Oleh : M. Arfan Mu’ammar[1]
Pendidikan yang
selama ini dianggap sebagai pahlawan dalam menegakkan kebenaran, pahlawan dalam
membangun bangsa. Ternyata hanyalah sebuah topeng untuk mengelabui para
konsumennya. Dengan segala semboyan atas nama pembangunan dan perkembangan anak
didik, mereka para praktisi pendidikan mulai melebarkan sayapnya, terbukti dengan
semakin menjamurnya persekolahan dimana-mana, dan sekolah, kini dianggap
sebagai jalan hidup bagi manusia modern. Mereka yang tidak sekolah berarti
mereka terbelakang. Padahal memperoleh ilmu pengetahuan tidak mesti melalui
sekolah. Sehingga
tidak heran jika model pendidikan seperti ini menuai kritikan dari berbagai
kalangan, diantaranya adalah Ivan Illich. Gagasannya untuk menggulingkan
sekolah dan menyadarkan masyarakat akan kebohongan ini, perlu kiranya diberi
dukungan dari berbagai pihak. Walaupun beberapa gagasannya tersebut perlu juga kita
telaah secara kritis dari sudut pandang Islam. Karena ternyata Ivan Illich
seakan mengesampingkan etika dalam tujuan pendidikan, yang berakibat pada
kebebasan tak terbelenggu dan liar. Sehingga muncul ungkapan “karena
kebebasanlah siswa berpikir”. Disamping itu, penilaian Ivan Illich terhadap
masyarakat hanya sampai pada sisi materialnya saja. Padahal di dalam Islam,
materi bukanlah ukuran kebaikan seorang. <span class="fullpost">
Kata
Kunci : Etika,
kebebasan, demokrasi, persekolahan.
Pendahuluan
Pendidikan merupakan suatu hal
yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena dengan pendidikan manusia
akan mengalami sebuah perubahan yaitu perubahan dari tidak tahu menjadi tahu.
Dan lebih dari itu, dengan pendidikan manusia akan sangat tinggi derajatnya[2].
Dengan demikian, Pendidikan merupakan upaya mulia dalam rangka menghilangkan
kebodohan dan memanusiakan manusia. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imanuel
Kant bahwa manusia hanya dapat menjadi manusia karena pendidikan. “Man Can
Become Man Through Education Only” [3].
Akan tetapi tujuan pendidikan
tersebut, saat ini telah jauh dari harapan. Seperti yang terjadi di
negara-negara berkembang, bahkan negara-negara maju sekalipun, semisal di
Amerka Latin. Pendidikan hanya di jadikan sebagai komoditi yang di jajakan[4].
Sedangkan guru adalah subyek aktif, dan anak didik adalah obyek pasif yang
penurut. Pendidikan akhirnya bersifat negatif di mana guru memberikan informasi
yang harus ditelan, serta wajib diingat dan dihafalkan.
Kemampuan pendidikan seperti ini,
akan mengurangi atau menghapus daya kreasi dan kemampuan kritis pada siswa. Matinya
sebuah kreasi dan kreativitas anak didik tersebut, akan membuatnya lamban untuk
berkembang. Sehingga membuat siswa hanya sebagai penakut, pasif, serta jauh
dari pemikiran kritis.
Maka tidak heran, jika pendidikan
semacam itu menuai banyak kritikan, sebut saja diantaranya adalah Ivan Illich.
Walaupun masih banyak para pakar pendidikan lainnya yang jalan pikirannya
berkaitan dengan kritik Ivan Illich seperti Paulo Freire[5],
Carl Rogers[6],
Abraham Maslow[7],
B.F Skinner[8],
Jerome Bruner[9],
dan Malcom S. Knowles[10].
Akan tetapi, makalah ini hanya
akan mencoba mengkaji secara kritis, sedikit pemikiran dan gagasan Ivan Illich
dalam dunia pendidikan. Khususnya pendidikan yang berlangsung di Amerika Latin
saat itu, dimana Ivan Illich hidup.
Biografi
Singkat Ivan Illich
Ivan Illich lahir di Wina sebuah kota yang menjadi ibu kota negara Austria pada
tahun 1926, tidak diketahui tanggal lahirnya. Sejak kecil ia mendapatkan kasih
sayang dari kedua orang tuanya, dan sejak kecil pula ia mendapatkan pelajaran
dan didikan dari orang tuanya, ia termasuk anak yang cerdas.
Setelah lulus dari sekolah
tingkat pertama, kemudian Ivan Illich melanjutkan pendidikannya di Universitas
Gregoriana, Roma, Italia. Di universitas itu Ivan Illich belajar tentang
teologi. Setelah mendapatkan gelar sarjananya di Universitas Gregoriana, Roma,
Italia, kemudian ia memutuskan untuk sekolah lagi di Universitas Salzburg . Di Universitas
tersebut ia mendapatkan gelar doktor di bidang ilmu sejarah, dan tidak lama
kemudian ia diangkat atau ditahbiskan sebagai imam gereja katolik Roma.
Pada tahun 1951 ia telah mendarat
di kota New
York , Amerika Serikat. Karena waktu itu kota New York
telah dipenuhi oleh imigran-imigran dari negara Irlandia dan Puerto
Rico maka sehari-hariannya hidupnya ia habiskan dengan memberikan
bimbingan baik bimbingan pendidikan maupun bimbingan keagamaan dan ia juga
berkarya di tengah-tengah imigran tersebut.
Kemudian ia pergi ke Mexico, dan
pada tahun 1956-1969 ia menjadi salah satu pendiri Centre For Intercultural
Documentation (CIDOC) di Cuernavara, Mexico, dan sejak tahun 1964-1976 ia
mendapatkan suatu penghormatan untuk memimpin seminar-seminar penelitian
tentang Institusional Alternative In a Technological Society dengan memfokuskan
studi-studi tentang Amerika Latin.
Komitmennya pada humanisme
radikal menjadikan ia salah seorang hero bagi kaum katolik kiri. Akibatnya
sepak terjangnya banyak tidak dimengerti oleh hirarki gereja dan
lembaga-lembaga konvensional serta ide-ide yang berlaku tentang apa itu
keutamaan sosial.
