Oleh: M. Arfan Mu’ammar
Pendidikan
Islam dalam perkembangannya hingga saat ini telah mengalami beberapa pergeseran
paradigma dalam penentuan konsep dan tujuannya, sehingga membuat beberapa
pemikir pendidikan mencoba mengulang-ulang dan merumuskan kembali konsep dan
tujuan pendidikan Islam agar benar-benar sesuai dengan apa yang dimaksud dalam
al-Qur’an. Karena
sejatinya pendidikan Islam bukanlah sesuatu hal yang harus dan dapat disamakan
secara keseluruhan dengan konsep dan tujuan pendidikan yang ada di Barat saat
ini. Tulisan
ini mencoba untuk menelaah kembali konsep dan tujuan pendidikan Islam yang
difokuskan pada pemikiran Syed Mohammad Naquib al-Attas dan beberapa tokoh
lainnya, dengan harapan pendidikan Islam yang sudah terimplementasikan saat ini
tidak bertentangan dengan konsep dan tujuan pendidikan Islam yang ada dalam
al-Qur’an dan al-Hadith. <span class="fullpost">
Kata
Kunci: Adab,
Tarbiyah, Etika, Moral.
Pendahuluan
Pembicaraan mengenai bagaimana
mengentaskan pendidikan saat ini dari keterpurukannya terus saja dilakukan,
mulai peningkatan dana yang dialokasikan menjadi 20 persen adalah salah satu
dari usaha tersebut.
Akan tetapi sayangya, persepsi
mereka tentang pendidikan khususnya pendidikan Islam tampaknya mengalami
pergeseran pemahaman dalam konsepnya, sehingga mengakibatkan penerapan dari
konsep yang salah tersebut hingga saat ini tidak mengalami perbaikan.
Pergeseran pemahaman tersebut tidak
dapat kita lepaskan dari pengaruh faham Barat yang terus saja dipaksakan untuk
kita telan mentah-mentah dan harus kita ikuti kiblatnya. Terlihat dengan
munculnya pelajaran khusus yang membahas tentang “Perbandingan Pendidikan”
diberbagai negara.
Pelajaran tersebut tentunya dapat
kita tangkap sebagai usaha untuk mencari bentuk pendidikan yang ideal saat ini
dari negara-negara maju dan perkembang sekalipun.
Pendidikan di zaman keemasan Islam
pada masa Khulafa ar-Rrashidin, zaman keemasan Dinasti Abasiyah, Umayah dan
Dinasti Usmaniyah seakan terlupakan, sehingga mereka lebih sibuk membandingkan
model dan sistem pendidikan pada negara-negara maju di Barat saat ini.
Walaupun demikian, kita tidak
dapat begitu saja menafikan sistem dan pendidikan yang ada di Barat saat ini,
yang tentunya dalam melihat kesana harus kita landasi dengan konsep dan tujuan
pendidikan Islam yang sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadith.
Definisi
dan Konsep Pendidikan Islam
Sebelum pembahasan kita menjurus
tentang bagaimana konsep pendidikan Islam sejatinya, ada baiknya jika kita
telusuri beberapa element mendasar yang menyanggah pendidikan Islam tersebut,
sehingga nantinya dapat dikembangkan menjadi sebuah rumusan pendidikan Islam.
Adapun tiga element mendasar yang
terdapat dalam Pendidikan Islam adalah Process, Content and Recipient (Proses
– Isi – Penerima)[2].
Yang dimaksud dengan proses
adalah proses penanaman (process of instilling) yang kemudian
dirujuk pada metode dan sistem pembelajaran. Jadi jika ada pertanyaan “apakah
itu pendidikan?” maka jawabannya adalah “pendidikan adalah sebuah proses
penanaman sesuatu kepada manusia” (Education is a process of instilling
something into human beings).
Dari definisi pendidikan di atas,
selanjutnya menimbulkan sebuah pertanyaan: “apa yang akan ditanam?” (What is Instilled?). Dalam pendidikan Islam,
yang di tanam disini adalah adab, dengan demikian yang dimaksud dengan content
atau isi diatas adalah adab.
