikan ruang komoditi, pengetahuan dikemas-kemas dan dijajakan, sekolah dijadikan tempat dehumanisasi yaitu proses penurunan martabat manusia. Maka wajar jika kemudian Ivan Illich mengkritik habis-habisan model pendidikan yang dikembangkan di sekolah-sekolah yang terdapat di Amerika latin. Maka, menurutnya sekolah harus ditiadakan, dia yakin bahwa tujuan peniadaan sekolah dalam masyarakat akan menjamin siswa dapat memperoleh kebebasan dalam belajar.
Walaupun demikian, makalah ini tidak hanya melihat gagasan Illich dalam sudut pandang Islam, sehingga membuat kontruksi sepihak. Akan tetapi gagasan ini juga dilirik dari sudut pandang lain, yang memungkinkan gagasannya dapat dilihat secara lebih kritis lagi.

Tujuan Pendidikan
Untuk mencapai hal yang maksimal dan yang diinginkan dalam out put di dunia pendidikan, perlu rasanya untuk sejenak melihat dan merumuskan tujuan-tujuan dari pendidikan itu sendiri.
Menurut Illich sistem pendidikan yang baik dan membebaskan harus mempunyai 3 (tiga) tujuan, yaitu :
1.      Pendidikan harus memberi kesempatan kepada semua orang untuk bebas dan mudah memperoleh sumber belajar pada setiap saat.
2.      Pendidikan harus mengizinkan semua orang yang ingin memberikan pengetahuan mereka kepada orang lain dengan mudah, demikian pula bagi orang yang ingin mendapatkannya.
3.      Menjamin tersedianya masukan umum yang berkenaan dengan pendidikan.[19]
Dari tiga tujuan di atas dapat disimpulkan bahwa, tujuan pendidikan bagi Illich adalah terjaminnya kebebasan seseorang untuk memberikan Ilmu dan mendapatkan Ilmu. Karena memperoleh pendidikan dan Ilmu adalah hak dari setiap warga negara dimanapun.
Hak dan kewajiban dalam menuntut ilmu sebagaimana yang diharap Illich di atas, agaknya sejalan dengan islam, karena islam sendiri telah mewajibkan hambanya untuk menuntut ilmu Tholabul Ilmi Faridhotun ‘Ala Kulli Muslimin Wa Muslimatin (menuntut ilmu adalah kewajiban bagi seorang muslim laki-laki maupun perempuan)
Akan tetapi, Illich tidak mendifinisikan bahwa tujuan pendidikan sebenarnya adalah untuk membentuk “Good and Righteous Man” yaitu manusia yang bermoral, sebagaimana yang terdapat dalam Islam, bahwa tujuan pendidikan Islam pada hakekatnya adalah membentuk manusia yang berbudi pekerti luhur, yang selalu menjalankan Syari’ah dan hukum-hukum Islam. Sebagaimana yang di ungkapkan Al-Attas:

The aim of Muslim education is the creation of the “good and righteous man” who worships Allah in the true sense of the term, builds up the structure of his earthly life according to the sharia (Islamic law) and employs it to subserve his faith.[20]

Akhlak dan moral merupakan suatu hal yang tidak dapat kita pisahkan dalam pendidikan. Karenanya barang siapa yang bertambah ilmunya tetapi moralnya tidak bertambah, maka  dia semakin jauh dari Tuhannya Man Izdada Ilman Walam Yazdad Hudad, Lam Yazdad Minallahi Illa Bu’dan.
Istilah akhlak (khuluk atau character) di ambil dari al-Qur’an, sedangkan contoh dari akhlak sendiri adalah sebagaimana yang di contohkan oleh Nabi Muhammad. and you (Muhammad) are on an exalted standard of character [21]. Selain dari itu, istilah khuluk dalam khazanah islam klasik di definisikan sebagai sebuah jiwa yang menentukan tindakan manusia the soul which determines human actions[22].
Adapun Al- Farobi salah seorang cendikiawan islam klasik mendifinisikan khuluk sebagai sebuah jiwa, dimana seseorang mengerjakan kebaikan dan keadilan adalah menggambarkan sifat kebaikannya. Dan jika ia mengerjakan tindakan jahat dan buruk, itu menggambarkan sifat keburukannya. The states of the soul by which a man does good deeds and fair actions are the virtues, and those by which he does wicked deeds and ugly actions, are the vices[23].
Sedangkan Yahya ibnu ‘Adi (d.974) memberikan definisi yang mendekatinya, yaitu sebagai sebuah jiwa yang mendorong pada tindakan tanpa pikiran sebelumnya a state of the soul by which man performs his actions without thought or deliberation[24].
Definisi Yahya ini, di ikuti oleh beberpa cendikiawan muslim lainnya seperti Ibnu Miskawaih (d.1030). Demikian juga dengan cendikiawan muslim lainnya yang menulis tentang etika dalam islam, seperti al-Ghazali (d. 1111)[25], Fakhr al-Din al-Razi (d. 1209)[26], al-Tusi (d. 1274)[27], al­Dawwani (d. 1502)[28], dan yang lainnya.
  Adapun moral dan akhlak dalam cakupan pendidikan, di definisikan oleh sebagaian cendikiawan muslim sebagai adab. Karena salah satu hal yang melekat dalam konsep pendididkan islam adalah penanaman adab (inculcation of adab).