Sejak tahun 1981, Ivan Illich
menjadi profesor tamu di Gottingen
dan berlin di Jerman. Dan akhir tahun 1982 ia mengajar di Berkeley , California ,
Amerika Serikat. [11]
Ivan Illich yang dilahirkan di
Wina pada tahun 1926 adalah tokoh pendidikan yang sangat kontroversial dengan
ide-ide pembebasannya tentang persekolahan, sehingga dikelompokkan sebagai
pemikir “humanis radikal”. Ia termasuk orang yang mempunyai kepribadian yang
langka, kegembiraan yang besar, wawasan luas, dan daya cipta yang subur, seluruh
pemikirannya didasarkan pada perhatiannya terhadap penyempurnaan manusia secara
fisik, secara rohaniah, dan secara intelektual [12].
Dan Ivan Illich meninggal pada tanggal 2 Desember 2002.
Semasa hidupnya, ia sempat
mengeluarkan karyanya dalam bentuk buku-buku ilmiah, diantara buku-buku yang
sudah terbit di Indonesia
adalah :
- Celebration
of Awareness (diterbitkan oleh Ikon Teralitera pada tahun 2002 dengan judul
Perayaan Kesadaran).
- Medical
Nemesis (diterbitkan oleh Yayasan Obor Nasional pada tahun 1995 dengan
judul Batas-batas Pengobatan).
- Deschooling
Society (diterbitkan oleh Obor Nasional pada tahun 2000 dengan judul
Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah).
- Vernacular
Gender (diterbitkan oleh Pustaka Pelajar pada tahun 1998 dengan judul
Matinya Gender).[13]
Sebelum beranjak ke pembahasan
tentang gagasan-gagasan Ivan Illich dalam pendidikan, ada baiknya jika kita
sedikit melihat kondisi obyektif pendidikan di Amerika Latin saat itu.
Kondisi Obyektif
Pendidikan di Amerika Latin
Menurut Illich, pendidikan yang
berlangsung di Amerika Latin saat itu tidak mampu menjawab bahkan menyelesaikan
persoalan yang dihadapi oleh siswa. Sekolah hanya mendorong kepada pengasingan
siswa dari hidup. Sekolah hanya memaksa semua anak untuk memanjat tangga
pendidikan yang tidak berujung dan tidak meningkatkan mutu, melainkan hanya
menguntungkan individu-individu yang sudah mengawali pemanjatan itu sejak dini.
Pengajaran yang diwajibkan di sekolah membunuh kehendak banyak orang untuk
belajar mandiri, pengetahuan dilakukan ibarat komoditi, dikemas-kemas dan
dijajakan.[14]
Sehingga Sistem pendidikan yang ada waktu itu
dapat diandaikan sebagai sebuah bank (banking concept of education) dimana
pelajar diberi ilmu pengetahuan agar ia kelak dapat mendapatkan hasil dengan
lipat ganda. Jadi, guru adalah subyek aktif, sedangkan anak didik adalah obyek
pasif yang penurut. Pendidikan akhirnya bersifat negatif di mana guru
memberikan informasi yang harus ditelan yang wajib diingat dan dihafalkan.[15]
Padahal,
Amerika latin saat itu telah memutuskan untuk mengembangkan sekolah. Akan tetapi
anehnya, ditiap-tiap sekolah itu juga di bangun benih-benih korupsi
kelembagaan, dan ini semua atas nama pertumbuhan. Sebagaimana yang di
ungkapkannya :
Penanaman benih-benih korupsi
kelembagaan ini, secara tidak langsung telah terbangun di dalamnya sebuah
jembatan sempit untuk menyeberangi jurang sosial yang semakin lebar, kesempatan
untuk mendapatkan pendidikan hanya di peroleh bagi kalangan-kalangan elit, yang
kaya semakin kaya dan pintar, sedang yang miskin semakin miskin dan bodoh. Hingga
akhirnya, sekolahpun seakan acuh tak acuh terhadap orang yang gagal untuk
menanggung kesalahan atas keterpinggirannya.[17]
Sistem pendidikan yang tergambar
di atas, secara alami telah menciptakan sebuah kebiasaan-kebiasaan yang tidak diharapkan
oleh pendidikan saat ini. Diantara Kebiasaan-kebiasaan yang berlangsung di
sekolah waktu itu adalah:
1.
Guru
mengajar, siswa diajar.
2.
Guru
tahu segalanya, siswa tidak tahu segalanya.
3.
Guru
berpikir, siswa dipikirkan.
4.
Guru
bicara, siswa mendengarkan.
5.
Guru
mengatur, siswa diatur.
6.
Guru
memilih dan memaksakan pilihannya, siswa menuruti.
7.
Guru
bertindak, siswa membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan guru.
8.
Guru
memilih apa yang diajarkan, siswa menyesuaikan diri.
9.
Guru
mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dan wewenang profesionalismenya, dan
mempertentangkannya dengan kebebasan siswa-siswa.
10.
Guru
adalah subyek proses belajar, siswa adalah obyeknya.[18]
Dari pemaparan di atas, sedikit
kita akan bisa membuka mata, bagaimana potret pendidikan yang berlangsung di
Amerika latin waktu Ivan Illich hidup. Dimana sekolah telah bergeser dari
nilai-nilai keluhurannya, sekolah dijadikan ruang komoditi, pengetahuan
dikemas-kemas dan dijajakan, sekolah dijadikan tempat dehumanisasi yaitu proses
penurunan martabat manusia. Maka wajar jika kemudian Ivan Illich mengkritik
habis-habisan model pendidikan yang dikembangkan di sekolah-sekolah yang
terdapat di Amerika latin. Maka, menurutnya sekolah harus ditiadakan, dia yakin
bahwa tujuan peniadaan sekolah dalam masyarakat akan menjamin siswa dapat
memperoleh kebebasan dalam belajar.
Walaupun demikian, makalah ini
tidak hanya melihat gagasan Illich dalam sudut pandang Islam, sehingga membuat
kontruksi sepihak. Akan tetapi gagasan ini juga dilirik dari sudut pandang
lain, yang memungkinkan gagasannya dapat dilihat secara lebih kritis lagi.