Setelah pertanyaan “apa yang
akan ditanam” sudah terjawab, ada satu pertanyaan lagi yang perlu dijawab
yaitu: “kepada siapa adab itu ditanamkan?”, dalam pengertian ini adalah penerima
atau recipient dari pendidikan tersebut, apakah balita, anak-anak,
remaja, orang dewasa atau orang lanjut usia. Dari sinilah kemudian muncul
beberapa disiplin ilmu seperti: psikologi anak, psikologi remaja, pedagogy,
andragogy dan lain-lain. Karena metode penyampaian isi atau content disesuaikan
dengan penerima isi atau content tersebut. Maka mendidik anak-anak
tidak sama dengan mendidik remaja,
mendidik remaja tidak sama dengan mendidik orang dewasa dan seterusnya.
Akan tetapi element yang
terpenting dari ketiga element mendasar yang terdapat dalam pendidikan Islam
tersebut adalah content atau isi. Dan isi yang dimaksud adalah adab,
sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi Muhammad “addabani robbi ahsana
ta’dibi”.
Hal tersebut sebagaimana yang
dipahami oleh al-Attas, al-Attas mengajukan definisinya tentang adab
sebagai berikut:
Adab adalah
pengenalan dan pengakuan terhadap realitas bahwasannya ilmu dan segala sesuatu
yang ada terdiri dari hirarki yang sesuai dengan kategori-kategori dan
tingkatan-tingkatannya, dan bahwa seseorang itu mempunyai tempatnya
masing-masing dalam kaitannya dengan realitas tersebut dan dengan kapasitas
serta potensi fisik, intelektual dan spiritualnya[3].
Kalau benar-benar difahami dan
dijelaskan dengan baik maka konsep ta’dib adalah konsep yang paling
tepat untuk pendidikan Islam, bukannya tarbiyah ataupun ta’lim sebagaimana
yang dipakai pada masa itu (awal Islam). Dia mengatakan: “Struktur konsep ta’dib
sudah mencakup unsur-unsur ilmu (‘ilm), instruksi (ta’lim),
dan pembinaan yang baik (tarbiyah), sehingga tidak perlu lagi dikatakan
bahwa konsep pendidikan Islam itu adalah sebagaimana yang terdapat dalam tiga
serangkai konotasi “tarbiyah – ta’lim – ta’dib”[4].
Al-Attas menolak peristilahan Tarbiyah
dan Ta’lim yang selama ini dianggap sebagai pengertian yang lengkap
tentang pendidikan dalam Islam, baik salah satu (tarbiyah atau ta’lim) atau
keduanya (ta’lim wattarbiyah). Sebab istilah tersebut menunjukkan ketidak
sesuaian makna (term tarbiyah is not quite precise nor yet a correct one
for connoting education in the Islamic sense)[5].
Dan istilah adab,
oleh al-Attas di ibarat layaknya sebuah undangan untuk menghadiri jamuan
spiritual inviting to a banquet. Karena itulah ilmu pengetahuan dalam Islam
sangat dimuliakan seperti halnya al-Qur’an, karena al-Qur’an merupakan sumber
ilmu pengetahuan dalam Islam. Maka dalam mencari dan menikmati ilmu pengetahuan
yang dimuliakan itu, selayaknya didekati dengan perilaku yang sesuai dengan sifatnya
yang mulia. Sebagaimana yang dijelaskan al-Attas :
Kitab
suci al-Qur’an adalah undangan Tuhan kepada manusia untuk menghadiri jamuan
kerohanian, dan cara memperoleh ilmu pengetahuan yang sebenarnya tentang
al-Qur’an itu adalah dengan menikmati makanan-makanan yang lezat yang tersedia
dalam jamuan kerohanian tersebut. Artinya, karena kenikmatan makanan yang lezat
dalam jamuan istimewa itu ditambah dengan kehadiran kawan yang agung dan
pemurah, dan karena makanan tersebut dinikmati menurut cara-cara, sikap, dan
etiket yang suci, maka hendaknya ilmu pengetahuan yang dimuliakan dan sekaligus
dinikmati itu didekati dengan perilaku yang sesuai dengan sifatnya yang mulia[6].