The fundamental element inherent in the concept of education in Islam is the inculcation of adab (ta’dib),[29] for it is adab in the all-inclusive sense al-Attas mean, as encompassing the spiritual and material life of a man that instils the quality of goodness that is sought after

            Sedangkan adab sendiri, oleh al-Attas di ibarat layaknya sebuah undangan untuk menghadiri jamuan spiritual inviting to a banquet. Karena itulah ilmu pengetahuan dalam islam sangat dimuliakan seperti halnya al-Qur’an, karena al-Qur’an merupakan sumber ilmu pengetahuan bagi islam. Maka dalam mencari dan menikmati ilmu pengetahuan yang dimuliakan itu, selayaknya didekati dengan perilaku yang sesuai dengan sifatnya yang mulia. Sebagaiman yang dijelaskan al-Attas :
           
                Kitab suci al-Qur’an adalah undangan Tuhan kepada manusia untuk menghadiri jamuan kerohanian, dan cara memperoleh ilmu pengetahuan yang sebenarnya tentang al-Qur’an itu adalah dengan menikmati makanan-makanan yang lezat yang tersedia dalam jamuan kerohanian tersebut. Artinya, karena kenikmatan makanan yang lezat dalam jamuan istimewa itu ditambah dengan kehadiran kawan yang agung dan pemurah, dan karena makanan tersebut dinikmati menurut cara-cara, sikap, dan etiket yang suci, maka hendaknya ilmu pengetahuan yang dimuliakan dan sekaligus dinikmati itu didekati dengan perilaku yang sesuai dengan sifatnya yang mulia[30].

                Dari pemaparan diatas telah jelas bagi kita, bahwa tujuan pendidikan pada hakekatnya adalah membentuk manusia yang bermoral dan ber akhlak. Bukan hanya membentuk kecerdasan dan kepintaran seorang siswa, atau juga tidak hanya mementingkan kebebasan dalam memperoleh dan memberikan pendidikan sebagaimana yang di definisikan Ivan Illich di atas. Sehingga berdampak pada kebebasan berfikir siswa yang tidak terbatas.

Kebebasan dalam Pendidikan
Erich From mengungkapkan bahwa pemikiran Ivan Illich yang terpenting adalah: membebasakan anggapan masyarakat dan membuka pintu untuk bisa membawa masyarakat keluar dari anggapannya yang sudah mapan. Sebagaimana yang diungkapkannya: 

The importance of his thoughts... lies in the fact that they have a liberating effect on the mind by showing new possibilities; they make the reader more alive because they open the door that leads out of the prison of routinized, sterile, preconceived notions[31].

Untuk lebih kongkritnya ide-ide pembebasan Ivan Illich dalam dunia pendidikan tertuju pada sasaran-sasaran sebagai berikut :
1.      Untuk membebaskan akses pada barang-barang dengan menghapus kontrol yang selama ini di pegang oleh orang atau lembaga atas nilai-nilai pendidikan mereka.
2.      Untuk membebaskan usaha membagikan keterampilan dengan menjamin kebebasan mengajar atau mempraktekkan ketrampilan itu menurut permintaan.
3.      Untuk membebaskan sumber-sumber daya yang kritis, dan kreatif yang dimiliki rakyat dengan mengembalikan kepada masing-masing orang, kemampuannya dalam mengumpulkan orang dan mengadakan pertemuan. Suatu kemampuan yang kini makin dimonopoli oleh lembaga-lembaga yang menganggap diri berbicara atas nama rakyat.
4.      Untuk membebaskan individu dari kewajiban menggantungkan harapan-harapan pada jasa-jasa yang diberikan oleh profesi mapan manapun seperti sekolah, dengan memberikan kesempatan belajar dari pengalaman teman sebayanya dan mempercayakannya kepada guru, pembimbing, penasehat yang dipilihnya sendiri. Upaya membebaskan masyarakat dari kecenderungan menganggap sekolah sebagai satu-satunya lembaga pendidikan mau tidak mau akan menghapus perbedaan ekonomi, pendidikan, dan politik yang menjadi tumpuan stabilitas tatanan dunia dan stabilitas banyak bangsa sekarang ini.[32]