Tujuan
Pendidikan
Untuk mencapai hal yang maksimal
dan yang diinginkan dalam out put di dunia pendidikan, perlu rasanya untuk
sejenak melihat dan merumuskan tujuan-tujuan dari pendidikan itu sendiri.
Menurut Illich sistem pendidikan
yang baik dan membebaskan harus mempunyai 3 (tiga) tujuan, yaitu :
1. Pendidikan harus memberi
kesempatan kepada semua orang untuk bebas dan mudah memperoleh sumber belajar
pada setiap saat.
2. Pendidikan harus mengizinkan
semua orang yang ingin memberikan pengetahuan mereka kepada orang lain dengan
mudah, demikian pula bagi orang yang ingin mendapatkannya.
3. Menjamin tersedianya masukan umum
yang berkenaan dengan pendidikan.[19]
Dari tiga
tujuan di atas dapat disimpulkan bahwa, tujuan pendidikan bagi Illich adalah
terjaminnya kebebasan seseorang untuk memberikan Ilmu dan mendapatkan Ilmu. Karena
memperoleh pendidikan dan Ilmu adalah hak dari setiap warga negara dimanapun.
Hak dan
kewajiban dalam menuntut ilmu sebagaimana yang diharap Illich di atas, agaknya
sejalan dengan islam, karena islam sendiri telah mewajibkan hambanya untuk
menuntut ilmu Tholabul Ilmi Faridhotun ‘Ala Kulli Muslimin Wa Muslimatin (menuntut
ilmu adalah kewajiban bagi seorang muslim laki-laki maupun perempuan)
Akan tetapi,
Illich tidak mendifinisikan bahwa tujuan pendidikan sebenarnya adalah untuk
membentuk “Good and Righteous Man” yaitu manusia yang bermoral, sebagaimana
yang terdapat dalam Islam, bahwa tujuan pendidikan Islam pada hakekatnya adalah
membentuk manusia yang berbudi pekerti luhur, yang selalu menjalankan Syari’ah
dan hukum-hukum Islam. Sebagaimana yang di ungkapkan Al-Attas:
The aim of Muslim education is the creation of the “good and righteous man”
who worships Allah in the true sense of the term, builds up the structure of
his earthly life according to the sharia (Islamic law) and employs it to
subserve his faith.[20]
Akhlak dan
moral merupakan suatu hal yang tidak dapat kita pisahkan dalam pendidikan.
Karenanya barang siapa yang bertambah ilmunya tetapi moralnya tidak bertambah,
maka dia semakin jauh dari Tuhannya Man
Izdada Ilman Walam Yazdad Hudad, Lam Yazdad Minallahi Illa Bu’dan.
Istilah
akhlak (khuluk atau character) di ambil dari al-Qur’an, sedangkan contoh
dari akhlak sendiri adalah sebagaimana yang di contohkan oleh Nabi Muhammad. and you
(Muhammad) are on an exalted standard of character [21]. Selain
dari itu, istilah khuluk dalam khazanah islam klasik di definisikan sebagai
sebuah jiwa yang menentukan tindakan manusia the soul which
determines human actions[22].
Adapun Al-
Farobi salah seorang cendikiawan islam klasik mendifinisikan khuluk sebagai
sebuah jiwa, dimana seseorang mengerjakan kebaikan dan keadilan adalah
menggambarkan sifat kebaikannya. Dan jika ia mengerjakan tindakan jahat dan
buruk, itu menggambarkan sifat keburukannya. The states of the soul by which
a man does good deeds and fair actions are the virtues, and those by which he
does wicked deeds and ugly actions, are the vices[23].
Sedangkan Yahya ibnu ‘Adi (d.974) memberikan definisi
yang mendekatinya, yaitu sebagai sebuah jiwa yang mendorong pada tindakan tanpa
pikiran sebelumnya a state of the soul by which man performs his actions
without thought or deliberation[24].
Definisi Yahya ini, di ikuti oleh beberpa cendikiawan muslim
lainnya seperti Ibnu Miskawaih (d.1030). Demikian juga dengan cendikiawan
muslim lainnya yang menulis tentang etika dalam islam, seperti al-Ghazali (d.
1111)[25], Fakhr
al-Din al-Razi (d. 1209)[26],
al-Tusi (d. 1274)[27], alDawwani
(d. 1502)[28],
dan yang lainnya.
Adapun moral dan akhlak dalam cakupan pendidikan, di
definisikan oleh sebagaian cendikiawan muslim sebagai adab. Karena salah
satu hal yang melekat dalam konsep pendididkan islam adalah penanaman adab (inculcation
of adab).
The fundamental element inherent in the concept of education in Islam is
the inculcation of adab (ta’dib),[29] for it is adab in the all-inclusive sense al-Attas mean, as
encompassing the spiritual and material life of a man that instils the quality
of goodness that is sought after
Sedangkan adab sendiri, oleh al-Attas di ibarat
layaknya sebuah undangan untuk menghadiri jamuan spiritual inviting to a
banquet. Karena itulah ilmu pengetahuan dalam islam sangat dimuliakan
seperti halnya al-Qur’an, karena al-Qur’an merupakan sumber ilmu pengetahuan
bagi islam. Maka dalam mencari dan menikmati ilmu pengetahuan yang dimuliakan
itu, selayaknya didekati dengan perilaku yang sesuai dengan sifatnya yang
mulia. Sebagaiman yang dijelaskan al-Attas :
Kitab
suci al-Qur’an adalah undangan Tuhan kepada manusia untuk menghadiri jamuan
kerohanian, dan cara memperoleh ilmu pengetahuan yang sebenarnya tentang
al-Qur’an itu adalah dengan menikmati makanan-makanan yang lezat yang tersedia
dalam jamuan kerohanian tersebut. Artinya, karena kenikmatan makanan yang lezat
dalam jamuan istimewa itu ditambah dengan kehadiran kawan yang agung dan
pemurah, dan karena makanan tersebut dinikmati menurut cara-cara, sikap, dan
etiket yang suci, maka hendaknya ilmu pengetahuan yang dimuliakan dan sekaligus
dinikmati itu didekati dengan perilaku yang sesuai dengan sifatnya yang mulia[30].