Adapun istilah
Tarbiyah dalam pandangan al-Attas lebih menyinggung aspek fisikal dalam
mengembangkan tanaman-tanaman, dan hanya terbatas pada aspek fisikal dan
emosional dalam pertumbuhan dan perkembangan binatang dan manusia[7]. Oleh sebab itu Tarbiyah
hanya berkaitan dengan pengembangan fisikal dan emosional daripada manusia.
Tujuan Pendidikan
Islam
Tujuan
pendidikan Islam pada hakekatnya adalah membentuk manusia yang berbudi pekerti
luhur, yang selalu menjalankan Syari’ah dan hukum-hukum Islam. Sebagaimana yang
di ungkapkan Al-Attas:
The aim of Muslim education is the creation of the “good and righteous man”
who worships Allah in the true sense of the term, builds up the structure of
his earthly life according to the sharia (Islamic law) and employs it to
subserve his faith.[8]
Nampaknya
pemikiran al-Attas diatas senada dengan apa yang diungkapkan Al-Ghozali dalam Ihyau
Ulumuddin. Adapun unsur-unsur pembentukan tujuan pendidikan dari al-Ghozali
dapat dilihat dalam pernyataannya berikut ini:
“Sesungguhnya
hasil ilmu itu ialah mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan semesta alam,
menghubungkan diri dengan ketinggian malaikat dan berhampiran dengan malaikat
tinggi….”[9]
“……Dan
ini sesungguhnya adalah dengan ilmu yang berkembang melalui pengajaran dan
bukan ilmu yang beku yang tidak berkembang”[10]
Demikianlah tujuan pendidikan
menurut al-Ghazali, yaitu sebagai sarana pendekatan kita kepada Allah, tujuan
menuntut ilmu adalah semakin dekatnya penuntut ilmu itu kepada Allah, bukan
malah semakin jauh dengan sang pencipta, seperti yang terjadi di Barat.
Jangankan semakin dekat, mempercayai keberadaannyapun tidak, inilah yang
menjadi problem.
Akhlak dan
moral merupakan suatu hal yang tidak dapat kita pisahkan dalam pendidikan.
Karenanya barang siapa yang bertambah ilmunya tetapi moralnya tidak bertambah,
maka dia semakin jauh dari Tuhannya Man
Izdada Ilman Walam Yazdad Hudad, Lam Yazdad Minallahi Illa Bu’dan.
Istilah
akhlak (khuluk atau character) di ambil dari al-Qur’an, sedangkan contoh
dari akhlak sendiri adalah sebagaimana yang di contohkan oleh Nabi Muhammad. and you
(Muhammad) are on an exalted standard of character [11]. Selain
dari itu, istilah khuluk dalam khazanah Islam klasik di definisikan
sebagai sebuah jiwa yang menentukan tindakan manusia the soul which
determines human actions[12].
Adapun Al-
Farobi salah seorang cendikiawan Islam klasik mendifinisikan khuluk sebagai
sebuah jiwa, dimana seseorang mengerjakan kebaikan dan keadilan adalah
menggambarkan sifat kebaikannya. Dan jika ia mengerjakan tindakan jahat dan
buruk, itu menggambarkan sifat keburukannya. The states of the soul by which
a man does good deeds and fair actions are the virtues, and those by which he
does wicked deeds and ugly actions, are the vices[13].
Sedangkan Yahya ibnu ‘Adi (d.974) memberikan definisi
yang mendekatinya, yaitu sebagai sebuah jiwa yang mendorong pada tindakan tanpa
pikiran sebelumnya a state of the soul by which man performs his actions
without thought or deliberation[14].