Dari poin-poin di atas dapat kita simpulkan bahwa Illich mencoba membebaskan masyarakat dari anggapannya tentang sekolah sebagai sarana satu-satunya untuk memperoleh pendidikan. Ilmu pengetahuan bagi Illich, tidak hanya dapat diperoleh dari sekolah, akan tetapi dapat diperoleh dari luar sekolah seperti lingkungan sekitar dan alam. Pada akhirnya, seorang siswa hanya bisa menuruti apa yang telah dijajakan oleh sekolah berupa ilmu pengetahuan, tanpa harus tahu dari mana dan bagimana ilmu pengetahuan tersebut.
Bersikap menuruti apa kata orang lain tanpa didasari pengetahuan yang memadai, berarti telah menempatkan seseorang pada wilayah yang terbelenggu oleh batas-batas pikiran orang lain, yang memunculkan sikap hidup yang kurang atau bahkan tidak kreatif sama sekali. Sebagaimana yang disinyalir dalam al-Qur’an.

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya itu akan diminta pertanggung jawaban”. [33]

Ayat di atas dapat menjadi referensi, bahwa di dalam Islam, tidak dibenarkan adanya sikap menuruti tanpa disertai dengan argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Disamping itu, kebebasan bagi Illich adalah kebebasan individu dalam daya kreasi dan pemikiran kritis, “karena kebebasanlah siswa akan berpikir”. Dan kebebasan dalam dunia pendidikan adalah kebebasan untuk berbicara atau berargumen The arguments for academic freedom are the same as those for freedom of speech, and they rest on the same foundation[34].
Tampaknya kebebasan yang di lancarkan oleh Illich tidak memiliki batasan-batasan tertentu, maka disitulah pentingnya akhlak dalam pendidikan. Tanpa akhlak, pengetahuan kebebasan akan menjadi liar. Yang dimaksud kebebasan dalam konteks islam adalah kebebasan yang tanpa meninggalkan tradisi atau yang mempersoalkan masalah-masalah usul. Kebebasan dalam islam adalah kebebasan memilih yang baik dari yang tidak baik berdasarkan ilmu. Jika seseorang tidak mempunyai ilmu untuk membedakan yang baik dan buruk, ia tidak bebas memilih. Kebebasan seperti ini disebut ikhtiyar, artinya memilih yang khayr (baik). Jadi bebas dalam batas-batas pengetahuan islam yang dapat dipertanggung jawabkan[35].
Nampaknya kebebasan berfikir yang dimaksud Ivan Illich ini, agaknya sejalan dengan apa yang di utarakan oleh hakim Amerika O.W. Holmes yang menyatakan bahwa “kebebasan berfikir adalah perdagangan bebas dalam ide-ide (free trades in ideas)[36]”. Ini yang ia sebut sebagai Intellectual Freedom.
Akan tetapi Yang perlu dipertanyakan sekarang adalah : apakah kebebasan berfikir dan kebebasan berpendapat seperti yang dimaksud Illich diatas dapat diterima dalam batas-batas nilai keislaman?

Demokrasi Pendidikan
Menurut Illich, Sekolah merupakan sarana umum yang palsu, sekilas memang sekolah memberi kesan terbuka terhadap semua orang yang datang ke sekolah. Tetapi dalam kenyataannya sekolah hanya terbuka kepada mereka yang terus-menerus memperbarui surat kepercayaan mereka. Maka Sekolah di ibaratkan seperti jalan tol, bagi mereka yang mampu membayar biaya sekolah, maka mereka akan dengan leluasa masuk pada pendidikan di sekolah dan menikmatinya, tetapi bagi mereka yang tidak mampu membayar, maka mereka tidak ada kesempatan untuk memperoleh pendidikan di sekolah, ini diakibatkan karena mahalnya biaya pendidikan.[37]
Karena mahalnya biaya sekolah inilah, kemudian Ivan Illich berharap adanya sebuah demokrasi dalam memperoleh pendidikan, dimana pendidikan dapat dirasakan oleh semua kalangan, baik kaya ataupun miskin. Sejenak mari kita telaah anak-anak usia sekolah dasar yang tertampung dan dapat mengenyam pendidikan di beberapa negara.

Kesempatan belajar
Ratio Anak Usia Sekolah Dasar Yang Tertampung

Kawasan/Negara
Usia SD
Ratio Yang Diterima
Seluruhnya
Anak Wanita
AFRIKA
Algeria
Botswana
Burundi
Chad
Libya
Mali
Maroko
Togo
ASIA
Cambodya
India
Indonesia
Iran
Malasyia Barat
Thailand
AMERIKA LATIN
Bolivia
Equador
Guetamala
Honduras
Paraguay

6-12
7-13
6-12
6-11
6-11
7-15
6-10
6-11

6-11
6-12
7-12
6-11
6-11
7-12

6-11
6-11
7-12
7-12
7-12

70
77
29
31
90
18
54
13

84
56
72
60
88
81

88
94
61
89
102

54
80
18
14
54
12
36
9

89
40
Tt
44
85
Tt

73
91
55
88
99

Sumber : Combs, New Path to Learning (31-32)
Keterangan : tt = tidak tercatat
Perbedaan ratio di setiap negara tergantung pada perhitungan penduduk dinegara masing-masing.