Dari
pemaparan diatas telah jelas bagi kita, bahwa tujuan pendidikan pada hakekatnya
adalah membentuk manusia yang bermoral dan ber akhlak. Bukan hanya membentuk
kecerdasan dan kepintaran seorang siswa, atau juga tidak hanya mementingkan
kebebasan dalam memperoleh dan memberikan pendidikan sebagaimana yang di
definisikan Ivan Illich di atas. Sehingga berdampak pada kebebasan berfikir siswa
yang tidak terbatas.
Kebebasan
dalam Pendidikan
Erich From
mengungkapkan bahwa pemikiran Ivan Illich yang terpenting adalah: membebasakan
anggapan masyarakat dan membuka pintu untuk bisa membawa masyarakat keluar dari
anggapannya yang sudah mapan. Sebagaimana
yang diungkapkannya:
The
importance of his thoughts... lies in the fact that they have a liberating
effect on the mind by showing new possibilities; they make the reader more
alive because they open the door that leads out of the prison of routinized,
sterile, preconceived notions[31].
Untuk lebih kongkritnya ide-ide
pembebasan Ivan Illich dalam dunia pendidikan tertuju pada sasaran-sasaran
sebagai berikut :
1. Untuk membebaskan akses pada
barang-barang dengan menghapus kontrol yang selama ini di pegang oleh orang
atau lembaga atas nilai-nilai pendidikan mereka.
2. Untuk membebaskan usaha
membagikan keterampilan dengan menjamin kebebasan mengajar atau mempraktekkan
ketrampilan itu menurut permintaan.
3. Untuk membebaskan sumber-sumber
daya yang kritis, dan kreatif yang dimiliki rakyat dengan mengembalikan kepada
masing-masing orang, kemampuannya dalam mengumpulkan orang dan mengadakan
pertemuan. Suatu kemampuan yang kini makin dimonopoli oleh lembaga-lembaga yang
menganggap diri berbicara atas nama rakyat.
4. Untuk membebaskan individu dari
kewajiban menggantungkan harapan-harapan pada jasa-jasa yang diberikan oleh
profesi mapan manapun seperti sekolah, dengan memberikan kesempatan belajar
dari pengalaman teman sebayanya dan mempercayakannya kepada guru, pembimbing,
penasehat yang dipilihnya sendiri. Upaya membebaskan masyarakat dari
kecenderungan menganggap sekolah sebagai satu-satunya lembaga pendidikan mau
tidak mau akan menghapus perbedaan ekonomi, pendidikan, dan politik yang
menjadi tumpuan stabilitas tatanan dunia dan stabilitas banyak bangsa sekarang
ini.[32]
Dari poin-poin di atas dapat kita
simpulkan bahwa Illich mencoba membebaskan masyarakat dari anggapannya tentang
sekolah sebagai sarana satu-satunya untuk memperoleh pendidikan. Ilmu
pengetahuan bagi Illich, tidak hanya dapat diperoleh dari sekolah, akan tetapi
dapat diperoleh dari luar sekolah seperti lingkungan sekitar dan alam. Pada
akhirnya, seorang siswa hanya bisa menuruti apa yang telah dijajakan oleh
sekolah berupa ilmu pengetahuan, tanpa harus tahu dari mana dan bagimana ilmu
pengetahuan tersebut.
Bersikap menuruti apa kata orang
lain tanpa didasari pengetahuan yang memadai, berarti telah menempatkan
seseorang pada wilayah yang terbelenggu oleh batas-batas pikiran orang lain,
yang memunculkan sikap hidup yang kurang atau bahkan tidak kreatif sama sekali.
Sebagaimana yang disinyalir dalam al-Qur’an.
Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya itu akan diminta
pertanggung jawaban”.
[33]
Ayat di atas dapat menjadi
referensi, bahwa di dalam Islam, tidak dibenarkan adanya sikap menuruti tanpa
disertai dengan argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Disamping itu, kebebasan bagi
Illich adalah kebebasan individu dalam daya kreasi dan pemikiran kritis, “karena
kebebasanlah siswa akan berpikir”. Dan kebebasan dalam dunia pendidikan adalah
kebebasan untuk berbicara atau berargumen The arguments for academic freedom
are the same as those for freedom of speech, and they rest on the same
foundation[34].
Tampaknya kebebasan yang di
lancarkan oleh Illich tidak memiliki batasan-batasan tertentu, maka disitulah
pentingnya akhlak dalam pendidikan. Tanpa akhlak, pengetahuan kebebasan akan
menjadi liar. Yang dimaksud kebebasan dalam konteks islam adalah kebebasan yang
tanpa meninggalkan tradisi atau yang mempersoalkan masalah-masalah usul.
Kebebasan dalam islam adalah kebebasan memilih yang baik dari yang tidak baik
berdasarkan ilmu. Jika seseorang tidak mempunyai ilmu untuk membedakan yang
baik dan buruk, ia tidak bebas memilih. Kebebasan seperti ini disebut ikhtiyar,
artinya memilih yang khayr (baik). Jadi bebas dalam batas-batas
pengetahuan islam yang dapat dipertanggung jawabkan[35].
Nampaknya kebebasan berfikir yang
dimaksud Ivan Illich ini, agaknya sejalan dengan apa yang di utarakan oleh
hakim Amerika O.W. Holmes yang menyatakan bahwa “kebebasan berfikir adalah
perdagangan bebas dalam ide-ide (free trades in ideas)[36]”.
Ini yang ia sebut sebagai Intellectual Freedom.
Akan tetapi Yang perlu
dipertanyakan sekarang adalah : apakah kebebasan berfikir dan kebebasan
berpendapat seperti yang dimaksud Illich diatas dapat diterima dalam
batas-batas nilai keislaman?