Definisi Yahya ini, di ikuti oleh beberpa cendikiawan
muslim lainnya seperti Ibnu Miskawaih (d.1030). Demikian juga dengan
cendikiawan muslim lainnya yang menulis tentang etika dalam islam, seperti
al-Ghazali (d. 1111)[15], Fakhr
al-Din al-Razi (d. 1209)[16],
al-Tusi (d. 1274)[17], alDawwani
(d. 1502)[18],
dan yang lainnya.
Adapun moral dan akhlak dalam cakupan pendidikan, di
definisikan oleh sebagaian cendikiawan muslim sebagai adab. Karena salah
satu hal yang melekat dalam konsep pendididkan Islam adalah penanaman adab (inculcation
of adab).
The fundamental element inherent in the concept of education in Islam is
the inculcation of adab (ta’dib),[19] for it is adab in the all-inclusive sense al-Attas mean, as
encompassing the spiritual and material life of a man that instils the quality
of goodness that is sought after
Akan tetapi, sebagaian besar pemikir
pendidikan Barat selalu mengesampingkan etika dalam tujuan pendidikannya,
walaupun ada beberapa dari sarjana Barat yang memiliki tujuan sama dengan
Pendidikan Islam, yaitu membentuk manusia yang bermoral, akan tetapi sayangnya
definisi moral dan etika di Barat dan Islam berbenturan.
Maka dari itu, dibawah ini
penulis menyelipkan sedikit definisi dan pendangan Barat dan Islam tentang
Etika.
Beberapa
Aspek Etika di Barat dan Islam
Tampaknya
yang menjadi salah satu problematika dalam penerapan pendidikan Islam diatas
adalah adanya pergeseran faham etika dalam kalangan umat muslim.
Mereka cenderung lebih memaknai etika sebagaimana yang
difahami oleh Barat. Maka dari itu pada sub ini, penulis akan sedikit mencoba
menelusuri bagaimana gagasan etika Barat dan Islam, sehingga diharapkan tujuan
dari penerapan pendidikan Islam bisa terwujud sesuai dengan apa yang di anjurkan
dalam al-Qur’an.
Perkataan
“moral” berasal dari bahasa latin “mores” kata jama’ dari “mos” yang berarti:
adat kebiasaan. Dalam bahasa Indonesia, moral diterjemahkan dengan arti susila.
Sedangkan yang dimaksud dengan moral ialah sesuai dengan ide-ide yang umum
diterima tentang tindakan manusia, mana yang baik dan wajar. jadi sesuai dengan
ukuran-ukuran tindakan yang oleh umum diterima yang meliputi kesatuan sosial
atau lingkungan tertentu[20]. jadi suatu perbuatan
seseorang disuatu negara baik, belum tentu perlakuan tersebut dinegara lain
dianggap baik, disinilah moral bagi Barat tidak universal.
Adapun perbedaan antara moral dengan etika adalah etika
lebih banyak bersifat teori, sedangkan moral lebih banyak bersifat praktis[21].
Menurut pandangan ahli-ahli filsafat, etika memandang
laku perbuatan manusia secara universal (umum), sedangkan moral secara lokal. Moral
menyatakan ukuran, sedangkan etika menjelaskan ukuran itu.
Pengarang Abul A’la Maududi mengemukakan adanya moral
Islam dalam bukunya: Ethical Viewpoint of Islam dan memberikan garis
tegas antara moral sekuler dan moral Islam. moral sekuler bersumber dari
pikiran dan prasangka manusia yang beraneka ragam. sedangkan moral Islam
bersandar kepada bimbingan dan petunjuk
Allah dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Dalam bahasa Indonesia, selain menerima perkataan akhlaq,
etika dan moral yang masing-masing berasal dari bahasa Arab, Yunani dan Latin,
juga dipergunakan beberapa perkataan yang makna dan tujuannya sama atau hampir
sama dengan perkataan akhlaq, ialah:
susila, kesusilaan, tata susila, budi pekerti, kesopanan, sopan santun, adab,
perangai, tingkah laku, perilaku dan kelakukan[22].