Dari kolom di atas dapat kita lihat prosentase anak-anak usia sekolah yang dapat merasakan pendidikan. Dan sebagian besar dari mereka yang tertampung adalah masyarakat menengah ke atas[38].
Kenyataan ini tentu bertentangan dengan kebijakan pembangunan yang dianut oleh masing-masing negara berkembang bahwa pendidikan adalah hak dan kewajiban setiap warganegara. Kenyataan semacam ini juga diakibatkan karena pembiayaan yang sangat besar jumlahnya.
Akan tetapi, gagasan Illich ini seakan terjebak dalam “Determenisme ekonomi Marxisme”, yaitu menilai masyarakat hanya sampai pada sisi materialnya saja dan menganggap bahwa sejarah masyarakat berlangsung menurut keniscayaan hukum-hukum alam. Karena basis Ekonomi masyarakat menentukan superstruktur, maka perubahan pada basis itu berarti mengubah superstruktur[39].
Padahal demokratisasi pendidikan tidak hanya pada kesempatan memperoleh pendidikan, bahkan lebih dari pada itu, yakni yang menyangkut pada sistem pembelajaran, seperti halnya konsep Paulo Freire yaitu Problem Possing Education[40]. (pendidikan dengan pengajuan masalah). Karena selama ini gaya mengajar yang kita lihat di persekolahan adalah guru cenderung untuk memberi perintah kepada peserta didik dan memberikan rumus-rumus yang di anggap tepat dan dipandang cocok menurut guru. Guru memainkan peran otoriter. Peranan guru yang otoriter ini pada dasarnya merampas kebebasan peserta didik untuk mengembangkan cara berpikir kritis dan reflektif. Untuk menghindari gaya mengajar tersebut, maka Freire mengajukan gaya mengajar dengan menerapkan konsep tersebut.
Selain dari pada itu, untuk menciptakan pendidikan yang demokratis, tidak cukup sampai disitu, akan tetapi demokratisasi dalam sistem pembelajaran tersebut masih perlu di dukung dengan adanya demokratisasi dalam pengembangan kurikulum, yaitu demokratisasi dalam penyusunan, pengembangan dan implementasi kurikulum di sekolah[41], demokratisasi dalam proses pembelajaran sejak penyiapan program pembelajaran, sampai implementasi proses pembelajaran dalam kelas dengan memberikan perhatian pada aspirasi siswa serta pelibatan masyarakat dalam pengembangan kurikulum.
Dengan demikian, sebuah pendidikan dalam sebuah negara dapat di anggap demokratis jika mencakup tiga unsur tersebut. Adapun cakupan dari pendidikan demokratis tersebut dapat kita rumuskan :
1.      Tidak ada kelas-kelas dalam masyarakat, semua masyarakat berhak untuk mendapatkan pendidikan, dan pendidikan tidak harus didapat dari sekolah, tapi anak didik bisa medapatkannya dari lingkungan[42].
2.      Pelibatan siswa dalam proses pembelajaran, yang tidak sekadar membuat mereka aktif dalam proses pembelajarannya, tapi juga mereka diberi kesempatan dalam menentukan aktivitas belajar yang akan mereka lakukan, bersama-sama dengan guru mereka[43].
3.      Memperbesar partisipasi masyarakat dalam pendidikan, tidak sekadar dalam konteks retribusi uang sumbangan pendidikan, tapi justru dalam pembahasan dan kajian untuk mengidentifikasi berbagai permintaan stakeholder dan user sekolah tentang kompetensi siswa yang akan dihasilkannya[44].

Jadi bangunan pendidikan demokratis dapat di simpulkan menjadi : (1). Demokrasi dalam memperoleh pendidikan. (2) Demokrasi dalam sistem pembelajaran. dan (3). Demokrasi dalam pengembangan kurikulum.
Akan tetapi, demokrasi yang dimaksud disni bukanlah demokrasi dalam tataran politik, akan tetapi pendidikan yang bersemangat demokratis, adapun penjelasan tentang demokrasi dalam pendidikan dapat kita simak kutipan berikut :

In democracy what the public needs to know about teachers in the educational system is that they are competent. The competent teacher knows the subject he is teaching and how to communicate it to his pupils. The definition of competence does not shift with every wind of prejudice, religious, political, racial or economic[45].