Demokrasi
Pendidikan
Menurut Illich, Sekolah merupakan
sarana umum yang palsu, sekilas memang sekolah memberi kesan terbuka terhadap
semua orang yang datang ke sekolah. Tetapi dalam kenyataannya sekolah hanya
terbuka kepada mereka yang terus-menerus memperbarui surat kepercayaan mereka. Maka Sekolah di ibaratkan
seperti jalan tol, bagi mereka yang mampu membayar biaya sekolah, maka mereka
akan dengan leluasa masuk pada pendidikan di sekolah dan menikmatinya, tetapi
bagi mereka yang tidak mampu membayar, maka mereka tidak ada kesempatan untuk
memperoleh pendidikan di sekolah, ini diakibatkan karena mahalnya biaya
pendidikan.[37]
Karena mahalnya biaya sekolah
inilah, kemudian Ivan Illich berharap adanya sebuah demokrasi dalam memperoleh
pendidikan, dimana pendidikan dapat dirasakan oleh semua kalangan, baik kaya
ataupun miskin. Sejenak mari kita telaah anak-anak usia sekolah dasar yang
tertampung dan dapat mengenyam pendidikan di beberapa negara.
Kesempatan belajar
Ratio Anak Usia Sekolah Dasar
Yang Tertampung
Kawasan/Negara
|
|
Ratio Yang Diterima
|
|
Seluruhnya
|
Anak Wanita
|
||
AFRIKA
Maroko
Cambodya
Malasyia
Barat
AMERIKA
LATIN
Equador
Guetamala
|
6-12
7-13
6-12
6-11
6-11
7-15
6-10
6-11
6-11
6-12
7-12
6-11
6-11
7-12
6-11
6-11
7-12
7-12
7-12
|
70
77
29
31
90
18
54
13
84
56
72
60
88
81
88
94
61
89
102
|
54
80
18
14
54
12
36
9
89
40
Tt
44
85
Tt
73
91
55
88
99
|
Sumber :
Combs, New Path to Learning (31-32)
Keterangan
: tt = tidak tercatat
Perbedaan
ratio di setiap negara tergantung pada perhitungan penduduk dinegara masing-masing.
Dari kolom di atas dapat kita
lihat prosentase anak-anak usia sekolah yang dapat merasakan pendidikan. Dan
sebagian besar dari mereka yang tertampung adalah masyarakat menengah ke atas[38].
Kenyataan
ini tentu bertentangan dengan kebijakan pembangunan yang dianut oleh
masing-masing negara berkembang bahwa pendidikan adalah hak dan kewajiban
setiap warganegara. Kenyataan semacam ini juga diakibatkan karena pembiayaan
yang sangat besar jumlahnya.
Akan tetapi, gagasan Illich ini
seakan terjebak dalam “Determenisme ekonomi Marxisme”, yaitu menilai masyarakat
hanya sampai pada sisi materialnya saja dan menganggap bahwa sejarah masyarakat
berlangsung menurut keniscayaan hukum-hukum alam. Karena basis Ekonomi
masyarakat menentukan superstruktur, maka perubahan pada basis itu berarti
mengubah superstruktur[39].
Padahal demokratisasi pendidikan
tidak hanya pada kesempatan memperoleh pendidikan, bahkan lebih dari pada itu,
yakni yang menyangkut pada sistem pembelajaran, seperti halnya konsep Paulo
Freire yaitu Problem Possing Education[40].
(pendidikan dengan pengajuan masalah). Karena selama ini gaya mengajar yang kita lihat di persekolahan
adalah guru cenderung untuk memberi perintah kepada peserta didik dan
memberikan rumus-rumus yang di anggap tepat dan dipandang cocok menurut guru.
Guru memainkan peran otoriter. Peranan guru yang otoriter ini pada dasarnya
merampas kebebasan peserta didik untuk mengembangkan cara berpikir kritis dan
reflektif. Untuk menghindari gaya
mengajar tersebut, maka Freire mengajukan gaya mengajar dengan menerapkan konsep
tersebut.
Selain dari pada itu, untuk
menciptakan pendidikan yang demokratis, tidak cukup sampai disitu, akan tetapi
demokratisasi dalam sistem pembelajaran tersebut masih perlu di dukung dengan
adanya demokratisasi dalam pengembangan kurikulum, yaitu demokratisasi dalam
penyusunan, pengembangan dan implementasi kurikulum di sekolah[41],
demokratisasi dalam proses pembelajaran sejak penyiapan program pembelajaran,
sampai implementasi proses pembelajaran dalam kelas dengan memberikan perhatian
pada aspirasi siswa serta pelibatan masyarakat dalam pengembangan kurikulum.
Dengan demikian, sebuah
pendidikan dalam sebuah negara dapat di anggap demokratis jika mencakup tiga
unsur tersebut. Adapun cakupan dari pendidikan demokratis tersebut dapat kita
rumuskan :
1. Tidak ada kelas-kelas dalam
masyarakat, semua masyarakat berhak untuk mendapatkan pendidikan, dan
pendidikan tidak harus didapat dari sekolah, tapi anak didik bisa medapatkannya
dari lingkungan[42].
2. Pelibatan siswa dalam proses
pembelajaran, yang tidak sekadar membuat mereka aktif dalam proses
pembelajarannya, tapi juga mereka diberi kesempatan dalam menentukan aktivitas
belajar yang akan mereka lakukan, bersama-sama dengan guru mereka[43].
3. Memperbesar partisipasi
masyarakat dalam pendidikan, tidak sekadar dalam konteks retribusi uang
sumbangan pendidikan, tapi justru dalam pembahasan dan kajian untuk
mengidentifikasi berbagai permintaan stakeholder dan user sekolah
tentang kompetensi siswa yang akan dihasilkannya[44].
Jadi bangunan pendidikan
demokratis dapat di simpulkan menjadi : (1). Demokrasi dalam memperoleh
pendidikan. (2) Demokrasi dalam sistem pembelajaran. dan (3). Demokrasi dalam
pengembangan kurikulum.
Akan tetapi, demokrasi yang
dimaksud disni bukanlah demokrasi dalam tataran politik, akan tetapi pendidikan
yang bersemangat demokratis, adapun penjelasan tentang demokrasi dalam
pendidikan dapat kita simak kutipan berikut :
In
democracy what the public needs to know about teachers in the educational
system is that they are competent. The competent teacher knows the subject he
is teaching and how to communicate it to his pupils. The definition of
competence does not shift with every wind of prejudice, religious, political,
racial or economic[45].