Cakupan
Etika Islam:
Adapun
cakupan dari etika dalam Islam adalah sebagai berikut:
a)
Etika Islam mengajarkan dan menuntun manusia kepada
tingkah laku yang baik dan menjauhkan diri dari tingkah laku yang buruk.
b)
Etika Islam menetapkan bahwa yang menjadi sumber moral,
ukuran baik buruknya perbuatan, didasarkan kepada ajaran Allah swt. (al-Qur’an)
dan ajaran Rasul-Nya (Sunnah).
c)
Etika Islam bersifat universal dan komprehensif, dapat
diterima oleh seluruh ummat manusia di segala waktu dan tempat
d)
Dengan ajaran-ajarannya yang praktis dan tepat, cocok
dengan fithrah (naluri) dan akal pikiran manusia (manusiawi), maka etika Islam
dapat dijadikan pedoman oleh seluruh manusia
e)
Etika Islam mengatur dan mengarahkan fithrah manusia ke
jenjang akhlaq yang luhur dan meluruskan perbuatan manusia di bawah pancaran
sinar petunjuk Allah swt. menuju keridlaan-Nya. dengan melaksanakan etika Islam
niscaya akan selamatlah manusia dari pikiran-pikiran dan perbuatan yang keliru
dan menyesatkan[23].
Berbeda dengan etika dalam
pandangan Barat, Barat beranggapan bahwa Setiap seni, ilmu terapan, penelitian
sitematis, dan tindakan serta pilihan tampaknya bertujuan baik. Yang baik oleh
karenanya didefinisikan dengan tepat sebagai sesuatu dimana semua hal mengarah
kesana[24].
Dan istilah “baik” menurut Barat memiliki
dua arti yang berbeda: (1). Hal yang secara intrinsik baik dan (2). Hal yang
baik karena kondusif terhadap baik secara intrinsik.
Akan tetapi, doktrin (platonis)
tidak menunjukkan setiap jenis baik. Hanya hal yang diinginkan dan disukai demi
dirinya sendiri sajalah yang disebut “baik” dengan menunjuk satu bentuk (form)
saja[25].
Disinilah dapat dilihat ketidak
universalan etika dalam sudut pandang Barat, dan dapat dikatakan bahwa etika
atau ilmu etika di Barat bermasalah, sebagaimana yang dikatakan Nietzhe, bahwa
ilmu moral “Science of Morals” itu sendiri bermasalah, bahkan Schopenhauer[26]
menurutnya di anggap gagal dalam membangun moral[27].
Karena memang demi suatu
tujuanlah semua itu di Barat dilakukan. Inilah yang baik yang diperoleh
lewat tindakan menurut Barat. Jika ada banyak tujuan, akan ada banyak yang
baik yang dapat diperoleh lewat tindakan[28].
Akan tetapi, tidak semua tujuan
dalam setiap tindakan kita akan tercapai. Jika ada beberapa tujuan, mestinya
ada satu yang merupakan tujuan yang paling final dan paling sempurna di antara
banyak tujuan tersebut.
Jadi sudah jelas bahwa ukuran baik
atau tidaknya tingkah laku seseorang di Barat itu di ukur dari segi kepantasan
prilaku tersebut di masyarakat, jika masyarakat pada waktu itu menganggapnya
prilaku seseorang tersebut sebagai sebuah kewajaran, maka itu adalah ukuran
kebaikan di Barat.
Adapun dalam Islam, ukuran kebaikan
dan keburukan sudah jelas tertera dalam al-Qur’an, seperti halnya keburukan
menurut al-Qur’an bisa dikategorikan sebagai hal yang haram, luka, penderitaan,
dan kemalangan.
“……in the
Qur’an, showing that su’ in the basic sense may be applied to any kind
of harm, injury, affliction, and misfortune[29]”.