Pada akhirnya dapat kita simpulkan, bahwa gagasan demokrasi Ivan Illich hanya dalam tataran demokrasi dalam memperoleh pendidikan, karena kondisi obyektif masyarakat Amerika Latin saat itu telah mengalami diskriminasi dalam memperoleh pendidikan.

Kurikulum Tersembunyi dan Alternatif Persekolahan
            Sekolah memiliki sebuah struktur, dimana struktur itu mengisyaratkan pesan bahwa individu tak bisa menyiapkan diri untuk hidup di masa dewasa dalam masyarakat tanpa melalui sekolah, apa yang tidak diajarkan di sekolah berarti kecil nilainya atau tak bernilai sedikitpun, dan apa yang dipelajari di luar sekolah tak layak diketahui. Ivan Illich menamakan struktur ini dengan Kurikulum Tersembunyi dalam persekolahan, karena ia menjadi kerangka kerja sistem di mana segala perubahan atas kurikulum dibuat.[46]. Dan harus dimengerti dengan jelas, bahwa kurikulum tersembunyi menerjemahkan “belajar dari kegiatan” menjadi sebuah komoditas – dimana sekolah memonopoli pasar.
            Kurikulum tersembunyi adalah ritual yang bisa dianggap sebagai inisiasi resmi anak sebelum masuk ke masyarakat modern, ditetapkan secara intstitusional dalam sekolah. Tujuan ritual ini adalah bersembunyi dari mata para pesertanya, dalam pertentangan antara mitos tentang masyarakat egaliter dengan kenyataan kesadaran-kelas yang diabsahkannya[47].
            Dari sinilah kemudian Ivan Illich mencoba untuk mendekonstuksi sekolah Disestablish School. Akan tetapi dekonstruksi yang dilkukan oleh Illich ini guna membangun sebuah Convival Intitution (alternatif persekolahan). Karena Illich menganggap bahwa sekolah saat itu tidak dapat lagi di andalkan untuk membentuk kualitas anak didik. Akan tetapi bagaimanakah bangunan dari alternatif persekolahan tersebut? Itulah yang perlu kita pertanyakan.
            Bangunan dari alternatif persekolahan tersebut, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ivan Illich adalah di bangun di atas style persekolahan yang sekarang. Sebagaimana yang ia tulis :

                Universal education through schooling is not feasible. It would be more feasible if it were attempted by means of alternative institution built on the style of present schools[48].

            Pendidikan Universal (alternatif persekolahan) yang dimaksud Illich tidaklah mustahil, dan itu akan menjadi mungkin jika alternatif persekolahan tersebut dibangun di atas model pendidikan sekarang. Akan tetapi muncul sebuah pertanyaan. Buat apa dia membangun gedung yang sama, setelah sebelumnya ia hancurkan?
            Inilah yang perlu kita telaah bersama, ada beberapa tokoh yang mengkritik gaya dekonstruksi Illich. Seperti John Abbott, yang mengetuai sebuah organisasi pendidikan 2000 di Uk, mengatakan :

The deschooled society is not a reality. in fact, during the modern age, the school increasingly established its position in society. However, that position has recently again been called into question. The school will probably not die away, but its role in the postmodern society will certain not be sames as in the late modern world[49]

            Gagasan Illich, bagi John adalah tidak akan menjadi kenyataan selama abad modern, dimana sekolah semakin menjamur dan banyak didirikan. Dan sekolah selamanya tidak akan pernah mati, akan tetapi sekolah merupakan jalan hidup bagi masyarakat post-modern.


Penutup
            Setelah mengkaji pemikiran Ivan Illich di atas, dapat kita simpulkan sebagai berikut :
Pertama : Tujuan pendidikan bagi Ivan Illich adalah kebebasan dalam berfikir, sehingga menimbulkan daya kreatifitas anak, akan tetapi sayangnya Ivan Illich tidak memberikan batasan-batasan kebebasan tersebut. Dan kebebasan ini sangat berbeda dengan kebebasan yang dimaksud dalam Islam. Disamping itu tujuan pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang ber-etika dan ber-akhlak serta berbudi pekerti luhur, dan Ivan Illich seakan mengesampingkan etika dalam pendidikan, padahal keduanya merupakan kesatuan yang tak dapat terpisahkan.
            Kedua : Gagasan pendidikan demokrasinya hanya terbatas pada demokrasi dalam memperoleh pendidikan, sedangkan pendidikan dalam suatu negara dapat dianggap demokratis jika memiliki tiga cakupan seperti yang di paparkan di atas.
Selain itu juga, gagasan pendidikan demokrasinya seakan terjebak oleh Determenisme ekonomi Marxisme, yang menilai manusia dari segi materialnya saja. Padahal didalam Islam, semua manusia sama di mata Allah, yang membedakan hanyalah takwanya.
            Ketiga : Gagasannya untuk mendekonstruksi persekolahan bagi sebagian kalangan adalah sebuah hal yang Utopis, karena semakin menjamurnya sekolah saat ini dan saat ini sekolah menjadi jalan hidup bagi masyarakt post-modern.
            Keempat : Gagasannya untuk membangun alternatif persekolahan agak sedikit kabur dalam hal konsep. Karena seakan-akan ia membangun bangunan yang sama setelah sebelumnya ia hancurkan.
Walaupun demikian, gagasan Ivan Illich untuk membebaskan masyarakat dari belenggu sekolah paling tidak bisa membuat masyarakat sadar, bahwa ilmu tidak hanya dapat diperoleh dari sekolah saja, dan sekolah bukanlah sarana satu-satunya dalam mencari ilmu pengetahuan.