Pada akhirnya dapat kita
simpulkan, bahwa gagasan demokrasi Ivan Illich hanya dalam tataran demokrasi
dalam memperoleh pendidikan, karena kondisi obyektif masyarakat Amerika Latin
saat itu telah mengalami diskriminasi dalam memperoleh pendidikan.
Kurikulum
Tersembunyi dan Alternatif Persekolahan
Sekolah
memiliki sebuah struktur, dimana struktur itu mengisyaratkan pesan bahwa
individu tak bisa menyiapkan diri untuk hidup di masa dewasa dalam masyarakat
tanpa melalui sekolah, apa yang tidak diajarkan di sekolah berarti kecil
nilainya atau tak bernilai sedikitpun, dan apa yang dipelajari di luar sekolah
tak layak diketahui. Ivan Illich menamakan struktur ini dengan Kurikulum
Tersembunyi dalam persekolahan, karena ia menjadi kerangka kerja sistem di
mana segala perubahan atas kurikulum dibuat.[46]. Dan harus dimengerti
dengan jelas, bahwa kurikulum tersembunyi menerjemahkan “belajar dari kegiatan”
menjadi sebuah komoditas – dimana sekolah memonopoli pasar.
Kurikulum tersembunyi adalah ritual yang bisa dianggap
sebagai inisiasi resmi anak sebelum masuk ke masyarakat modern, ditetapkan
secara intstitusional dalam sekolah. Tujuan ritual ini adalah bersembunyi dari
mata para pesertanya, dalam pertentangan antara mitos tentang masyarakat
egaliter dengan kenyataan kesadaran-kelas yang diabsahkannya[47].
Dari sinilah kemudian Ivan Illich mencoba untuk
mendekonstuksi sekolah Disestablish School. Akan tetapi dekonstruksi
yang dilkukan oleh Illich ini guna membangun sebuah Convival Intitution (alternatif
persekolahan). Karena Illich menganggap bahwa sekolah saat itu tidak dapat lagi
di andalkan untuk membentuk kualitas anak didik. Akan tetapi bagaimanakah
bangunan dari alternatif persekolahan tersebut? Itulah yang perlu kita
pertanyakan.
Bangunan dari alternatif persekolahan tersebut,
sebagaimana yang dijelaskan oleh Ivan Illich adalah di bangun di atas style
persekolahan yang sekarang. Sebagaimana yang ia tulis :
Universal
education through schooling is not feasible. It would be more feasible if it
were attempted by means of alternative institution built on the style of
present schools[48].
Pendidikan Universal (alternatif persekolahan) yang
dimaksud Illich tidaklah mustahil, dan itu akan menjadi mungkin jika alternatif
persekolahan tersebut dibangun di atas model pendidikan sekarang. Akan tetapi muncul
sebuah pertanyaan. Buat apa dia membangun gedung yang sama, setelah sebelumnya
ia hancurkan?
Inilah yang perlu kita telaah bersama, ada beberapa tokoh
yang mengkritik gaya dekonstruksi Illich. Seperti John Abbott, yang mengetuai
sebuah organisasi pendidikan 2000 di Uk, mengatakan :
The deschooled
society is not a reality. in fact, during the modern age, the school
increasingly established its position in society. However, that position has
recently again been called into question. The school will probably not die away,
but its role in the postmodern society will certain not be sames as in the late
modern world[49]
Gagasan Illich, bagi John adalah
tidak akan menjadi kenyataan selama abad modern, dimana sekolah semakin
menjamur dan banyak didirikan. Dan sekolah selamanya tidak akan pernah mati,
akan tetapi sekolah merupakan jalan hidup bagi masyarakat post-modern.
Penutup
Setelah mengkaji pemikiran Ivan
Illich di atas, dapat kita simpulkan sebagai berikut :
Pertama : Tujuan pendidikan bagi Ivan
Illich adalah kebebasan dalam berfikir, sehingga menimbulkan daya kreatifitas
anak, akan tetapi sayangnya Ivan Illich tidak memberikan batasan-batasan
kebebasan tersebut. Dan kebebasan ini sangat berbeda dengan kebebasan yang
dimaksud dalam Islam. Disamping itu tujuan pendidikan Islam adalah membentuk
manusia yang ber-etika dan ber-akhlak serta berbudi pekerti luhur, dan Ivan
Illich seakan mengesampingkan etika dalam pendidikan, padahal keduanya
merupakan kesatuan yang tak dapat terpisahkan.
Kedua : Gagasan pendidikan demokrasinya
hanya terbatas pada demokrasi dalam memperoleh pendidikan, sedangkan pendidikan
dalam suatu negara dapat dianggap demokratis jika memiliki tiga cakupan seperti
yang di paparkan di atas.
Selain itu juga, gagasan
pendidikan demokrasinya seakan terjebak oleh Determenisme ekonomi Marxisme,
yang menilai manusia dari segi materialnya saja. Padahal didalam Islam, semua
manusia sama di mata Allah, yang membedakan hanyalah takwanya.
Ketiga : Gagasannya untuk
mendekonstruksi persekolahan bagi sebagian kalangan adalah sebuah hal yang
Utopis, karena semakin menjamurnya sekolah saat ini dan saat ini sekolah
menjadi jalan hidup bagi masyarakt post-modern.
Keempat : Gagasannya untuk
membangun alternatif persekolahan agak sedikit kabur dalam hal konsep. Karena
seakan-akan ia membangun bangunan yang sama setelah sebelumnya ia hancurkan.
Walaupun demikian, gagasan Ivan
Illich untuk membebaskan masyarakat dari belenggu sekolah paling tidak bisa
membuat masyarakat sadar, bahwa ilmu tidak hanya dapat diperoleh dari sekolah
saja, dan sekolah bukanlah sarana satu-satunya dalam mencari ilmu pengetahuan.
Daftar
Pustaka
Al-Attas, Syed Muhammad al-Naquib. Aims And Objectives of Islamic
Education. (Jeddah: King Abdul Aziz University. 1979)
______________________________.
Islam and Secularism (Kuala Lumpur: Art Printing Works Sdn. Bhd. 1993)
Al-Ghozali Ihya’ Ulumuddin, Masyadul
Husaini, tt.