Kesimpulan
Akan tetapi dalam perjalanannya, konsep dan
tujuan pendidikan seperti yang telah dipaparkan diatas tidak terlepas dari pro
dan kontra oleh sebagaian pemikir pendidikan Islam, sehingga menimbulkan
sedikit ganjalan dalam aplikasinya.
Mereka yang tidak sepaham, lebih
dikarenakan pemikiran mereka terkontaminasi oleh paham Barat yang hanya ingin
mencetak siswa-siswa yang cerdas, kreatif dan kritis, dengan jalan kebebasan
berfikir. Sehingga muncul sebuah selogan “karena kebebasanlah siswa akan
berfikir”
Di aspek lain, yang menjadi batu
ganjalan dalam penerapan konsep dan tujuan pendidikan Islam seperti yang telah
di ijtihadkan oleh beberapa cendikiawan muslim kita adalah adanya pergeseran
faham etika dalam benak umat muslim saat ini, sehingga ini menjadi salah satu
faktor dari banyak faktor kenapa hingga saat ini pendidikan Islam belum
sepenuhnya teraplikasi secara utuh di masyarakat.
Daftar
Pustaka
al-Ghozali
Ihya Ulumuddin, Juz I, Masyhdul Husaini, tt.
al-Attas, Syed Muhammad al-Naquib, (ed). Aims And
Objectives of Islamic Education (Jeddah: King Abdul Aziz University. 1979)
h. 88-89.
_________,
Islam, Secularism and the Philosophy of the Future. London -New
York : Mansell Publishing Limited. 1985.
_________,
Prolegomena to The Methaphysics of Islam. Kuala Lumpur . International Institute of
Islamic Thought and Islamic Civilization (ISTAC). 1995. hlm:
_________, Islam and Secularism. (Kuala Lumpur, Art Printing Works Sdn.
Bhd. 1993)
_________,
The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of
Education. An address to the Second World
Confrence on Muslim Educatiion, Islamabad
Pakistan .
1980. dalam Wan Mohd Nor Wan Daud, Konsep al-Attas Tentang Ta’dib. Majalah
Islamia Thn I No 6, Juli – September 2005.
Abrasyi,
Atiyah. At – Tarbiyah al-Islamiya wa Falasifatuha. Darul Fikri.
Adams,
Charles J. and Williams, John A. (Ed). Structure of Ethical Terms in the
Qur’an. McGill Islamic Studies. p. 232
Aristoteles. Nocomachean
ethic. Oxford
University Press. 1998.
terj. Indonesia
Oleh: Embun Kenyowati. Sebuah Kitab Suci Etika. Jakarta : Teraju. 2004.
Book, Conference - First World Conference on Muslim
Education (Jeddah-Mecca King Abdul Aziz University, 1393) A.H – 1977 A.D.
Recommendations. dalam Pendahuluan Aims
And Objectives of Islamic Education Syed Muhammad al-Naquib al-Attas (ed).
(Jeddah: King Abdul Aziz University. 1979)
Dalin, Per and Val
D. Rust. Toward Schooling for The Twenty-firs Century. (New York . British
Library Cataloguing-in-Publication Data. 1996)
Hutchins, Robert
M. The Meaning and Significance of Academic Freedom (From The Annals of
The American Academy of Political and Social Science,
XXX (July, 1955), 72-78. Copy right, 1955, The American Academy of Political
and Social Science) In Locke. Gibson. Arm Toward Liberal Education (America . August
1966)
Nietzshe,
Friedrich. Beyond Good and Evil. Dover
Thrift Edition. Translated by Hellen
Zimen. New York .
Mineola . Dover
Publication. 1997.
Omar, Mohd
Nasir. Christian and Muslim Ethic – A Study of How to Attain Happiness as
Reflected in The Works on Tahdhib al-Akhlaq By Yahya Ibnu Adi (d. 974) and
Miskawaiyh (d. 10.30). (Kuala
Lumpur . Dewan Bahasa dan Pustaka. 2003)
Ya’qub, Hamzah. Etika Islam Bandung : CV Diponegoro.