Daftar Pustaka

Al-Attas, Syed Muhammad al-Naquib. Aims And Objectives of Islamic Education. (Jeddah: King Abdul Aziz University. 1979)
______________________________. Islam and Secularism (Kuala Lumpur: Art Printing Works Sdn. Bhd. 1993)
Al-Ghozali Ihya’ Ulumuddin, Masyadul Husaini, tt.
Conference Book, First World Conference on Muslim Education, (Jeddah-Mecca: King Abdul Aziz University, 1393 A.H – 1977 A.D)
Coombs, The World Educational Crisis : A System Analysis. 1963. Dalam Prof. Dr. Sudjana Pendidikan Luar Sekolah: wawasan, sejarah perkembangan, falsafah, teori pendukung dan asas (Bandung, Falah Production. 2001)
Dalin, Per and Val D. Rust. Toward Schooling for The Twenty-firs Century. (New York. British Library Cataloguing-in-Publication Data. 1996)
Paul Monroe (ed) Encyclopaedia of Psychology of Education (New Delhi 110002. India: Published By : Mrs. Rani Kapoor for Cosmos Publications Div.of Genesis Publishing PLt. Ltd. 24 –B, Ansari Road, Darya Ganji. 2002)
Freire, Paulo. The Pedagogy of The Oppressed. (New york: Herder and Herder. 1972)
__________. Politik Pendidikan. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999)
Hutchins, Robert M. The Meaning and Significance of Academic Freedom (From The Annals of The American Academy of Political and Social Science, XXX (July, 1955), 72-78. Copy right, 1955, The American Academy of Political and Social Science) In Locke. Gibson. Arm Toward Liberal Education (America. August 1966)
Illich, Ivan. Celebration of Awareness A Call for Institutional Revolution. (Patheon Books. 1969) terj. Indonesia oleh: Saut Pasaribu. Perayaan Kesadaran (Yogyakarta, Ikon Teralitera. 2002)
__________. Deschooling Society (Harmondsworth: Penguin. 116 pages. First published by Harper and Row 1971; now republished by Marion Boyars).
_________ Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah. (Jakarta: Obor Nasional  2000)
_________ dkk. Menggugat Pendidikan  (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999)
__________ Matinya Gender. (Yogyakarta. Pustaka Pelajar 1998)
Jamjoom, Ahmad Salah. Chairman, Follow-up Committee, First World Conference on Muslim Education. 1st, (Mecca, 1977)
Marx, K. and F. Engels. On Religion. Moscow. (Foreign Language Publishing House 1957)
Maslow, Abraham. Motivation and Personality. (New York. Harper and Row Publication. 1970) terj. Indonesia Oleh: Nurul Imam. Motivasi dan Kepribadian. (Bandung: Rosda Karya. Cet IV. 1993)
Muslih, Mohammad. Filsafat Ilmu. (Yogyakarta: Belukar. Cet II)
Omar, Mohd Nasir. Christian and Muslim Ethic – A Study of How to Attain Happiness as Reflected in The Works on Tahdhib al-Akhlaq By Yahya Ibnu Adi (d. 974) and Miskawaiyh (d. 10.30). (Kuala Lumpur. Dewan Bahasa dan Pustaka. 2003)
Rasyada, Dede. Paradigma Pendidikan Demokratis : Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaran Pendidikan. (Jakarta: Kencana. 2004)
Siddiqi, Mazheruddin. Modern Reformist Thought in The Muslim World (Pakistan, Islamic Research Institute, International Islamic University. 1982)
Sudjana. Pendidikan Luar Sekolah: wawasan, sejarah perkembangan, falsafah, teori pendukung dan asas. (Bandung, Falah Production. 2001)
Zarkasyi, Hamid Fahmi. Proyek Pembaharuan Pemikiran Islam Indonesia (kajian kritis dan dan evaluatif). Makalah disampaikan pada Wokshop bertajuk Evaluasi Pembaharuan Pemikiran Islam. Di Institut Studi Islam Darussalam ISID Gontor