Conference Book, First World Conference on Muslim Education, (Jeddah-Mecca:
King Abdul Aziz University, 1393 A.H – 1977 A.D)
Coombs, The
World Educational Crisis : A System Analysis. 1963. Dalam Prof. Dr. Sudjana
Pendidikan Luar Sekolah: wawasan, sejarah perkembangan, falsafah, teori
pendukung dan asas (Bandung ,
Falah Production. 2001)
Dalin, Per and Val
D. Rust. Toward Schooling for The Twenty-firs Century. (New York . British
Library Cataloguing-in-Publication Data. 1996)
Paul Monroe (ed) Encyclopaedia
of Psychology of Education (New
Delhi 110002. India : Published By : Mrs. Rani
Kapoor for Cosmos Publications Div.of Genesis Publishing PLt. Ltd. 24 –B, Ansari Road , Darya
Ganji. 2002)
Freire, Paulo. The
Pedagogy of The Oppressed. (New york: Herder and Herder. 1972)
__________.
Politik Pendidikan. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999)
Hutchins, Robert
M. The Meaning and Significance of Academic Freedom (From The Annals of
The American Academy of Political and Social Science,
XXX (July, 1955), 72-78. Copy right, 1955, The American Academy of Political
and Social Science) In Locke. Gibson. Arm Toward Liberal Education (America . August
1966)
Illich,
Ivan. Celebration of Awareness A Call for Institutional Revolution. (Patheon
Books. 1969) terj. Indonesia
oleh: Saut Pasaribu. Perayaan Kesadaran (Yogyakarta ,
Ikon Teralitera. 2002)
__________. Deschooling
Society (Harmondsworth: Penguin. 116 pages. First published by Harper and
Row 1971; now republished by Marion Boyars).
_________
Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah. (Jakarta : Obor Nasional 2000)
_________ dkk. Menggugat
Pendidikan (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 1999)
__________ Matinya
Gender. (Yogyakarta . Pustaka Pelajar 1998)
Jamjoom, Ahmad Salah. Chairman, Follow-up Committee, First World Conference
on Muslim Education. 1st, (Mecca, 1977)
Marx,
K. and F. Engels. On Religion. Moscow .
(Foreign Language Publishing House 1957)
Maslow, Abraham.
Motivation and Personality. (New York . Harper and Row
Publication. 1970) terj. Indonesia
Oleh: Nurul Imam. Motivasi dan Kepribadian. (Bandung : Rosda Karya. Cet IV. 1993)
Muslih, Mohammad. Filsafat
Ilmu. (Yogyakarta : Belukar. Cet II)
Omar, Mohd
Nasir. Christian and Muslim Ethic – A Study of How to Attain Happiness as
Reflected in The Works on Tahdhib al-Akhlaq By Yahya Ibnu Adi (d. 974) and
Miskawaiyh (d. 10.30). (Kuala
Lumpur . Dewan Bahasa dan Pustaka. 2003)
Rasyada, Dede. Paradigma
Pendidikan Demokratis : Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaran
Pendidikan. (Jakarta :
Kencana. 2004)
Siddiqi,
Mazheruddin. Modern Reformist Thought in The Muslim World (Pakistan,
Islamic Research Institute, International Islamic University. 1982)
Sudjana. Pendidikan
Luar Sekolah: wawasan, sejarah perkembangan, falsafah, teori pendukung dan
asas. (Bandung ,
Falah Production. 2001)
Zarkasyi, Hamid
Fahmi. Proyek Pembaharuan Pemikiran Islam Indonesia (kajian kritis dan dan
evaluatif). Makalah disampaikan pada Wokshop bertajuk Evaluasi
Pembaharuan Pemikiran Islam. Di Institut Studi Islam Darussalam ISID Gontor
Website
Bibliographical
reference: Smith, M. K. (2001) 'Ivan Illich: deschooling, conviviality and the
possibilities for informal education and lifelong learning', the encyclopedia
of informal education, http://www.infed.org/thinkers/et-illic.htm.
Last updated: June 13, 2006
Fromm,
Erich. in his introduction to Celebration of Awareness A call for institutional
revolution, Harmondsworth Penguin. 156 pages. (First published by Harper and
Row 1971; now republished by Marion Boyars). Lihat. http://www.infed.org/thinkers/et-illic.htm.
Last updated: June 13, 2006
Illich,
Ivan. Energy and Equity. London :
Calder & Boyars, 1974. Created 95-06-11, last modified 95-06-11 by Ira
Woodhead / Frank Keller. http://www.infed.org/thinkers/et-illic.htm. Last updated: June 13, 2006 .
________
Celebration of Awareness A Consitution for Cultural Revolution.. London : Calder &
Boyas, 1971. Created 95-08-02, last modified 95-08-02 by Ira Woodhead / Frank
Keller. Lihat. http://www.infed.org/thinkers/et-illic.htm.
Last updated: June 13, 2006 .
[1] Penulis adalah salah satu
pengkaji di Centre for Islamic and Occidental Studies di Institut Studi Islam
Darussalam. Sekaligus menjadi Staff di tempat yang sama.
[2] Seperti yang tertulis dalam
al-Qur’an, bahwa Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan
orang-orang yang menimba ilmu beberapa derajat. Lihat Q.S. al-Mujadilah 58 :
11.
[3] Paul Monroe (ed), Encyclopaedia
of Psychology of Education .( New
Delhi 110002. India , Published By : Mrs. Rani
Kapoor for Cosmos Publications Div.of Genesis Publishing PLt. Ltd. 24 –B, Ansari Road , Darya
Ganji. 2002) h.282.
[4] Dalam Istilah lain. The
Banking Concept of Education. Lihat. Paulo Freire, Pedagogy of The
Oppressed. (New York .
Penguin Books. 1971).
[11] Ivan Illich, Deschooling
Society (Harmondsworth: Penguin. 116 pages. First published by Harper and
Row 1971; now republished by Marion Boyars). Lihat Juga. Ivan Illich, Energy
and Equity (London :
Calder & Boyars, 1974. Created 95-06-11, last modified 95-06-11 by Ira
Woodhead / Frank Keller. http://www.infed.org/thinkers/et-illic.htm. Last
updated: June 13, 2006 .