[2] Syed Muhammd Naquib al-Attas, Islam,
Secularism and the Philosophy of the Future. London -New
York : Mansell Publishing Limited. 1985. hlm: 173.
[3] Syed Muhammad Naquib al-Attas, The
Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of
Education. An address to the Second World
Confrence on Muslim Educatiion, Islamabad
Pakistan .
1980. (Selanjutnya disingkat: CEII) dalam Wan Mohd Nor Wan Daud, Konsep
al-Attas Tentang Ta’dib. Majalah Islamia Thn I No 6, Juli – September 2005.
hlm: 76
[4] Untuk definisi adab dapat
juga dilihat di Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to The
Methaphysics of Islam. Kuala
Lumpur . International Institute of Islamic Thought and
Islamic Civilization (ISTAC). 1995. hlm:
[7]
CEII hlm: 29. Oleh karena itu kemudian timbul terminologi seperti al-tarbiyah
al-badaniyah (pendidikan jasmani/physical training), tarbiyat al-hayawan
(peternakan hewan), tarbiyat ad-dajjaj (peternakan dan pembiyakan
ayam), tarbiyah al-samak (pembiakan ikan), tarbiyat al-nabat (pembibitan
tumbuh-tumbuhan). Lihat:
Hans Wehr, Arabic-English Dictionary, edited by: J. M. Cowan, edisi
ketiga (Ithaca: Spoken Languages Services, 1976).
[8] Ahmad Salah
Jamjoom, Chairman, Follow-up Committee, First World, Conference on Muslim
Education. 1st, (Mecca, 1977) In
Foreword, Aims And Objectives of Islamic Education Syed Muhammad
al-Naquib al-Attas (ed) (Jeddah: King Abdul Aziz University. 1979) h. V.
[12] Dalam
penggunaan istilah khuluq dalam literatur arab, Lihat, particularly, Ibn
Manzw n.d., Lisan al-:4rab, 6
vols. (Cairo:Dar al-Ma'arif, II, h. 12441248.
dan Jamil Saliba, al Mu jam al Falsafi
, 2 vols. (Beirut: Dar alKitab al-Lubnani. I. 1971) h. 49.
[13] AI-Farabi, Fusul,
p. 27. Compare also al-Farabi, al-Tanbih,h.
54-55. dalam Mohd Nasir Omar. Christian
and Muslim Ethic. hlm: 3-4
[14] Yahya, Tahdhib; h. 8-9. dalam Mohd Nasir Omar ibid.
[19] Conference
Book, First World Conference on Muslim Education (Jeddah-Mecca King
Abdul Aziz University, 1393) A.H – 1977 A.D. Recommendations. h. 78,1:1.1.
dalam Pendahuluan Aims And Objectives
of Islamic Education Syed Muhammad al-Naquib al-Attas (ed). (Jeddah: King
Abdul Aziz University. 1979) h. 88-89.
[24] Aristoteles. Nocomachean
ethic. Oxford
University Press. 1998.
Terj. Indonesia
Oleh: Embun Kenyowati. Sebuah Kitab Suci Etika. Jakarta : Teraju. 2004. h. 1.
[25]Ibid. h. 9
[26] Schopenhauer. Basis of Morality.
Translated by Arthur B. Bullock M.A. 1903. Hlm. 54 – 55. in Friedrich Nietzshe.
Beyond Good and Evil. Dover
Thrift Edition. Translated by Hellen
Zimen. New York .
Mineola . Dover
Publication. 1997. Hlm. 56.
[27] Friedrich Nietzshe. Beyond
Good and Evil. Dover
Thrift Edition. Translated by Hellen
Zimen. New York .
Mineola . Dover
Publication. 1997. Hlm. 56.
[28]Ibid . h. 11
1 komentar:
sangat lengkap sekali. terima kasih
Post a Comment