Website
Bibliographical reference: Smith, M. K. (2001) 'Ivan Illich: deschooling, conviviality and the possibilities for informal education and lifelong learning', the encyclopedia of informal education, http://www.infed.org/thinkers/et-illic.htm. Last updated: June 13, 2006 
Fromm, Erich. in his introduction to Celebration of Awareness A call for institutional revolution, Harmondsworth Penguin. 156 pages. (First published by Harper and Row 1971; now republished by Marion Boyars). Lihat. http://www.infed.org/thinkers/et-illic.htm. Last updated: June 13, 2006
Illich, Ivan. Energy and Equity. London: Calder & Boyars, 1974. Created 95-06-11, last modified 95-06-11 by Ira Woodhead / Frank Keller. http://www.infed.org/thinkers/et-illic.htm.  Last updated: June 13, 2006.
________ Celebration of Awareness A Consitution for Cultural Revolution.. London: Calder & Boyas, 1971. Created 95-08-02, last modified 95-08-02 by Ira Woodhead / Frank Keller. Lihat. http://www.infed.org/thinkers/et-illic.htm.  Last updated: June 13, 2006.



[1] Penulis adalah salah satu pengkaji di Centre for Islamic and Occidental Studies di Institut Studi Islam Darussalam. Sekaligus menjadi Staff di tempat yang sama.
[2] Seperti yang tertulis dalam al-Qur’an, bahwa Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang menimba ilmu beberapa derajat. Lihat Q.S. al-Mujadilah 58 : 11.
[3] Paul Monroe (ed), Encyclopaedia of Psychology of Education .( New Delhi 110002. India, Published By : Mrs. Rani Kapoor for Cosmos Publications Div.of Genesis Publishing PLt. Ltd. 24 –B, Ansari Road, Darya Ganji. 2002) h.282.
[4] Dalam Istilah lain. The Banking Concept of Education. Lihat. Paulo Freire, Pedagogy of The Oppressed. (New York. Penguin Books. 1971).
[5] Paulo Freire, The Pedagogy of The Oppressed. (New york: Herder and Herder. 1972)
[6] Carl Rogers, On Becoming A Person. (Boston: Houghton Mifflin. 1972)
[7] Abraham Maslow, Motivation and Personality. (New York. 1970)
[8] B. F Skinner, The Technology of teaching. (New York: Appleton Century Croft. 1968)
[9] Jerome S Burner, Toward Teory of Instruction. .(Cambrige: Harvard University Press)
[10] Malcoms Knowles, The Adult Learner: A Neglected Species. (Huston: Gulf Publishing Co. 1973)
[11] Ivan Illich, Deschooling Society (Harmondsworth: Penguin. 116 pages. First published by Harper and Row 1971; now republished by Marion Boyars). Lihat Juga. Ivan Illich, Energy and Equity (London: Calder & Boyars, 1974. Created 95-06-11, last modified 95-06-11 by Ira Woodhead / Frank Keller. http://www.infed.org/thinkers/et-illic.htm. Last updated: June 13, 2006.
[12] Ivan Illich, Celebration of Awareness A Call for Institutional Revolution. (Patheon Books. 1969). terj. Indonesia oleh: Saut Pasaribu. Perayaan Kesadaran, (Yogyakarta: Ikon Teralitera. 2002) h. ix
[13] Ivan Illich, Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah (Jakarta: Obor Nasional  2000) h. 165.
[14] Ivan Illich dkk, Menggugat Pendidikan  (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999) h. 517.
[15] Paulo Freire, Politik Pendidikan. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999) h. x.
[16] Ivan Illich, Celebration of Awareness A Consitution for Cultural Revolution (London: Calder & Boyas, 1971. Created 95-08-02, last modified 95-08-02 by Ira Woodhead / Frank Keller. Lihat. http://www.infed.org/thinkers/et-illic.htm. Last updated: June 13, 2006.
[17] Ivan Illich, Celebration of Awareness :  A Consitution for Cultural Revolution (London: Calder & Boyas, 1971) terj. Indonesia Oleh : Saut Pasaribu, Perayaan Kesadaran (Yogyakarta: Ikon Teralitera. h. 126.
[18] Ibid. h. xi.
[19] Ivan Illich, Deschooling Society. Op. Cit. h. 78-79.
[20] Ahmad Salah Jamjoom, Chairman, Follow-up Committee, First World, Conference on Muslim Education. 1st, (Mecca, 1977)  In Foreword, Aims And Objectives of Islamic Education Syed Muhammad al-Naquib al-Attas (ed) (Jeddah: King Abdul Aziz University. 1979) h. V.
[21] AI-Qur'an, 68:4. See also .S-ura, 26:137.