[12] Ivan Illich, Celebration of
Awareness A Call for Institutional Revolution. (Patheon Books. 1969). terj.
Indonesia
oleh: Saut Pasaribu. Perayaan Kesadaran, (Yogyakarta :
Ikon Teralitera. 2002) h.
ix
[13] Ivan Illich, Bebaskan
Masyarakat dari Belenggu Sekolah (Jakarta :
Obor Nasional 2000) h. 165.
[14] Ivan Illich dkk, Menggugat
Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999) h. 517.
[15] Paulo Freire, Politik
Pendidikan. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999) h. x.
[16] Ivan Illich, Celebration
of Awareness A Consitution for Cultural Revolution (London : Calder & Boyas, 1971. Created
95-08-02, last modified 95-08-02 by Ira Woodhead / Frank Keller. Lihat.
http://www.infed.org/thinkers/et-illic.htm. Last updated: June 13, 2006 .
[17] Ivan Illich, Celebration of
Awareness : A Consitution for Cultural
Revolution (London: Calder & Boyas, 1971) terj. Indonesia Oleh
: Saut Pasaribu, Perayaan Kesadaran (Yogyakarta :
Ikon Teralitera. h. 126.
[18] Ibid. h. xi.
[19] Ivan Illich, Deschooling
Society. Op. Cit. h. 78-79.
[20] Ahmad Salah
Jamjoom, Chairman, Follow-up Committee, First World, Conference on Muslim
Education. 1st, (Mecca, 1977) In
Foreword, Aims And Objectives of Islamic Education Syed Muhammad
al-Naquib al-Attas (ed) (Jeddah: King Abdul Aziz University. 1979) h. V.
[22] Dalam
penggunaan istilah khuluq dalam literatur arab, Lihat, particularly, Ibn
Manzw n.d., Lisan al-:4rab, 6
vols. (Cairo:Dar al-Ma'arif, II, h. 12441248.
dan Jamil Saliba, al Mu jam al Falsafi
, 2 vols. (Beirut: Dar alKitab al-Lubnani. I. 1971) h. 49.
[23] AI-Farabi, Fusul,
p. 27. Compare also al-Farabi, al-Tanbih,h.
54-55.
[24] Yahya, Tahdhib; h. 8-9.
[29] Conference
Book, First World Conference on Muslim Education (Jeddah-Mecca King
Abdul Aziz University, 1393) A.H – 1977 A.D. Recommendations. h. 78,1:1.1.
dalam Pendahuluan Aims And Objectives
of Islamic Education Syed Muhammad al-Naquib al-Attas (ed). (Jeddah: King
Abdul Aziz University. 1979) h. 88-89.
[31] Erich Fromm, dalam pendahuluan Celebration
of Awareness A call for institutional revolution (Harmondsworth Penguin.
156 pages. First published by Harper and Row 1971. now republished by Marion
Boyars). Lihat. http://www.infed.org/thinkers/et-illic.htm. Last updated: June 13, 2006
[32]
Ivan Illich, Deschooling Society. Op. Cit. h. 105.
[33]
Q.S. Al-Isra’ 17 : 36
[34] Mazheruddin Siddiqi, Modern
Reformist Thought in The Muslim World. (Pakistan: Islamic Research
Institute, International Islamic University. 1982) h. 72.
[35] Hamid Fahmi Zarkasyi, Proyek
Pembaharuan Pemikiran Islam Indonesia
(kajian kritis dan dan evaluatif). h. 30. Makalah disampaikan pada Wokshop
bertajuk Evaluasi Pembaharuan Pemikiran Islam. Di Institut Studi Islam
Darussalam ISID Gontor.
[36] Ibid. h. 30
[37] Ivan Illich, Deschooling
Society. Op. Cit. h. 57.
[38] Data
ini dilaporkan oleh konfrensi internasional, yang ditulis oleh Coombs (1963)
dengan judul The World Educational Crisis : A System Analysis. Dalam
Prof. Dr. Sudjana, Pendidikan Luar Sekolah: wawasan, sejarah perkembangan,
falsafah, teori pendukung dan asas. (Bandung :
Falah Production. 2001) h. 101.
[39] Mohammad Muslih, Filsafat
Ilmu. Yogyakarta . Belukar. Cet II. h. 147. Lihat juga K. Marx and F. Engels, On
Religion. (Moscow .
Foreign Language Publishing House 1957) h. 134
[40] Untuk lebih jelasnya tetang
konsep tersebut Lihat. Paulo Freire, The Pedagogy of The Oppressed. (New
york: Herder and Herder. 1972)
[41] Lihat Dede Rasyada, Paradigma
Pendidikan Demokratis : Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaran
Pendidikan (Jakarta :
Kencana. 2004)
[42] Gagasan ini di ambil dari Ivan
Illich, Deschooling Society Op. Cit.
[43] Gagasan ini di ambil dari konsep
Paulo Freire tentang Problem Possing Education. Dalam The Pedagogy of
The Oppressed. Op. Cit.
[44] Gagasan ini di ambil dari Beane
and Apple, 1995: 7 dalam Dede Rasyada, Paradigma Pendidikan Demokratis. Op.
Cit.
[45] Robert M Hutchins, The Meaning
and Significance of Academic Freedom (From The Annals of The American Academy of Political and Social Science,
XXX (July, 1955), h. 72-78. Copy right, 1955, The American Academy of Political
and Social Science) In Locke. Gibson. Arm Toward Liberal Education America . August
1966. h. 73-74.
[46] Ivan Illich Dkk, Menggugat
Pendidikan. Menggugat Pendidikan
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1999) h. 519
[47] Ibid. h. 519
[48] Ivan Illich, Deschooling
Society. Op. Cit. di pendahuluan.
[49] Per Dalin and Val D. Rust, Toward
Schooling for The Twenty-firs Century (New York: British Library
Cataloguing-in-Publication Data. 1996) h. 142-143
</span>
0 komentar:
Post a Comment