[22] Dalam penggunaan istilah khuluq dalam literatur arab, Lihat, particularly, Ibn Manzw n.d., Lisan al-:4rab, 6 vols. (Cairo:Dar al-Ma'arif, II, h. 1244­1248. dan Jamil Saliba, al Mu jam al Falsafi , 2 vols. (Beirut: Dar al­Kitab al-Lubnani. I. 1971) h. 49.
[23] AI-Farabi, Fusul, p. 27. Compare also al-Farabi, al-Tanbih,h. 54-55.
[24] Yahya, Tahdhib; h. 8-9.
[25] Al-Ghazali, Ihya ulumuddin III, p. 68; Ihya' ET, 111, h. 56-57.
[26] Fakhr al-Din al-Razi, Akhlaq ET, h. 39-40.
[27] Al-Tusi, Akhlaq, h. 35-36.
[28] Al-Dawwani, Akhlaq, pp. 30-31, 38-39.
[29] Conference Book, First World Conference on Muslim Education (Jeddah-Mecca King Abdul Aziz University, 1393) A.H – 1977 A.D. Recommendations. h. 78,1:1.1. dalam  Pendahuluan Aims And Objectives of Islamic Education Syed Muhammad al-Naquib al-Attas (ed). (Jeddah: King Abdul Aziz University. 1979) h. 88-89.
                [30] Syed Muhammad Naquib al-Attas,  Islam and Secularism.  (Kuala Lumpur, Art Printing Works Sdn. Bhd. 1993) h. 149.
[31] Erich Fromm, dalam pendahuluan Celebration of Awareness A call for institutional revolution (Harmondsworth Penguin. 156 pages. First published by Harper and Row 1971. now republished by Marion Boyars). Lihat. http://www.infed.org/thinkers/et-illic.htm. Last updated: June 13, 2006
[32]  Ivan Illich, Deschooling Society. Op. Cit. h. 105.
[33]  Q.S. Al-Isra’ 17 : 36
[34] Mazheruddin Siddiqi, Modern Reformist Thought in The Muslim World. (Pakistan: Islamic Research Institute, International Islamic University. 1982) h. 72.
[35] Hamid Fahmi Zarkasyi, Proyek Pembaharuan Pemikiran Islam Indonesia (kajian kritis dan dan evaluatif). h. 30. Makalah disampaikan pada Wokshop bertajuk Evaluasi Pembaharuan Pemikiran Islam. Di Institut Studi Islam Darussalam ISID Gontor.
[36] Ibid. h. 30
[37] Ivan Illich, Deschooling Society. Op. Cit. h. 57.
[38]   Data ini dilaporkan oleh konfrensi internasional, yang ditulis oleh Coombs (1963) dengan judul The World Educational Crisis : A System Analysis. Dalam Prof. Dr. Sudjana, Pendidikan Luar Sekolah: wawasan, sejarah perkembangan, falsafah, teori pendukung dan asas. (Bandung: Falah Production. 2001) h. 101.
[39] Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu. Yogyakarta. Belukar. Cet II. h. 147.  Lihat juga K. Marx and F. Engels, On Religion. (Moscow. Foreign Language Publishing House 1957) h. 134
[40] Untuk lebih jelasnya tetang konsep tersebut Lihat. Paulo Freire, The Pedagogy of The Oppressed. (New york: Herder and Herder. 1972)
[41] Lihat Dede Rasyada, Paradigma Pendidikan Demokratis : Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaran Pendidikan (Jakarta: Kencana. 2004)
[42] Gagasan ini di ambil dari Ivan Illich, Deschooling Society Op. Cit.
[43] Gagasan ini di ambil dari konsep Paulo Freire tentang Problem Possing Education. Dalam The Pedagogy of The Oppressed. Op. Cit.
[44] Gagasan ini di ambil dari Beane and Apple, 1995: 7 dalam Dede Rasyada, Paradigma Pendidikan Demokratis. Op. Cit.
[45] Robert M Hutchins, The Meaning and Significance of Academic Freedom (From The Annals of The American Academy of Political and Social Science, XXX (July, 1955), h. 72-78. Copy right, 1955, The American Academy of Political and Social Science) In Locke. Gibson. Arm Toward Liberal Education America. August 1966. h. 73-74.
[46] Ivan Illich Dkk, Menggugat Pendidikan.  Menggugat Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1999) h. 519
[47] Ibid. h. 519
[48] Ivan Illich, Deschooling Society. Op. Cit. di pendahuluan.
[49] Per Dalin and Val D. Rust, Toward Schooling for The Twenty-firs Century (New York: British Library Cataloguing-in-Publication Data. 1996) h. 142-143 



</span>

0 komentar:

Post a Comment

 
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA...... TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA......TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA......TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA......TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA......TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA......TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA......